Sunday, February 9, 2014

(Tidak) Ada Cinta Terlambat


(Tidak) Ada Cinta Terlambat
#part 2
           
Selepas pertemuannya kemarin, sewaktu acara lamaran, entah mengapa dirinya selalu terbayang dalam benakku. Terlebih, penampilannya berbeda dengan dulu, 10 tahun lalu, saat kami terakhir bertemu. Dengan jilbab hijau toska dan gamis berwarna sama, dia terlihat anggun. Pun, bertambah cantik. Dia juga terlihat lebih berisi, tak seperti dulu, agak tirus sehingga dagunya terlihat lancip.
Spontan ingin rasanya mengenang masa SMA dulu. Aku pun membuka buku tahunan. Kulihat foto kelas kami. Maklum, sejak kelas dua hingga tiga SMA kami sekelas. Di foto itu ada foto bersama teman-teman sekelas dan dia berdiri di sampingku seraya tersenyum ceria. Lalu, kulihat foto selanjutnya. Di foto itu terlihat kami hanya berdua sedang duduk bersama di bangku kelas. Seingatku, dulu temanku, Bono, sengaja memfoto kami berdua. Padahal, saat itu aku dan dia sedang merencanakan kerja kelompok. Tapi, ya begitulah, dia. Memang sudah berbakat narsis, dengan tak acuh bahkan tak malu langsung bergaya saat Bono mengambil foto.
Setelah membalik-balik tiap halaman buku tahunan, kudapati fotonya yang memakai topi kerucut dan dihiasi kertas krep. Dengan gaya “unyu-unyu” dia berfoto di sampingku yang saat itu memakai kaos basket SMA kami sambil memegang bola. Ya, saat itu kebetulan sekolahku memenangkan pertandingan lomba basket se-SMA Kota Bandung. Inilah yang kurindukan darinya, keceriaannya, kelucuannya, kepolosannya, dan senyumnya.
Ah, mengapa aku seperti ini? Memikirkan seseorang yang akan menjadi milik orang lain. Milik sahabatku sendiri, Amir. Inikah yang dimaksud Amir sebagai sebuah kejutan? Apa maksudnya? Apakah dia tahu bahwa aku dan calon istrinya adalah teman SMA?
Amir, ya dia adalah sahabatku sejak SMP. Kami sering berbagi cerita satu sama lain, terkecuali hal-hal yang menurut kami cukup pribadi, terutama soal “cinta”. Amir memang pernah bercerita bahwa dia akan segera menikah dengan gadis yang dikenalnya setahun lalu. Namun, tak pernah terucap darinya nama dari gadis itu. Setiap kali kutanya siapa nama calon istrinya, dia selalu menjawab, “Nanti akan kuberi tahu setelah kau juga akan menikah.” Dan kemarin, tepat saat acara lamaranku dengan gadis pilihan orangtuaku, barulah Amir memperkenalkan calon istrinya kepadaku. Tak bisa kumungkiri, calon istrinyalah sosok yang selama ini kurindukan dan sangat ingin kutemui.
Rinduku terhadapnya cukup dalam. Ini disebabkan selepas SMA, orangtuaku telah mendaftarkan diriku di salah satu universitas di Negeri Kanguru. Alhasil, aku pun harus kuliah di sana dan selama lima tahun bekerja di sana. Baru tahun ini aku kembali ke Bandung, tempat tinggalku. Namun ternyata, belum sempat kumenemuinya, selama tiga bulan ini aku harus melakukan pendekatan dengan calon tunanganku, yang tak lain adalah anak dari sahabat ayah.
Hidup adalah pilihan. Mungkin ini memang yang terbaik. Aku harus merelakannya dia bersama Amir. Aku yakin, Amir memang pantas menjadi suaminya. Dia sahabat terbaik yang pernah kukenal. Sudah sebaiknya aku melupakan Aira, perempuan itu, mengharapkannya, dan juga berusaha untuk mencintai tunanganku sebisa mungkin.


No comments:

Post a Comment