Monday, February 17, 2014

Love You, Kak


Love You, Kak
(Season Adly)

            Sendiri di rumah. Sambil menunggu Iqbal beserta anak istrinya datang pada malam ini, aku hanya duduk di teras. Sesekali aku menatap langit bertabur bintang kerlap-kerlip. Subhanallah, begitu cantik cahaya bintang-bintang di atas sana. Mahabesar atas Kuasa-Mu ya Rabb.
            Aku pun teringat akan adik bungsuku, Adly. Dulu, saat dia masih kecil, kami berdua sering menatap bintang di langit dari balkon rumah. Bahkan, “gilanya” sewaktu dia SMP (saat itu aku masih kuliah), Adly mengajakku ke atas genting saat akan melihat bintang dengan teropong. Teropong itu merupakan hadiah hasil patungan dariku dan kedua abangnya saat Adly berulang tahun ke-10. Dia memang suka melihat bintang dan apa pun yang berkaitan dengan astronomi. Maka dari itu, tak heran jika sejak SMP dia tergabung dalam klub astronomi, seperti Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ).
Itulah salah satu penyebab mengapa Adly berkuliah di ITB. Kira-kira tiga tahun lalu, saat mengikuti SPMB, dia memilih jurusan ilmu astronomi sebagai pilihan pertama dan teknik elektro sebagai pilihan kedua. Namun, “takdir” berkata lain. Adly memang diterima di ITB, tapi di teknik elektro. Dia pun sempat murung selama seminggu. Tak ceria, tak nafsu makan, hanya mengunci diri di dalam kamar. Karena nasihat kedua abangnya, Iqbal dan Rafi, akhirnya Adly ceria kembali. Dia pun cukup “semangat” berkuliah di jurusan teknik elektro. Toh, meski tidak kuliah di ilmu astronomi, Adly tetap bergabung di HAAJ dan klub astronomi di ITB.
Saat memandangi langit, tetiba ponselku berbunyi. Ternyata, Adly mengirim SMS.

Kakak…. Kakak… Kakak… Adly kangen… kangen… kangen…

Aku tersenyum membaca SMS darinya. Lucu, polos, dan manja. Itulah si bungsu, Adly. Meski begitu, di antara ketiga adikku, hanyalah dia paling “pemberani.”
Kalau kangen makanya pulang. Jangan di Bandung, mulu. Begitu isi balasan SMS-ku.
Iya, nanti kita ke atas genting ya, lihat bintang.
Dalam hati aku hanya berkata, ah, gak salah ke atas genting lagi? Mending lihat dari balkon, deh!
Nanti kamu aja yang naik genting. Kakak sih ogah. Sekalian benerin genting bocor, ya. :D
Hehehhhe sip, Kak!
Sesudah ber-SMS dengan Adly, tetiba aku ingat akan perilakunya yang cukup memusingkan, bahkan “akan” memecahkan kepalaku ini lima tahun lalu. Dan waktu itulah, pertama kalinya aku “marah besar” terhadap adik yang sangat jarang kumarahi itu. Adly pun takut dan hampir menangis ketika aku memarahinya. Maklum, di antara keluarga di rumah, aku dan Bi Minah-lah yang memanjakan dia.
***
Ini merupakan hari ketiga kudapati Adly tidak masuk sekolah. Setiap kutanya, dia hanya menjawab, “Libur, Kak.” Ketika kutanya alasan libur itu, dia hanya bergeming, dan baru menjawab saat kutanya berulang kali. Dan Adly hanya berkata, “Tidak tahu, Kak. Info dari guru seperti itu.”
Sikap dan jawaban tersebut membuatku curiga. Maka dari itu, sebelum berangkat kerja, aku bertanya sekali lagi kepada dia dengan nada tegas.
“Benar, kamu gak masuk sekolah karena libur? Kok aneh, libur sampai berhari-hari? Awas ya, kalau Kakak tahu kamu bohong, ponsel kamu Kakak tahan, PS juga tidak boleh dimainkan.”
Ih, kok Kakak gitu sih! Ayah ibu aja gak sampai segitunya kasih hukuman,” ujarnya santai sambil merakit mobil tamia di kamarnya. “Lagian, gak percaya amat sama Adly. Sekolah memang libur.”
“Ya sudah kalau begitu. Kakak berangkat kerja dulu. Kamu jangan lupa makan,” kataku sambil menutup pintu kamarnya. Adly hanya bisa mengangguk.
Saat akan mengambil sepatu di rak yang letaknya dekat dapur, Bi Minah menghampiriku.
“Non Jihan, ini Bibi temukan dari saku celana Den Adly,” ujarnya memberikan sebuah kertas yang terlipat tak beraturan.
“Apa ini, Bi?”
“Bibi gak tahu Non. Permisi, Non.”
“Ya Bi, terima kasih. Oya Bi, nanti jangan lupa kalau ayah pulang tolong bilang kiriman paket dari Medan sudah sampai. Paketnya ada di kamar saya, ya. Nanti Bibi ambil aja.”
“Baik, Non. Bibi mau masak dulu.”
“Ya, Bi.”
Kertas apa, nih? Aku pun mulai membuka lipatan surat itu, ada dua lembar kertas. Kemudian, aku membacanya. Dan ternyata, itu surat keterangan bahwa Adly DISKORSING selama seminggu dan surat panggilan ORANGTUA SISWA/WALI ke sekolah. Apa yang dilakukan Adly di sekolah sehingga harus diskorsing seperti ini? Aku langsung bergegas ke kamar Adly.
“Adly! Jadi, kamu sudah bohong sama Kakak!” kataku dengan nada tinggi saat masuk ke kamarnya.
“Bohong kenapa, Kak?” tanyanya santai.
“Ini,” jawabku sambil menyodorkan kedua kertas itu. “Apa maksudnya? Kenapa kamu bohong sama Kakak?”
“Hah, itu mmh itu Kakak dapat dari mana?”
“Kamu tidak perlu tahu! Sekarang Kakak cuma mau penjelasan kamu! Kenapa bisa diskorsing seperti ini? Kamu buat ulah apa lagi? Aduh, Adly, masak sih dari SMP kamu selalu bermasalah di sekolah. Masalahnya karena telat terus, berantem, lalu kalau sekarang kamu buat masalah apa?”
“Itu Kak, yang salah bukan Adly,” katanya membela dengan kepala menunduk.
“Bagaimana yang salah bukan kamu kalau ini sudah ada buktinya. Adly, Adly, kapan sih kamu berhenti buat masalah! Kakak capek kalau harus selesain masalah kamu di sekolah. Untuk kali ini, biar ayah atau ibu saja yang ke sekolah. Mereka harus tahu bagaimana perilaku kamu!”
“Ja…jangan Kak!”
“Bagaimana jangan? Ini jelas-jelas ada surat panggilan orangtua! Kamu mau akhirnya kamu dikeluarkan dari sekolah? Ayah dan ibu pasti kecewa sama kamu!”
Biarin aja Adly dikeluarin dari sekolah! Memang selama ini ayah dan ibu memperhatikan sekolah Adly? Gak, Kak! Mereka selama ini hanya sibuk dan sibuk dengan pekerjaannya!”
“Mereka sibuk kerja juga demi kamu! Demi Kakak, bang Iqbal, dan bang Rafi!”
“Tapi, apakah selama ini ayah ibu memperhatikan Adly? Sama sekali tidak Kak! Coba Kakak ingat, setiap Adly ambil rapor, bukan ayah atau ibu yang datang. Pasti kalau bukan Kakak, Bi Minah. Ayah dan ibu mana ada waktu untuk anak-anaknya? Mereka cuma bisa menuntut anak ini harus jadi ini, jadi itu, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan anak-anaknya,” ujar Adly dengan nada kesal.
“Adly! Siapa yang mengajarkan kamu bicara seperti itu? Pokoknya, untuk kali ini Kakak sudah angkat tangan untuk menyelesaikan masalah sekolah kamu! Dan kalau memang Adly tidak mau berubah, Kakak tidak segan bilang ke ayah agar kamu dimasukkan saja ke pesantren!”
“Ya sudah kalau begitu! Memang di rumah ini gak ada yang peduli sama Adly!”
Aku tahu maksud perkataan Adly. Dia membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari ayah ibu. Ya, memang benar apa kata Adly, ayah dan ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Ayah nyaris setiap bulan beberapa kali ke luar kota untuk mengurus bisnisnya, sedangkan ibu selalu sibuk dengan jadwal praktiknya di beberapa klinik dan rumah sakit. Maklum, ibu adalah seorang dokter spesialis anak.
Tak bisa dimungkiri, kami berempat memang dicukupi dalam hal materi. Namun, dalam hal kasih sayang dan perhatian, aku bersama ketiga adikku merasa inilah yang “kurang dipenuhi” ayah dan ibu meski aku yakin mereka sangat menyayangi kami, berusaha membahagiakan dan memenuhi kebutuhan kami.
“Selama ini, saat Adly membutuhkan, merasa kesepian, ayah dan ibu tak pernah ada, Kak! Adly kesal, kecewa, seolah Adly tak punya orangtua, hanya punya tiga kakak saja,” ungkap Adly seraya menahan tangis. Adikku yang satu ini memang sangat sensitif, terlebih saat dimarahi atau mengungkapkan kekesalannya, mata Adly  “berkaca-kaca”.
Aku hanya bisa menghela napas, berusaha untuk tidak memarahi Adly apalagi berbicara dengan nada tinggi. Tak tega. Maka dari itu, aku mendekati Adly, duduk di sampingnya, mengusap kepalanya.
“Adly Sayang, semua yang ada di rumah ini sayang sama kamu. Coba deh Adly pikir, sekarang kan kamu sudah remaja, sudah bukan anak kecil lagi. Masak sih, harus diperlakukan seperti anak kecil. Dimanjakan seperti itu.”
“Adly bukan mau dimanjakan Kak, cuma ingin diperhatikan!”
Nah, sekarang coba Adly dengarkan Kakak. Seharusnya, Adly bersyukur karena masih memiliki orangtua yang lengkap, kakak yang banyak. Adly bisa tinggal di rumah tanpa perlu kerja mencari nafkah karena tugas Adly adalah belajar. Seandainya Adly melihat remaja seusia di sekitar, kamu masih lebih beruntung dari mereka. Bayangkan saja, sebagian dari mereka harus membanting tulang untuk membantu keluarganya, putus sekolah, bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Jika selama ini ayah ibu jarang berada di samping Adly, toh mereka juga rela banting tulang demi Adly dan keluarga ini.”
Mendengar penjelasanku Adly hanya bisa tertegun. Sesekali kudengar ia terisak.
“Lagi pula, kalau Adly tahu, sebenarnya ayah dan ibu selama ini juga memantau perkembangan Adly, bagaimana keadaan kamu, sekolah, dan sebagainya. Begitu juga yang dilakukan ayah ibu dengan kedua abangmu. Mereka selalu menanyakan perkembangan kalian kepada Kakak. Tapi, apakah Kakak harus bilang ke kalian masing-masing? Tidak mesti, kan? Nah, satu hal yang perlu Adly ingat, ayah dan ibu sangat sayang sama Adly makanya jangan kecewakan mereka, tunjukan bahwa Adly adalah anak yang bisa dibanggakan, berprestasi.”
“Oya, memang kenapa sih kamu sampai diskorsing? Tawuran?”
Adly hanya mengangguk.
“Kenapa ikut tawuran? Sebabnya apa?” tanyaku pelan.
Lalu, Adly menceritakan bahwa sebenarnya dia hanya menjadi “kambing hitam” dari teman-teman sekolahnya yang ikut tawuran. Awalnya, dengan mengendarai sepeda motor, dia hendak pulang ke rumah. Tiba-tiba di jalan Adly melihat sekelompok anak SMA yang tak lain adalah “musuh” dari anak di sekolahnya. Menurutnya, sekelompok anak itu membawa balok, ikat pinggang, bahkan ada yang membawa celurit untuk tawuran. Adly pun memutuskan untuk menghindar. Dia tidak ingin mendapat masalah lagi dengan ikut tawuran sebab dua minggu sebelumnya mendapat hukuman dari kepala sekolah karena berkelahi dengan kakak kelasnya yang berbuat curang ketika bertanding basket antarkelas.
Saat hendak balik arah, dia melihat ada anak TK yang terjebak di antara sekelompok anak tersebut. Adly merasa kasihan dan ingin melindungi bocah tersebut. Namun sayangnya, ketika ingin menggendong anak itu, seorang dari sekelompok anak SMA yang akan tawuran tersebut meneriakinya, “Woi, musuh sudah datang! Berani banget lo datang sendiri!”
Adly berusaha tidak memedulikan teriakan itu. Dia hanya ingin melindungi si bocah TK.
Wah, lo nantangin kita!”
Tetiba ada yang melempar batu kecil ke kepala Adly. Tak kuasa menahan emosi, terlebih ternyata teman-teman sekolahnya datang untuk tawuran, Adly kembali melempar batu ke kepala orang yang melempar batu tadi. Setelah itu, dia dipukul perutnya oleh salah satu pelajar yang tak dikenalnya. Perkelahian pun terjadi. Teman-teman sekolah Adly juga memicu tawuran. Semakin menjadi-jadi aksi mereka. Namun, untungnya Adly bisa meloloskan diri dari tawuran tersebut, segera menggendong bocah TK itu, menyalakan motornya, dan mengantarkan si anak ke rumahnya. Kebetulan, bocah tersebut adalah anak dari tukang kebun sekolahnya.
Namun nahas, keesokan harinya Adly beserta beberapa temannya dipanggil kepala sekolah. Dan, sebagian dari temannya yang mengikuti tawuran menyatakan bahwa tawuran terjadi karena Adly yang “memancing” dengan melempar batu kepada “si musuh”. Adly berusaha meyakinkan sang kepala sekolah bahwa dia tidak bersalah, tapi dia tetap dinyatakan bersalah.
“Jadi begitu Kak, ceritanya. Tujuan Adly itu cuma mau menyelamatkan si Mimi, anak bungsunya mang Diman. Tapi, memang rese tuh gank-nya Bono, malah fitnah Adly!”
“Ya sudah kalau begitu. Kakak percaya dengan kamu. Besok Kakak akan temui kepala sekolah.”
“Buat apa Kak? Percuma aja nemuin Pak Erik, dia tuh kalau sudah kasih keputusan gak bisa ditawar-tawar.”
“Ini kan demi kebenaran. Kakak tidak mau kamu kena hukuman, padahal sebenarnya gak salah!”
“Memang kapan Kakak mau nemuin Pak Erik, besok?”
“Iya!”
“Kakak gak kerja?”
“Cuti.”
Keesokan harinya, aku ke sekolah Adly untuk menjelaskan permasalahan tawuran tersebut. Setelah berbicara cukup lama, sang kepala sekolah memutuskan memanggil Adly untuk menandatangani pernyataan tertulis yang diperkuat dengan materai bahwa sekali lagi dia terlibat dalam tawuran ataupun perkelahian dengan sebab lain, tak segan pihak sekolah akan mengeluarkannya.
Setelah menandatangani surat pernyataan itu, aku dan Adly pulang bersama. Masalah Adly sudah selesai kali ini. Saat di perjalanan, aku berkata kepada Adly bahwa dia mesti berjanji agar tidak membuat ulah di sekolah. Dia pun meyakinkanku akan menepati janji itu. Alhamdulillah, sejak saat itu hingga lulus SMA dia sekali pun tak lagi membuat ulah, bahkan nilai UN-nya menjadi nilai tertinggi kedua untuk kelas IPA.
***
Mengingat “masalah” dan perilaku Adly lima tahun lalu membuatku tersenyum. Ya, sekarang Adly tak pernah lagi berbuat ulah. Dia mampu menahan emosinya tatkala ada orang yang ingin mengajaknya “berkelahi”.
Lalu, terdengar suara mesin mobil dari depan rumah. Ternyata Iqbal beserta anak dan istrinya telah sampai.
“Assalamualaikum…” teriak Faiq dan Balra, kedua anak Iqbal.
“Waalaikumussalam…”
“Mama Jihan!!!” panggil mereka sambil berlarian, kemudian memelukku.
“Ma, nanti Faiq bobo di kamar Mama, ya.”
“Balra juga ya, Ma. Nanti Mama bacain  dongeng untuk Balra, ya.”
“Iya. Mama juga kangen sudah lama gak bobo sama kalian.”
“Assalamualaikum, Kak,” salam Iqbal dan Farah seraya mencium tanganku.
“Waalaikumussalam. Ayo, semuanya masuk.”
“Kakak!!!” panggil Adly yang setengah berlari menghampiriku. Dia pun langsung memelukku erat.
“Aduh, Adly, kamu peluknya terlalu erat. Sakit nih badan Kakak.”
Oops, maaf Kak! Habis Adly kangen banget sama Kakak! Makanya, tadi Adly minta nebeng sama bang Iqbal untuk ke sini,” katanya sambil mencium pipi kiriku. “Oya, ini buat Kakak!” Adly memberikan sebuket mawar biru, bunga kesukaanku.
Wah, terima kasih, ya Dly! Yuk, masuk!”
“Oke, Kak! Adly juga sudah lapar nih! Heheheh…”
***




No comments:

Post a Comment