Dilematika Hakikat Profesi Kedokteran: Peroleh Keuntungan
atau Pengabdian
Oleh Tyas Chairunisa
Tak sedikit orang di Indonesia menginginkan atau
bercita-cita menjadi dokter. Dapat dikatakan, profesi ini menjadi dambaan
banyak orang. Adapun stereotip yang
dikenal sampai sekarang, yakni dengan menempuh pendidikan dokter, sudah pasti
berprofesi dokter, dokter adalah seorang yang pintar dengan kemampuan IQ
tinggi, serta memperoleh penghasilan—dapat dikatakan—memuaskan.
Namun, benarkah demikian akan semua stereotip tersebut?
Apakah benar seorang dokter harus memiliki IQ tinggi? Sudahkah terjamin utuh
bahwa dokter akan memiliki penghasilan yang banyak, memuaskan? Adakah hal-hal
yang memengaruhi semua itu? Apakah ada keterikatan antara profesi dokter dan
dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mewakili apa yang akan
dijelaskan dalam esai ini.
Dokter, etika, dan kode
etik kedokteran
Apa yang Anda ketahui
tentang dokter? Ialah seorang yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya,
sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Selain itu, seorang
yang menjadi dokter tentunya merupakan lulusan sarjana kedokteran.
Menjadi dokter merupakan salah satu jenis pekerjaan
profesi. Pekerjaan profesi adalah pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan
latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat (Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, 2008:2). Oleh karena itu, tak bisa
dimungkiri bahwa menjadi seorang dokter tidak hanya pintar, tetapi juga
memiliki kecermatan, ketangkasan—berdasarkan pelatihan yang dilakukan sewaktu
menempuh pendidikan kedokteran—dalam menghadapi pasiennya.
Selain itu, M. Jusuf Hanafiah dalam bukunya, Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, menjelaskan bahwa hakikat profesi
kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (calling) untuk
mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental[1].
Umumnya, bisikan nurani dan calling tersebut dipengaruhi adanya rasa
empati, ikut merasakan penderitaan orang lain, kejujuran, keikhlasan, dan
kepedulian terhadap sesama sebagai rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu, tak ayal
bahwa seharusnya dokter mengutamakan kepentingan orang lain dengan membantu
mengobati orang yang sakit.
Selain itu, profesi kedokteran dikenal sebagai profesi
tertua sekaligus mulia karena berhadapan dengan masalah kesehatan dan
kehidupan—dua hal terpenting dalam hidup manusia. Bentuk pekerjaan profesi,
seperti dokter, memiliki ciri-ciri umum, yakni pendidikan sesuai standar
nasional, mengutamakan panggilan kemanusiaan, berlandaskan etik profesi
(mengikat seumur hidup), legal melalui perizinan, belajar sepanjang hayat, dan
bergabung dalam satu organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Seorang dokter
haruslah memiliki Intelectually Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ),
dan Spiritual Quotient (SQ)[2].
Adapun tujuan dokter memiliki ketiga hal tersebut, yakni agar dokter memiliki
kematangan intelektual beserta emosional dan spiritualnya—yang berkaitan erat
dengan tanggung jawab dan pengabdian seorang dokter.
Selain profesi, dalam dunia kedokteran dikenal juga
istilah etika dan kode etik kedokteran. Menurut Kamus Kedokteran,
sebagaimana dikutip M Jusuf Hanafiah, etika adalah pengetahuan tentang perilaku
yang benar dalam satu profesi. Etika dapat dikatakan sebagai ilmu yang
memperlajari asas akhlak. Dengan adanya pendidikan etika dalam kedokteran,
setidaknya akan menyadarkan, menanamkan, dan juga menekankan bahwa profesi
dokter adalah melayani dan membantu masyarakat terhadap penyakit yang diderita
mereka dengan keikhlasan serta ketulusan.
Tak hanya etika, tetapi kode etik kedokteran pun menjadi
pembelajaran sekaligus asas hukum legal yang mengikat profesi dokter. Di Tanah
Air ini, kode etik tersebut atau dikenal Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) disusun berdasarkan dua versi, yakni SK Menkes RI
No.434/Menkes/SK/X/1983 dan SK PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) No.
221/PB/A-4/04/2002.
Hal-hal yang dibahas dalam KODEKI mencakup kewajiban umum
seorang dokter, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap
teman sejawat, serta kewajiban dan larangan dokter terhadap diri sendiri.
Dengan kata lain, KODEKI dapat disebut sebagai landasan utama terhadap profesi
dokter. Ini disebabkan apa yang akan dilakukan dokter dalam menjalankan tugas
profesinya ditentukan berdasarkan kode tersebut.
Hak, Kewajiban, dan
Imbalan Jasa Dokter
Sudah pasti secara
universal seluruh manusia memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Tak
terkecuali profesi dokter. Adapun kewajiban dokter tercantum dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI). Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kewajiban
dokter terdiri atas kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, teman sejawat,
dan juga dirinya sendiri.
Secara garis besar, kewajiban dokter yang tercantum dalam
KODEKI, di antaranya setiap dokter haruslah menjunjung tinggi, menghayati, dan
mengamalkan sumpah dokter (pasal 1); dalam melakukan pekerjaan kedokterannya,
seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemanadirian profesi (pasal 3); seorang dokter harus
bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya (pasal 7b); seorang dokter harus menghormati hak-hak
pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak-hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien (pasal 7b); dan setiap dokter harus senantiasa mengingat
kewajiban melindungi makhluk insane (pasal 8).
Selain itu, dalam KODEKI juga dijelaskan bahwa seorang
dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu serta
keterampilannya untuk kepentingan pasien; ia juga wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien; wajib melakukan pertolongan darurat;
serta setiap dokter harus memelihara kesehatannya dan mengikuti perkembangan
iptek kedokteran/ kesehatan.
Segala bentuk kewajiban dokter yang dijelaskan tersebut
menjadi tanggung jawab pribadi seorang dokter terhadap profesinya. Meski
begitu, tak dimungkiri bahwa seorang dokter pun memiliki hak yang mesti
dihormati dan dipahami masyarakat. Adapun hak-hak dokter, di antaranya
melakukan praktik dokter setelah mendapat surat izin dokter (SID) dan surat
izin praktik (SIP), bekerja sesuai standar profesi, mendapatkan ketenteraman
bekerja, menerima imbalan jasa, mengeluarkan surat-surat keterangan dokter, dan
menjadi anggota perhimpunan profesi.
Di samping itu, tak dapat dihindari bahwa setiap profesi
tentu akan menerima imbalan berupa penghasilan (materi) dari pekerjaan yang
dilakukannya. Imbalan ini merupakan hak semua pelaku profesi. Oleh sebab itu,
sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa salah satu hak dokter adalah mendapatkan
imbalan jasa atas profesi yang digelutinya.
Imbalan jasa
dokter secara garis besar berpedoman pada kemampuan pasien atau
keluarga—disesuaikan dengan mata pencaharian mereka, sifat pertolongan yang
diberikan—terkait pelayanan kedokteran spesialistik, dan waktu pelayanan
kedokteran, seperti jika hari libur atau malam hari, pelayanan imbalan jasa
ditambah[3].
Meski demikian, perlu diingat bahwa imbalan jasa dokter
ini perlu disesuaikan dengan tindakan atau profesi yang dijalankan sang dokter.
Dengan kata lain, antara kualitas (pelayanan terhadap pasien) dan kuantitas
(“harga” profesi jasa dokter) haruslah seimbang. Janganlah kualitas kurang
baik, tetapi kuantitas tinggi atau mungkin sebaliknya. Walaupun begitu,
penentuan seberapa besar dan seperti apa imbalan jasa ini tentu tak terlepas
dari hak dan kewajiban dokter, terutama dalam menangani pasiennya.
Dokter dan penyebarannya
di wilayah Indonesia
Tak sedikit terdengar
kabar bahwa di beberapa wilayah Indonesia, khususnya daerah pedalaman, mengalami
kekurangan tenaga medis seperti dokter. Bahkan, ditemukan pula puskesmas yang
tidak memiliki dokter.
Bambang Sardjono, Staf
Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Desentralisasi, mengatakan sebanyak 25 persen dari 9.323 puskesmas di Indonesia
tidak memiliki dokter[4].
Dengan kata lain, sekitar 2.330 puskesmas tidak memiliki dokter. Ini terjadi
terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau kecil
terdepan dan terluar. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak
daerah di wilayah Indonesia mengalami keterbatasan tenaga medis (dokter).
Situasi tersebut,
misalnya terjadi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Pada provinsi ini
diketahui daerah perbatasan dan pedalaman mengalami kekurangan tenaga medis,
khususnya dokter. Hal ini dilihat dari jumlah dokter yang tersebar di Kaltim,
yakni sekitar 960-an, tak sebanding dengan jumlah penduduk keseluruhan Kaltim,
yaitu sekitar 3,5 jutaan. Padahal, jika dikalkulasikan, provinsi ini
membutuhkan tenaga dokter setidaknya 1.420 orang.
Memang ada beberapa
faktor yang memengaruhi kurangnya dokter, terutama pada daerah pedalaman.
Faktor tersebut seperti rendahnya gaji dokter, keterlambatan penggajian dokter,
kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, ketiadaan jaminan masa depan, bahkan
juga disebabkan faktor keamanan, yakni daerah pedalaman tersebut terlibat
konflik.
Sebagaimana diungkapkan
Kepala Dinas Kutai Kertanegara, Koentijo Wibdarminto, seperti dituliskan dalam Media
Informasi Online Kabupaten Kutai Kartanegara pada 14 Juni 2013, bahwa tidak
adanya dokter yang mau bertugas di pedalaman disebabkan rendahnya gaji dokter,
yakni hanya sekitar Rp2,5 juta dengan fasilitas kesehatan yang kurang memadai.
Lain daripada itu,
ternyata penyebaran dokter di wilayah Indonesia lainnya dapat dikatakan tidak
merata. Bayangkan saja, masih cukup banyak daerah di beberapa provinsi, seperti
provindi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, bahkan wilayah bagian timur Indonesia,
minim akan tenaga dokter. Katakanlah di Kepulauan Maluku dan Provinsi Papua
yang masing-masing hanya memiliki 1,78 dan 2,05 persen jumlah SDM kesehatan,
termasuk dokter, dari jumlah penduduk di sana.
Selain itu, berdasarkan data yang diperoleh daRi bank data kesehatan bahwa
jumlah dokter umum, spesialis, dan gigi pada 2013 masing-masing, yakni 42.398
dokter, 38.895, dan 13.114 dokter. Ini sungguh berbeda jauh dengan jumlah
penduduk Indonesia yang diperkirakan pada tahun ini mencapai 250 juta. Ini
cukup menunjukkan keironisan dalam persebaran tenaga dokter di seluruh wilayah
Indonesia. Jika memang seperti itu kondisinya, bagaimana kesehatan masyarakat
Indonesia bisa terjamin seutuhnya dengan kurangnya tenaga medis tersebut? Oleh
karenanya masalah ini bukannya hal sepele yang tak dipedulikan, melainkan
sesuatu yang cukup krusial demi membangun warga bangsa ini menjadi warga yang
sehat dan sejahtera.
Dilema: keuntungan
materi dan pengabdian
Tak dimungkiri bahwa
terkadang dokter dihadapkan pada dilema. Ia pun terjerat dalam dua pilihan,
“mengabdi demi masyarakat” atau “mengabdi demi uang”. Dalam menentukan kedua
pilihan tersebut, pastilah seorang dokter berharap memilih yang terbaik. Namun,
ada kalanya mereka pun tak terlepas dari kegalauan antara dua pilihan itu. Ini
disebabkan tentuanya pilihan tersebut memiliki alasan dan faktor yang
memengaruhinya masing-masing.
Memang tak bisa dihindari, pada era modern ini,
setidaknya kehidupan condong dalam hal materialisme. Inilah yang menjadi salah
satu faktor ketika seorang dokter “diutus” untuk berdinas di wilayah, khususnya
pedalaman Indonesia, berpikir lebih matang, yakni menerima atau menolak.
Jika ditilik dari dua sisi, sungguh tak bisa dihindari
bahwa di satu sisi sudah menjadi kewajiban dokter untuk mengabdikan dirinya
kepada masyarakat, sebagaimana “sumpah dokter” yang diucapkannya serta aturan
dalam KODEKI. Namun, di sisi lain, dokter—yang juga dengan yang lainnya,
makhluk konsumer—tentu menginginkan kesukesan secara materi, yang
direpresentasikan dengan memiliki rumah, mobil mewah, dan fasilitas hidup
terjamin. Terlebih, jika kita lihat biaya pendidikan dokter kini kian mahal.
Oleh sebab itu, bisa jadi muncullah pemikiran bahwa saat menjalani profesi
dokter adalah “segera mencari uang balik modal” dengan mengesampingkan
pengabdian terhadap wilayah atau daerah pedalaman.
Meski demikian, tak semestinya pemikiran untuk mencari
uang agar “balik modal” menjadi salah satu hal yang diutamakan seorang dokter.
Mengapa? Ini karena profesi seorang dokter terikat dengan kode etik.
Sebagaimana dalam kode etik pun dijelaskan bahwa “setiap dokter harus
menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter” dan “setiap
dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien.”
Pada isi kode etik tersebut, terdapat kata “ikhlas”, yang
semestinya menjadi kunci utama bagi dokter dalam menjalani profesinya., yakni
melayani masyarakat, mengobatinya, tanpa berharap banyak mendapatkan balasan
jasa berupa materi berlimpah. Sebab, pada dasarnya ketika seseorang memutuskan
menjadi seorang dokter, mestinya dia sudah siap untuk mengabdikan dirinya dalam
melayani kesehatan masyarakat. Ini tentu kembali pada hakikat profesi
kedokteran—sebagaimana telah dibahas sebelumnya—mengabdikan diri berlandaskan
moralitas dengan prinsip keikhlasan sebagai salah satunya sehingga dokter
bukanlah seorang yang egois karena mengutamakan kepentingan orang lain
(kesehatan pasiennya).
Selain itu, jikalau dokter memahami makna dari sumpah
dokter yang dilafalkannya, dia sadar untuk menepati janjinya sebagai seorang dokter,
yakni menjalankan tugasnya dengan cara terhormat, mengutamakan kepentingan
masyarakat; kesehatan pasien, serta berikhtiar sungguh-sungguh dalam menunaikan
kewajiban menjadi seorang dokter. Dengan kata lain, berdasarkan sumpah dokter,
menjadi seorang dokter bukanlah untuk mendapat atau mengejar materi sebanyaknya
(dalam hal ini finasial), tapi yang terpenting adalah pengabdiannya.
Di samping itu semua, menjalani profesi dokter tak
terlepas dari efikasi diri yang dimiliki. Mengapa efikasi diri? Sebab melalui
efikasi diri inilah dapat memengaruhi seseorang dalam menentukan tindakan yang
akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun pengertian efikasi diri
adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau
tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Apabila dikaitkan
dengan profesi seorang dokter, tentu ini tak terlepas dari kompetensi yang
dimiliki dirinya.
Dengan adanya penyadaran akan kompetensi ini, sang dokter
pun berhak untuk melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Ialah tak
dimungkiri menjadi haknya untuk menangani dan mengambil keputusan terhadap
pasien yang ditanganinya serta mendapat imbalan jasa yang memang sepatutnya dia
peroleh meski tak harus dalam jumlah besar.
Simpulan
Berdasarkan penjelasan terkait akan dilema profesi
kedokteran, terdapat beberapa simpulan. Pertama, menjadi seorang dokter tidak
hanya dituntut untuk pintar dari segi IQ, tetapi juga dari segi EQ dan SQ.
Diharapkan pula ketiga hal ini dapat dimiliki dalam diri dokter secara
seimbang.
Kedua, jika dilihat dari hakikat profesinya, ketika
seseorang memutuskan untuk menjadi seorang dokter, berarti dia sudah siap untuk
mengabdikan dirinya dalam melayani kesehatan masyarakat. Walaupun begitu, tak
dimungkiri di samping pengabdian tersebut tentulah sang dokter
menginginkan—secara materi—hidup yang sukses dan terjamin masa depannya.
Ketiga, menjadi seorang dokter bukanlah “perkara” mudah.
Karena profesi ini terikat dengan kode etik kedokteran atau dikenal KODEKI dan
juga sumpah yang dilafalkannya saat dilantik menjadi seorang dokter.
Keempat,
sesuai dengan etika yang dipelajari selama menempuh pendidikan kedokteran, kode
etik yang dipahami, serta sumpah dokter yang dilafalkan, diketahui bahwa
seorang dokter memiliki hak, kewajiban, serta imbalan jasa. Namun, itu semua
tak terlepas dari satu hal terpenting dalam komitmennya menjadi dokter, yakni “pengabdian”.
Menginginkan sekaligus mengejar penghasilan besar sebagai “buah keuntungan” memang
tak salah bagi dokter, ini wajar. Namun, satu kunci yang harus ditanam dan akan
selalu terlekat, yakni “pengabdian”, utamanya terhadap kesehatan masyarakat. Oleh
karenanya, diharapkan para dokter tidak sungkan untuk berdinas di daerah atau
wilayah pedalaman di Indonesia meskipun ada risiko yang mesti dihadapi. Ini
semua demi mencapai pola pelayanan kesehatan seluruh warga masyarakat, terutama
wilayah pedalaman, agar terjamin.
Daftar Pustaka
Alwi,
Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Amir,
Amri dan Hanafiah, M. Jusuf. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Basbeth,
Ferryal dan Sachowardi, Qomariyah. 2012. Bioetik: Isu & Dilema.
Jakarta: Pensil-324.
Ghufron,
M. Nur, dan Risnawati S., Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta:
Ar Ruz Media.
http://www.bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/ (diunduh
pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.44).
http://www.bps.go.id/download_file/IP_September_2013.pdf
(diunduh pada Rabu, 11 Desember 2013 pukul 20.36).
http://www.desentralisasi-kesehatan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=724:27-mei-2012-mengabdi-sebagai-kehormatan&catid=38
(diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.41).
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-12-II-P3DI-Juni-2013-27.pdf
(diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.38).
http://dprd-kaltimprov.go.id/berita/1379/dokter-pedalaman-digaji-rp-40-juta.html
(diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.35).
http://geospasial.bnpb.go.id/wp-content/uploads/2011/04/2011-02-23_peta_jumlah_tenaga_kesehatan.pdf
(diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 21.10).
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/12/07/mxewaw-daerah-perbatasanpedalaman-kaltim-kurang-tenaga-medis
(diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.34).
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/17/mq2oy6-2013-penduduk-indonesia-diperkirakan-250-juta-jiwa
(diunduh pada Rabu, 11 Desember 2013 pukul 20.40).
http://news.kutaikartanegarakab.go.id/?p=1678
(diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.33).