Wednesday, December 11, 2013

Dilematika Hakikat Profesi Kedokteran: Peroleh Keuntungan atau Pengabdian


Dilematika Hakikat Profesi Kedokteran: Peroleh Keuntungan atau Pengabdian
Oleh Tyas Chairunisa
            Tak sedikit orang di Indonesia menginginkan atau bercita-cita menjadi dokter. Dapat dikatakan, profesi ini menjadi dambaan banyak orang. Adapun  stereotip yang dikenal sampai sekarang, yakni dengan menempuh pendidikan dokter, sudah pasti berprofesi dokter, dokter adalah seorang yang pintar dengan kemampuan IQ tinggi, serta memperoleh penghasilan—dapat dikatakan—memuaskan.
            Namun, benarkah demikian akan semua stereotip tersebut? Apakah benar seorang dokter harus memiliki IQ tinggi? Sudahkah terjamin utuh bahwa dokter akan memiliki penghasilan yang banyak, memuaskan? Adakah hal-hal yang memengaruhi semua itu? Apakah ada keterikatan antara profesi dokter dan dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mewakili apa yang akan dijelaskan dalam esai ini.

Dokter, etika, dan kode etik kedokteran
Apa yang Anda ketahui tentang dokter? Ialah seorang yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  Edisi Ketiga. Selain itu, seorang yang menjadi dokter tentunya merupakan lulusan sarjana kedokteran.
            Menjadi dokter merupakan salah satu jenis pekerjaan profesi. Pekerjaan profesi adalah pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat (Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, 2008:2). Oleh karena itu, tak bisa dimungkiri bahwa menjadi seorang dokter tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki kecermatan, ketangkasan—berdasarkan pelatihan yang dilakukan sewaktu menempuh pendidikan kedokteran—dalam menghadapi pasiennya.
            Selain itu, M. Jusuf Hanafiah dalam bukunya, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, menjelaskan bahwa hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (calling) untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental[1]. Umumnya, bisikan nurani dan calling tersebut dipengaruhi adanya rasa empati, ikut merasakan penderitaan orang lain, kejujuran, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama sebagai rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu, tak ayal bahwa seharusnya dokter mengutamakan kepentingan orang lain dengan membantu mengobati orang yang sakit.
            Selain itu, profesi kedokteran dikenal sebagai profesi tertua sekaligus mulia karena berhadapan dengan masalah kesehatan dan kehidupan—dua hal terpenting dalam hidup manusia. Bentuk pekerjaan profesi, seperti dokter, memiliki ciri-ciri umum, yakni pendidikan sesuai standar nasional, mengutamakan panggilan kemanusiaan, berlandaskan etik profesi (mengikat seumur hidup), legal melalui perizinan, belajar sepanjang hayat, dan bergabung dalam satu organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
             Seorang dokter haruslah memiliki Intelectually Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)[2]. Adapun tujuan dokter memiliki ketiga hal tersebut, yakni agar dokter memiliki kematangan intelektual beserta emosional dan spiritualnya—yang berkaitan erat dengan tanggung jawab dan pengabdian seorang dokter.
            Selain profesi, dalam dunia kedokteran dikenal juga istilah etika dan kode etik kedokteran. Menurut Kamus Kedokteran, sebagaimana dikutip M Jusuf Hanafiah, etika adalah pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Etika dapat dikatakan sebagai ilmu yang memperlajari asas akhlak. Dengan adanya pendidikan etika dalam kedokteran, setidaknya akan menyadarkan, menanamkan, dan juga menekankan bahwa profesi dokter adalah melayani dan membantu masyarakat terhadap penyakit yang diderita mereka dengan keikhlasan serta ketulusan.
            Tak hanya etika, tetapi kode etik kedokteran pun menjadi pembelajaran sekaligus asas hukum legal yang mengikat profesi dokter. Di Tanah Air ini, kode etik tersebut atau dikenal Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) disusun berdasarkan dua versi, yakni SK Menkes RI No.434/Menkes/SK/X/1983 dan SK PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) No. 221/PB/A-4/04/2002.
            Hal-hal yang dibahas dalam KODEKI mencakup kewajiban umum seorang dokter, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawat, serta kewajiban dan larangan dokter terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, KODEKI dapat disebut sebagai landasan utama terhadap profesi dokter. Ini disebabkan apa yang akan dilakukan dokter dalam menjalankan tugas profesinya ditentukan berdasarkan kode tersebut.

Hak, Kewajiban, dan Imbalan Jasa Dokter
Sudah pasti secara universal seluruh manusia memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Tak terkecuali profesi dokter. Adapun kewajiban dokter tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kewajiban dokter terdiri atas kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, teman sejawat, dan juga dirinya sendiri.
            Secara garis besar, kewajiban dokter yang tercantum dalam KODEKI, di antaranya setiap dokter haruslah menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter (pasal 1); dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemanadirian profesi (pasal 3); seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya (pasal 7b);  seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak-hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien (pasal 7b); dan setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi makhluk insane (pasal 8).
            Selain itu, dalam KODEKI juga dijelaskan bahwa seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu serta keterampilannya untuk kepentingan pasien; ia juga wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien; wajib melakukan pertolongan darurat; serta setiap dokter harus memelihara kesehatannya dan mengikuti perkembangan iptek kedokteran/ kesehatan.
            Segala bentuk kewajiban dokter yang dijelaskan tersebut menjadi tanggung jawab pribadi seorang dokter terhadap profesinya. Meski begitu, tak dimungkiri bahwa seorang dokter pun memiliki hak yang mesti dihormati dan dipahami masyarakat. Adapun hak-hak dokter, di antaranya melakukan praktik dokter setelah mendapat surat izin dokter (SID) dan surat izin praktik (SIP), bekerja sesuai standar profesi, mendapatkan ketenteraman bekerja, menerima imbalan jasa, mengeluarkan surat-surat keterangan dokter, dan menjadi anggota perhimpunan profesi.
            Di samping itu, tak dapat dihindari bahwa setiap profesi tentu akan menerima imbalan berupa penghasilan (materi) dari pekerjaan yang dilakukannya. Imbalan ini merupakan hak semua pelaku profesi. Oleh sebab itu, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa salah satu hak dokter adalah mendapatkan imbalan jasa atas profesi yang digelutinya.
             Imbalan jasa dokter secara garis besar berpedoman pada kemampuan pasien atau keluarga—disesuaikan dengan mata pencaharian mereka, sifat pertolongan yang diberikan—terkait pelayanan kedokteran spesialistik, dan waktu pelayanan kedokteran, seperti jika hari libur atau malam hari, pelayanan imbalan jasa ditambah[3].
            Meski demikian, perlu diingat bahwa imbalan jasa dokter ini perlu disesuaikan dengan tindakan atau profesi yang dijalankan sang dokter. Dengan kata lain, antara kualitas (pelayanan terhadap pasien) dan kuantitas (“harga” profesi jasa dokter) haruslah seimbang. Janganlah kualitas kurang baik, tetapi kuantitas tinggi atau mungkin sebaliknya. Walaupun begitu, penentuan seberapa besar dan seperti apa imbalan jasa ini tentu tak terlepas dari hak dan kewajiban dokter, terutama dalam menangani pasiennya.

Dokter dan penyebarannya di wilayah Indonesia
Tak sedikit terdengar kabar bahwa di beberapa wilayah Indonesia, khususnya daerah pedalaman, mengalami kekurangan tenaga medis seperti dokter. Bahkan, ditemukan pula puskesmas yang tidak memiliki dokter.
Bambang Sardjono, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, mengatakan sebanyak 25 persen dari 9.323 puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter[4]. Dengan kata lain, sekitar 2.330 puskesmas tidak memiliki dokter. Ini terjadi terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau kecil terdepan dan terluar. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak daerah di wilayah Indonesia mengalami keterbatasan tenaga medis (dokter).
Situasi tersebut, misalnya terjadi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Pada provinsi ini diketahui daerah perbatasan dan pedalaman mengalami kekurangan tenaga medis, khususnya dokter. Hal ini dilihat dari jumlah dokter yang tersebar di Kaltim, yakni sekitar 960-an, tak sebanding dengan jumlah penduduk keseluruhan Kaltim, yaitu sekitar 3,5 jutaan. Padahal, jika dikalkulasikan, provinsi ini membutuhkan tenaga dokter setidaknya 1.420 orang.
Memang ada beberapa faktor yang memengaruhi kurangnya dokter, terutama pada daerah pedalaman. Faktor tersebut seperti rendahnya gaji dokter, keterlambatan penggajian dokter, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, ketiadaan jaminan masa depan, bahkan juga disebabkan faktor keamanan, yakni daerah pedalaman tersebut terlibat konflik.
Sebagaimana diungkapkan Kepala Dinas Kutai Kertanegara, Koentijo Wibdarminto, seperti dituliskan dalam Media Informasi Online Kabupaten Kutai Kartanegara pada 14 Juni 2013, bahwa tidak adanya dokter yang mau bertugas di pedalaman disebabkan rendahnya gaji dokter, yakni hanya sekitar Rp2,5 juta dengan fasilitas kesehatan yang kurang memadai.
Lain daripada itu, ternyata penyebaran dokter di wilayah Indonesia lainnya dapat dikatakan tidak merata. Bayangkan saja, masih cukup banyak daerah di beberapa provinsi, seperti provindi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, bahkan wilayah bagian timur Indonesia, minim akan tenaga dokter. Katakanlah di Kepulauan Maluku dan Provinsi Papua yang masing-masing hanya memiliki 1,78 dan 2,05 persen jumlah SDM kesehatan, termasuk dokter, dari jumlah penduduk di sana.
            Selain itu, berdasarkan data  yang diperoleh daRi bank data kesehatan bahwa jumlah dokter umum, spesialis, dan gigi pada 2013 masing-masing, yakni 42.398 dokter, 38.895, dan 13.114 dokter. Ini sungguh berbeda jauh dengan jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan pada tahun ini mencapai 250 juta. Ini cukup menunjukkan keironisan dalam persebaran tenaga dokter di seluruh wilayah Indonesia. Jika memang seperti itu kondisinya, bagaimana kesehatan masyarakat Indonesia bisa terjamin seutuhnya dengan kurangnya tenaga medis tersebut? Oleh karenanya masalah ini bukannya hal sepele yang tak dipedulikan, melainkan sesuatu yang cukup krusial demi membangun warga bangsa ini menjadi warga yang sehat dan sejahtera.

Dilema: keuntungan materi dan pengabdian
Tak dimungkiri bahwa terkadang dokter dihadapkan pada dilema. Ia pun terjerat dalam dua pilihan, “mengabdi demi masyarakat” atau “mengabdi demi uang”. Dalam menentukan kedua pilihan tersebut, pastilah seorang dokter berharap memilih yang terbaik. Namun, ada kalanya mereka pun tak terlepas dari kegalauan antara dua pilihan itu. Ini disebabkan tentuanya pilihan tersebut memiliki alasan dan faktor yang memengaruhinya masing-masing.
            Memang tak bisa dihindari, pada era modern ini, setidaknya kehidupan condong dalam hal materialisme. Inilah yang menjadi salah satu faktor ketika seorang dokter “diutus” untuk berdinas di wilayah, khususnya pedalaman Indonesia, berpikir lebih matang, yakni menerima atau menolak.
            Jika ditilik dari dua sisi, sungguh tak bisa dihindari bahwa di satu sisi sudah menjadi kewajiban dokter untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat, sebagaimana “sumpah dokter” yang diucapkannya serta aturan dalam KODEKI. Namun, di sisi lain, dokter—yang juga dengan yang lainnya, makhluk konsumer—tentu menginginkan kesukesan secara materi, yang direpresentasikan dengan memiliki rumah, mobil mewah, dan fasilitas hidup terjamin. Terlebih, jika kita lihat biaya pendidikan dokter kini kian mahal. Oleh sebab itu, bisa jadi muncullah pemikiran bahwa saat menjalani profesi dokter adalah “segera mencari uang balik modal” dengan mengesampingkan pengabdian terhadap wilayah atau daerah pedalaman.
            Meski demikian, tak semestinya pemikiran untuk mencari uang agar “balik modal” menjadi salah satu hal yang diutamakan seorang dokter. Mengapa? Ini karena profesi seorang dokter terikat dengan kode etik. Sebagaimana dalam kode etik pun dijelaskan bahwa “setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter” dan “setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien.”
            Pada isi kode etik tersebut, terdapat kata “ikhlas”, yang semestinya menjadi kunci utama bagi dokter dalam menjalani profesinya., yakni melayani masyarakat, mengobatinya, tanpa berharap banyak mendapatkan balasan jasa berupa materi berlimpah. Sebab, pada dasarnya ketika seseorang memutuskan menjadi seorang dokter, mestinya dia sudah siap untuk mengabdikan dirinya dalam melayani kesehatan masyarakat. Ini tentu kembali pada hakikat profesi kedokteran—sebagaimana telah dibahas sebelumnya—mengabdikan diri berlandaskan moralitas dengan prinsip keikhlasan sebagai salah satunya sehingga dokter bukanlah seorang yang egois karena mengutamakan kepentingan orang lain (kesehatan pasiennya). 
            Selain itu, jikalau dokter memahami makna dari sumpah dokter yang dilafalkannya, dia sadar untuk menepati janjinya sebagai seorang dokter, yakni menjalankan tugasnya dengan cara terhormat, mengutamakan kepentingan masyarakat; kesehatan pasien, serta berikhtiar sungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban menjadi seorang dokter. Dengan kata lain, berdasarkan sumpah dokter, menjadi seorang dokter bukanlah untuk mendapat atau mengejar materi sebanyaknya (dalam hal ini finasial), tapi yang terpenting adalah pengabdiannya.
            Di samping itu semua, menjalani profesi dokter tak terlepas dari efikasi diri yang dimiliki. Mengapa efikasi diri? Sebab melalui efikasi diri inilah dapat memengaruhi seseorang dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun pengertian efikasi diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Apabila dikaitkan dengan profesi seorang dokter, tentu ini tak terlepas dari kompetensi yang dimiliki dirinya.
            Dengan adanya penyadaran akan kompetensi ini, sang dokter pun berhak untuk melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Ialah tak dimungkiri menjadi haknya untuk menangani dan mengambil keputusan terhadap pasien yang ditanganinya serta mendapat imbalan jasa yang memang sepatutnya dia peroleh meski tak harus dalam jumlah besar.

Simpulan
Berdasarkan penjelasan terkait akan dilema profesi kedokteran, terdapat beberapa simpulan. Pertama, menjadi seorang dokter tidak hanya dituntut untuk pintar dari segi IQ, tetapi juga dari segi EQ dan SQ. Diharapkan pula ketiga hal ini dapat dimiliki dalam diri dokter secara seimbang.
            Kedua, jika dilihat dari hakikat profesinya, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang dokter, berarti dia sudah siap untuk mengabdikan dirinya dalam melayani kesehatan masyarakat. Walaupun begitu, tak dimungkiri di samping pengabdian tersebut tentulah sang dokter menginginkan—secara materi—hidup yang sukses dan terjamin masa depannya.
            Ketiga, menjadi seorang dokter bukanlah “perkara” mudah. Karena profesi ini terikat dengan kode etik kedokteran atau dikenal KODEKI dan juga sumpah yang dilafalkannya saat dilantik menjadi seorang dokter.
            Keempat, sesuai dengan etika yang dipelajari selama menempuh pendidikan kedokteran, kode etik yang dipahami, serta sumpah dokter yang dilafalkan, diketahui bahwa seorang dokter memiliki hak, kewajiban, serta imbalan jasa. Namun, itu semua tak terlepas dari satu hal terpenting dalam komitmennya menjadi dokter, yakni “pengabdian”. Menginginkan sekaligus mengejar penghasilan besar sebagai “buah keuntungan” memang tak salah bagi dokter, ini wajar. Namun, satu kunci yang harus ditanam dan akan selalu terlekat, yakni “pengabdian”, utamanya terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, diharapkan para dokter tidak sungkan untuk berdinas di daerah atau wilayah pedalaman di Indonesia meskipun ada risiko yang mesti dihadapi. Ini semua demi mencapai pola pelayanan kesehatan seluruh warga masyarakat, terutama wilayah pedalaman, agar terjamin.

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta:  Balai Pustaka.
Amir, Amri dan Hanafiah, M. Jusuf. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4. Jakarta:  Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Basbeth, Ferryal dan Sachowardi, Qomariyah. 2012. Bioetik: Isu & Dilema. Jakarta: Pensil-324.
Ghufron, M. Nur, dan Risnawati S., Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
http://www.bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/ (diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.44).
http://www.bps.go.id/download_file/IP_September_2013.pdf (diunduh pada Rabu, 11 Desember 2013 pukul 20.36).
http://news.kutaikartanegarakab.go.id/?p=1678 (diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.33).








[1] M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. EtikaKedokteran dan Hukum Kesehatan. hlm.3.
[2] Ibid.
[3] M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. EtikaKedokteran dan Hukum Kesehatan. hlm.59.
[4] “Mengabdi sebagai Kehormatan” http://www.desentralisasi-kesehatan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=724:27-

Tuesday, October 8, 2013

Orange (part 1)

Baru saja hendak kupejamkan mata--setelah seharian ini melakukan pekerjaan rumah; menyapu, mengepel, mencuci baju, mencuci piring, memasak, merapikan kamarku dari segala buku yang berserakan, serta mengumpulkan segala kenangan yang mungkin sebaiknya kuenyahkan saja--Bunda memanggilku dari depan kamar sambil memegang sebuah jeruk yang tampaknya hendak dimakannya.

"Dinda...." panggilnya.
"Ya, Bunda. Ada apa?" sahutku seraya menghampirinya dengan langkah gontai. Jujur saja, aku sangat lelah hari ini karena semua pekerjaan rumah tangga kutangani. Memang, Bunda tak menyuruhnya, ini inisiatifku sendiri. Mengapa demikian? Karena mulai hari ini hingga tiga hari ke depan aku cuti. Beberapa hari sebelumnya aku berjanji akan mengambil cuti untuk menghabiskan waktu untuk keluarga; berkumpul bersama ayah, bunda, kak Alya, dan adikku, Raka sekaligus merupakan "jatahku" atau tepatnya membayar "utang" kepada Bunda untuk meng-handle pekerjaan rumah. Maklum, sejak dua hari lalu sampai besok kak Alya baru pulang dari tugas liputannya di Minahasa.

Ya, hampir setiap hari aku terlalu sibuk bekerja. Bahkan, terasa sekali olehku berkomunikasi dengan keluarga semakin berkurang, sangat-sangat kurang. Dari pagi hingga selepas magrib aku bekerja. Sesampainya di rumah, aku melanjutkan "PR" dari kantor demi mengejar deadline yang ketat. Namun, itu semua bukan tanpa alasan. Aku menyibukkan hari-hariku dengan bekerja karena satu alasan. Ya, satu alasan pasti.

"Bunda menemukan jeruk di lemari es. Ini punya kamu?" tanyanya sambil menyodorkan jeruk ke depan mukaku.

"Iya, Bunda. Hehehhe... Dinda lupa kalau di tas Dinda ada jeruk. Sudah empat hari mendekam di dalam tas. Lau, Dinda letakkan saja di lemari es," jawabku.

Bunda tersenyum mendengarnya seraya mengelus kepalaku. "Dinda, Dinda, kamu tuh suka kebiasaan, ya bawa makanan tapi lupa dimakan."

"Hehe... maaf ya Bun," ujarku. Bunda pun mengangguk seraya berkata, "Ya sudah kalau begitu. Bagaimana kalau jeruk ini kita makan berdua?"

"Makan berdua, Bun? Gak deh, Bunda aja yang makan," jawabku.
"Tidak. Bunda ingin jeruk ini juga dimakan sama kamu," kata Bunda. Memang, bisa dikatakan Bunda cukup keras kepala, namun sebenarnya dia sangat lembut dan perhatian kepada suami dan ketiga anaknya.

Mendengar perkataan Bunda, aku hanya mengangguk, menurutinya. Bunda lalu mengajakku ke ruang keluarga. Letaknya sekitar 45 derajat dari kamarku. Jika dihitung berdasarkan langkah, sekitar enam langkah menuju ruang keluarga. Bunda mengajakku untuk duduk bersamanya. Akhirnya, aku duduk di depannya. Bunda pun langsung membagi jeruk itu menjadi dua bagian. Satu bagian diserahkannya kepadaku.

"Dinda, coba kamu lihat jeruk ini. Selama empat hari ada di tasmu, jeruk ini suda peyot," ujar Bunda sambil memakan jeruk itu. "Lumayan, masih manis," katanya.

"Ternyata, masih bisa dimakan ya, Bun. Dikira sudah pahit, kan peyot," ujarku terkekeh.

"Din, semalam Doddy ke sini," kata Bunda. Mendengar itu membuatku tersendak.

"Doddy ke sini, Bun? Ada apa? Kok, Dinda tidak tahu," ujarku penasaran.

"Kamu kan  sudah tidur. Lagi pula dia datang memang sudah cukup malam, pukul setengah sebelas. Dia juga menahan Bunda untuk membangunkan kamu."

"O..."

"Dinda, sampai kapan kamu terus memberikan harapan kepadanya? Sampai kapan dia harus menunggu? Jangan sampai kamu menggantungkan perasaannya."

"Siapa yang memberikan harapan kepadanya, Bun? Dinda juga tak pernah memintanya untuk menunggu. Bunda juga tahu itu."

"Tapi Dinda, Bunda yakin dia pria baik untuk kamu."

"Mengapa Bunda begitu yakin? Dinda tidak pernah sekalipun berniat untuk menggantungkan perasaan Doddy, Bun. Cuma Dinda tidak bisa dengan dia."

"Bukan tidak bisa, tapi belum bisa. Apa yang kamu cari, Dinda? Sampai kapan kamu seperti ini? Bunda khawatir kalau nanti kamu..."

"Bunda, Dinda baik-baik saja. Bunda tenang saja. Apakah Bunda khawatir kalau Dinda akan menjadi perawan tua?"

"Ya, bisa jadi. Dinda, Bunda sangat mengenal anak-anak Bunda."

"Kalau memang Bunda tahu, Bunda pasti tahu jawabannya mengapa Dinda tidak bisa menerima Doddy," kataku sedikit merungut.

"Semua anak Bunda adalah seorang yang setia. Kakakmu, pasca lima tahun ditinggal selamanya oleh kakak iparmu hingga sekarang tampak belum bisa menggantikan posisi suaminya di hatinya. Begitu pun dengan adikmu. Bersusah payah menjaga kesetiaan dengan kekasihnya, tapi malah kandas di tengah jalan karena diselingkuhi."

"Tapi, Dinda tidak seperti mereka, Bunda."

"Iya Bunda tahu. Sekarang dengarkan Bunda. Perhatikan jeruk ini. Jeruk ini sudah peyot, kan?"

"Iya, Bunda. Lalu?"

"Bunda tidak ingin kesetiaan kamu hingga menjadi bentuk jeruk ini, sampai peyot."

"Maksudnya apa Bunda? Dinda tidak memahaminya," kataku bingung.

"Dinda, Bunda ingin kamu mendengar kata hati kamu. Bunda tidak ingin kamu memendam cinta hingga kamu menua nanti, peyot seperti jeruk ini."

Deg! Cukup terkejut mendengar pernyataan Bunda tadi. Apakah Bunda tahu apa yang kurasakan selama ini? Apakah Bunda tahu dengan siapa aku memendam perasaan ini? Rasa cinta yang semakin kuat tumbuh, semakin lama semakin membara. Seolah tak kuasa kuhentikan.

Bunda pun menggenggam tanganku seraya berkata, "Bunda tahu apa yang Dinda rasakan dan pikirkan sekarang. Bunda tahu." Aku hanya menatap Bunda. Dalam hati kubertanya, Apakah Bunda benar-benar tahu apa yang kurasakan sekarang? Nelangsa, terpuruk, terperangkap dalam cinta yang ujungnya tak pasti.

"Kamu sudah dewasa, Dinda. Bulan depan usiamu genap 27 tahun. Bunda hanya bisa berharap kamu dapat memutuskan apa yang terbaik untuk kamu." Setelah mengatakan itu, Bunda meninggalkanku yang masih duduk bergeming. Aku pun membereskan sisa jeruk dan membuangnya. Kemudian, segera masuk ke kamar dan mengunci pintu.

Sambil menatap langit-langit kamar, kucoba mengingat segala perkataan Bunda tadi. Bunda tidak menginginkan aku memendam cinta, tapi di satu sisi Bunda juga tidak ingin aku seolah menggantungkan perasaan Doddy. Doddy membutuhkan jawaban pasti dariku. Sungguh, aku tak bermaksud demikian. Aku yakin kata hatiku. Aku tidak bisa bersama dengan Doddy. Sama sekali tidak bisa menerimanya. Hatiku sudah tertutup untuknya. Hanya satu orang yang mampu menempatinya. Dan, itu adalah DIA. Ya, hanya DIA.





Thursday, September 12, 2013

Kecerdasan Manusia

Apa yang Anda pikirkan tentang "kecerdasan"? Apa arti kata cerdas? Apakah sama dengan makna "pintar" atau kata cerdas merupakan bagian dari kata tersebut? Mungkin, bisa jadi pula bahwa orang "pintar" belum tentu "cerdas", tapi orang "cerdas" sudah pasti "pintar". Setujukah Anda dengan pernyataan ini?

Menurut KBBI, cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya baik untuk berpikir maupun memahami sesuatu; tajam pikiran. Lalu, apa arti kecerdasan? Kecerdasan adalah perihal cerdas; perbuatan mencerdaskan. Tak jauh berbeda, pintar dapat diartikan pandai, cakap, banyak akal, atau mahir untuk melakukan sesuatu.

Selain itu, kecerdasan dapat disebut intelegensi. Intelegensi, sebagaimana pengertiannya menurut Garret yang dikutip Arifuddin dalam bukunya berjudul Neuropsikolinguistik, adalah "intelligence includes at least the abilities demanded in the solution of problems which require the comprehension and use of symbols". Dengan kata lain, berdasarkan pengertian tersebut diketahui bahwa seseorang yang memiliki intelegensi yang cukup memadai, umumnya bisa memecahkan suatu persoalan.

Memang, cerdas dan pintar terkait dengan perkembangan kognitif manusia. Kedua kata tersebut cukup sulit dibedakan. Bisa jadi perbedaan sederhana, di antaranya cerdas sangat erat kaitannya dengan pola pikir dan kerja otak manusia untuk memroses atau melakukan suatu hal, pun terkait dengan bakat yang ada dalam dirinya, sedangkan pintar terkait erat dengan tindakan untuk melakukan sesuatu, namun tak terlepas pula dari cara kerja otak. Ini disebabkan otak merupakan pusat kerja saraf tubuh kita.

Sebenarnya, ada tiga bentuk kecerdasan, yakni kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, dan spiritual. Kecerdasan emosional  merupakan kecerdasan yang berkaitan dengan hati, sesama makhluk ciptaan Tuhan, serta alam sekitar. Melalui kecerdasan ini, setidaknya kita dapat memahami seperti apa bentuk "toleransi" dan "saling menghormati serta menolong" antarsesama manusia, pun kita memiliki kesadaran untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya dalam kehidupan semesta ini.

Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain (KBBI, 2008: 262). Untuk kecerdasan ini, umumnya dikaitkan dengan tes IQ sebagai tolok ukur kecerdasan manusia. Dalam tes IQ ini terdapat klasifikasi penilaian untuk menentukan tingkat kecerdasan seseorang. Jika jumlah nilai tes IQ 80--90 dikategorikan kecerdasan rendah; 91--110 rata-rata cerdas; 111--120 memiliki kecerdasan normal, 120--130 tingkat kecerdasan superior, dan >130 dikategorikan jenius. Meski begitu, hasil tes IQ ini relatif karena bisa jadi berubah-ubah (tidak tetap).

Terakhir, yakni kecerdasan spiritual, kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Untuk kecerdasan spiritual, erat kaitannya dengan sisi religiositas manusia. Kereligiusan manusia--tak dimungkiri--tentunya menjadi sebuah kebutuhan utama untuk menenangkan jiwanya, yakni dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Keyakinan akan kebesaran-Nya mampu menambah religiositas manusia.

Selain tiga bentuk kecerdasan tersebut, diketahui pula (menurut Gardner) bahwa ada sembilan jenis kecerdasan manusia. Berikut penjelasannya.

1. Kecerdasan Bahasa (Linguistik)
Kecerdasan jenis ini merupakan kemampuan untuk menggunakan atau mengolah kata-kata secara efektif, baik lisan maupun tertulis. Seseorang yang memiliki kecerdasan bahasa mampu mengembangkan pengetahuan bahasanya secara bagus. Tak hanya itu, ia pun memiliki kemampuan menghafal yang sangat baik. Umumnya, profesi yang diminati orang yang memiliki kecerdasan tersebut, di antaranya sastrawan, dramawan, penerjemah, jurnalis, editor, bahkan orator.

2. Kecerdasan Logis-Matematis
Kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan yang berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika. Umumnya, orang yang memiliki kecerdasan ini mampu mengklasifikasi, mengategorisasi, membuat abstraksi, serta memilah-milah masalah berdasarkan tingkat kepentingan dan keutamaannya. Selain itu, juga memiliki tingkat penalaran yang tinggi. Biasanya, orang yang memiliki kecerdasan seperti ini, di antaranya ahli matematika, ilmuwan sains, ahli logika dan filsuf.

3. Kecerdasan Ruang-Visual
 Kecerdasan ini termasuk kemampuan untuk mengenal bentuk dan benda secara cepat, menggambarkan suatu hal atau benda dalam pikirannya sehingga menjadi bentuk yang nyata, serta mampu mengunngkap data dalam bentuk grafik. Umumnya, seseorang yang memiliki kecerdasan ruang peka terhadap spasial; tidak mudah tersesat dan bingung ketika berada di daerah yang baru ditemuinya. Dengan kata lain, ia mampu mengingat dan menemukan jalan yang pernah dilewatinya, pun dapat membuat peta dari suatu tempat. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh seorang navigator, dekorator, atau pemburu.

4. Kecerdasan Musikal
Sudah pasti kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengungkapkan, menikmati musik, memiliki kepekaan akan ritme, nada, melodi, nada, dan alat musik. Oleh sebab itu, tak heran jika orang yang memiliki kecerdasan ini mampu menciptakan lagu, bahkan menyanyi.Tak hanya itu, orang yang memiliki kecerdasan musikal sangat peka terhadap suara dan musik serta mampu mewujudkan pikiran dan perasannya melalui musik.Maka dari itu, kecerdasan musikal umumnya dimiliki oleh musisi, penyanyi, kritikus musik, bahkan guru musik.

5. Kecerdasan Kinestetik-Tubuh
Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan menggunakan tubuh melalui gerakan untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan. Kecerdasan ini juga dapat dikatakan sebagai kemampuan keterampilan seseorang mengoordinasikan gerakan dan melenturkan tubuh. Umumnya, orang yang memiliki kecerdasan kinestetik menyukai kegiatan yang berkaitan dengan gerakan badan, seperti menari atau berolahraga, misalnya senam. Tak hanya itu, orang yang memiliki kecerdasan ini berprofesi sebagai penari, atlet, aktor, bahkan pemahat/ pengukir.

6. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan ini merupakan kemampuan untuk memahami atau peka terhadap perasaan, watak, karakter, motivasi, isyarat, dan juga ekspresi wajah. Selain itu, orang yang memiliki kecerdasan interpesonal juga berkemampuan menjalin hubungan dan komunikan dengan banyak orang serta memiliki keluwesan berinteraksi. Orang yang memiliki kecerdasan ini memiliki sifat supel, mudah bergaul, banyak teman, serta mampu bekerja sama dengan baik. Umumnya, kecerdasan seperti ini dimiliki oleh guru yang baik, humas, serta fasilitator.

7. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan seseorang untuk mengenal diri sendiri, berefleksi, serta mengendalikan emosi dan perasaannya. Umumnya, orang yang memiliki kecerdasan ini mampu berkonsentrasi dengan baik dan menyelesaikan masalah dengan tenang dan bijaksana, begitu pula saat mengungkapkan perasaannya.Adapun yang memiliki kecerdasan ini, biasanya menyukai suasana yang tenang. Nah, terkait dengan profesi yang dimiliki oleh orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal, tampaknya kurang terlihat spesifik.

8. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan untuk memahami flora dan fauna berikut dengan keindahan dan kekayaan alam sekitar merupakan pengertian dari kecerdasan naturalis.Biasanya, orang yang memiliki kecerdasan ini memiliki kepekaan serta kecintaan terhadap alam.Selain itu, secara cepat mampu mengelompokkan atau mengidentifikasi fauna dan flora yang ada di sekitarnya. Umumnya, kecerdasan naturalis dimiliki para pecinta alam, seperti pendaki gunung atau pengelana (traveller).

9. Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan eksistensial adalah kemampuan seseorang yang memiliki kepekaan untuk menjawab segala bentuk persoalan yang berkaitan dengan keberadaan atau eksistensi manusia. Maka dari itu, tak heran jika  seseorang yang dominan memiliki kecerdasan ini selalu berusaha menelusuri seluk beluk mengapa suatu peristiwa bisa terjadi. apa sebab akibatnya. Oleh karenanya, orang ini "menuntut" kejelasan akan penyebab terjadinya suatu peristiwa sehingga inilah yang menyebabkannya untuk selalu berpikir dan berpikir akan hal tersebut. Adapun kecerdasan ini dimiliki oleh para filsuf. Tak hanya itu, ada pernyataan yang cocok untuk orang yang memiliki kecerdasan eksistensial--ini dikatakan oleh seorang filsuf terkenal pada abad ke-17, Rene Descartes--"Aku berpikir maka aku ada".

Nah, sekian penjelasan mengenai kecerdasan manusia. Jadi, Anda dominan termasuk kecerdasan yang mana?

Sunday, August 11, 2013

Refleksi: Bidadari-Bidadari Surga

Setelah beberapa hari yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta memutarkan satu film yang bagus sekaligus saya sukai. Apakah itu, ya, judulnya adalah Bidadari-Bidadari Surga. Mengapa saya suka dengan film ini? Apa yang saya sukai dari film tersebut? Para pemainnyakah, alur dan latarnya, atau kisahnya? Nah, saya akan memaparkan alasannya melalui penjelasan berikut.

Sebelum film tersebut rilis pada 2012, kira-kira sekitar lima tahun lalu saya membaca novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye. Saya membacanya karena salah seorang teman saya meminjamkan novel tersebut. Awalnya, sih biasa-biasa saja baca novel itu. Namun, setelah direnungkan, isi cerita novel tersebut bagus banget. Berkisah tentang cinta, kasih sayang, saling menghormati, serta pengorbanan membuat saya berpikir bahwa banyak nilai sekaligus hikmah dari cerita novel tersebut.

Sebelum penjelasan berlanjut, berikut saya paparkan sinopsis cerita Bidadari-Bidadari Surga.
Bidadari-Bidadari Surga berkisah tentang seorang kakak perempuan bernama Laisa yang tinggal bersama Mamak (ibu tirinya) beserta keempat adik tirinya, yakni Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Mereka hidup di sebuah pedesaan dengan kondisi "cukup miskin". Meski begitu, mereka hidup cukup bahagia karena kasih sayang, rasa cinta, dan menghormati menjadi "resep khusus" keluarga mereka.
Laisa dikenal sebagai seorang kakak yang tegas, keras, bertanggung jawab, dan sangat sayang kepada keluarganya. Dalimunte, adik laki-lakinya yang dikenal paling cerdas, sangat menyayangi dan menghormati dirinya meski dia tahu bahwa Laisa bukanlah kakak kandungnya. Tak jauh berbeda dengan Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, merupakan adik laki-laki yang cukup "nakal" karena berbagai keisengannya untuk membuat Laisa selalu marah (tapi ini saat di masa kecil). Meski begitu, mereka berdua, sama seperti Dalimunte, sangat menyayangi dan menghormati kakak tertuanya. Adapun si bungsu, Yashinta, seorang adik perempuan yang tomboy, pemberani, dan keras kepala dikenal sebagai sosok yang pintar dan sangat menyukai satwa liar.

Demi memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama untuk biaya sekolah keempat adiknya, Laisa rela bekerja keras. Dia rela berkorban sebesar-besarnya demi kesuksesan adiknya. Oleh karenanya, tak dimungkiri bahwa keempat adiknya menganggap Laisa sebagai sosok kakak yang baik, kakak mereka segala-galanya yang tak tergantikan.

Nah, setelah memaparkan sedikit sinopsis Bidadari-Bidadari Surga, saya akan mengemukakan mengapa saya menyukain novel ini. Pertama-tama, saya merasa bahwa novel/ film tersebut seperti bagian dari pencerminan kehidupan saya. Yakni, seorang kakak yang memiliki empat orang adik, tiga laki-laki dan adik bungsu adalah perempuan. Ibaratnya, saya sebagai Laisa, lalu keempat adik saya: Tyan, Tezar, Tauvian, dan Thanaya, seperti Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Oops, ini bukan lebay lho!

Mengenal sosok Laisa yang terdeskripsikan melalui perbuatan oleh sang penulis dalam cerita tersebut, membuat saya kagum sekaligus iri. Ini jujur, lho! Mengapa saya kagum? Nah, jawabannya tentu saya sangat salut dengan pengorbanan yang Laisa lakukan untuk keluarganya. Kegigihan, optimistis, serta keuletannya itu yang membuat saya kagum. Jika direfleksikan dalam diri saya: sebagai anak sulung, apa yang telah saya korbankan demi keluarga saya, demi adik-adik saya? Saya belum bisa mengorbankan apa-apa. Pun, hidup saya masih tergantung kepada orangtua (jadi, curcol, deh). Saya juga akui, saya belum bisa menjadi kakak yang baik, kakak yang tegas bagi adik-adik saya. Saya belum bisa menjadi Laisa. Oleh sebab itu, jujur saya merasa iri kepadanya. Saya iri karena dia mampu disayangi dan dihormati adiknya. Ups, bukan berarti adik-adik saya tidak menyayangi dan menghormati saya. Justru mereka, terutama ketiga adik saya, melindungi saya dan si bungsu, Naya. Maksud saya di sini adalah Laisa mampu mendidik adiknya dengan baik sehingga adik-adiknya sangat menghormati dirinya, sedangkan saya, apakah saya mampu mendidik keempat adik saya? Mampukah saya seperti Laisa?

Di dalam Bidadari-Bidadari Surga  juga saya merefleksikan diri. Sudah bijak dan dewasakah saya sebagai anak sulung. Nyatanya, menurut kedua orangtua saya, belum, tapi pasti bisa. Sebagaimana pesan orangtua saya yang diucapkan mereka saat Lebaran kemarin, "Kamu harus bisa menjadi panutan yang baik untuk adik-adik kamu. Membimbing adik-adik kamu, menjadi kakak yang baik, bijak, dan dewasa." Saya harus yakin, optimistis bahwa saya bisa menjadi kakak yang baik meski sekarang saya masih belajar. Benar-benar masih belajar.

Melalui pengorbanannya yang begitu besar, Laisa tidak pernah sekali pun menuntut. Dia hanya ingin membahagiakan keluarganya. Pun, tidak munafik saya juga ingin seperti itu. Namun, memang saya mesti banyak belajar dari tokoh Laisa. Sosoknya itu patut dicontoh, namun keadaannya, yakni seorang kakak dengan memiliki empat orang adik bisa menjadi pencerminan dan contoh bagi kehidupan saya.

Suatu ketika, saat menonton film Bidadari-Bidadari Surga via notebook, ibu saya berkata langsung kepada saya, "Seandainya anak-anak Mama seperti itu (Laisa, Mamak, dan adik-adiknya), saling menghormati, menyayangi, pasti Mama bahagia banget!" Tersirat dari perkataan tersebut, ibu saya sangat menginginkan semua anaknya dapat hidup rukun, saling menyayangi dan menghormati. Sebagaimana nasihat ibu saya kepada kami, anak-anaknya, "Yang tua menyayangi yang muda, sedangkan yang muda menghormati yang tua." Nasihat ini beberapa kali diucapkannya kepada kami.

Saturday, August 3, 2013

Lihatlah Mereka (di Sekitar Kita)

Selama Ramadhan tahun ini saya perhatikan, setiap pulang kantor, tepatnya di bilangan Pejaten, di sepanjang jalan menuju halte Transjakarta Pejaten Philips, saya temui beberapa tunawisma. Mereka umumnya membawa anak kecil, seperti batita, gerobak, dan juga beralaskan karung tipis.

Jujur saja, saya sedih melihatnya. Terlebih, melihat batita yang tampak kecil, dininabobokan oleh ibunya. Logikanya, pantaskah anak seusia itu berada di tengah dinginnya malam menikmati "hidup ramainya" Jakarta? Padahal, semestinya mereka berada di rumah untuk beristirahat. Namun ini, jangankan di rumah, mereka hanya ditidurkan di alas karung tipis dengan diselimuti kain yang sudah usang. Bahkan, gerobak pun tak layak untuk dijadikan tempat tinggal bagi bocah itu.

Memang, orang tua mereka--maaf--tidak meminta-minta, hanya duduk saja sambil mengawasi anak-anaknya yang masih kecil, entah tidur atau bermain di sekitarnya. Saya pun berpikir, bagaimana jadinya jika terjadi hujan? Di mana mereka berteduh? Lalu, bagaimana dengan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka jika sedari kecil saja mereka sudak "dipaksa" menghadapi kerasnya kehidupan di Jakarta?

Tidak hanya itu, setiap saya melintasi jembatan penyeberangan halte Transjakarta, duduklah dua anak, sepertinya kakak beradik, laki-laki dan perempuan, dengan berpakaian seadanya, berpenampilan--maaf--kotor, dan hanya beralaskan kertas koran. Adapun yang terpikir dalam benak saya adalah "di mana orang tuanya?" Coba bayangkan, jika anak itu harus "bekerja" demi sesuap nasi, tanpa memperoleh haknya untuk dilindungi orangtuanya, diberi kebahagiaan, dan juga menempuh pendidikan sesuai dengan seusianya.

Nah, oleh sebab itu, saya berharap semoga mereka--orangtua yang melepaskan anaknya di tengah kehidupan di Jakarta--memperhatikan apa yang menjadi hak anaknya. Memang sulit, tapi dibutuhkan kesadaran bagi mereka bahwa anak mereka tak seharusnya menikmati "dinginnya" Jakarta. Jika terus-menerus seperti ini, anak-anak itu yang kasihan karena merekalah yang menjadi korbannya.

Thursday, August 1, 2013

Arti "Move On"

Move On. Siapa sih yang tidak kenal dengan kata tersebut? Saat ini kata move on bukan lagi kata yang asing, bahkan menjadi kata yang lumrah, "naik daun" nan "cetar membahana" hehehhe...

Kali ini saya ingin berpendapat mengenai kata move on, tapi maaf lho jika pendapatnya tidak sepenuhnya objektif. Yah, namanya juga sudut pandang, tidak selalu sama, bukan?

Move on, singkatnya sih bermakna "bertahan". Nah, bertahan untuk apa? Gara-gara putus cinta? Cinta tak berakhir dengan bahagia? Atau cinta bertepuk sebelah tangan (padahal, kalau dibayangkan bertempuk sebelah tangan bagaimana coba, kita kan selalu bertepuk dengan kedua tangan, hehehhe)? Menurut saya, move on itu tidak harus dikaitkan dengan hal "percintaan", terutama kepada sang kekasih, calon, atau mungkin mantan.

Seperti misal, ada ungkapan seperti ini, "Tanpamu aku bisa move on, kok!" atau mungkin "Aku bisa move on meski cinta tidak berpihak kepada kita". Ahai, sudah pasti ungkapan tersebut terucap atau terpikir, umumnya, terhadap orang-orang yang mungkin sedang galau (setiap orang pasti pernah mengalami kegalauan, kan?)

Namun, menurut saya, move on  itu tak sebatas terkait dengan hal-hal percintaan, misalnya seperti pengungkapan di atas. Kata tersebut juga dapat dikaitkan dengan hal lain. Misalnya, ketika kita gagal mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, misalnya kita ingin menjadi "A", namun gagal. Nah, kita harus move on dong. *Move on tidak harus dimiliki oleh orang yang sedang galau atau kasmaran karena cinta, kan?

Terkait move on, sebenarnya kita hidup tak lepas dari segala ujian, musibah, tekanan, dsb yang tentunya sangat menguji kesabaran kita. Meski begitu, kita tidak harus menyerah apalagi terpuruk. Nah, move on menjadi "quote" yang tepat untuk diterapkan (hehehhe.... ngasal banget...). Namun demikian, yang terpenting itu kita yakin kepada Sang Pencipta bahwa semua yang diberikan dari-Nya kepada kita merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Nikmat, berkah, musibah, ujian hidup, dll, semua diberikan-Nya tentu tak melebihi batas kemampuan manusia. :) So, keep move on for everything! hehhehe


Wednesday, July 31, 2013

Saujana Mimpi (Kita)


Saujana Mimpi (Kita)
Minggu pagi, pukul 10.00, aku menantinya di taman kota. Di sudut taman ini terdapat bangku kayu yang hanya cukup diduduki dua orang. Ya, inilah tempat favoritku bersama sahabatku. Sejak kecil, kami selalu berbagi cerita di sini. Entah itu kebahagiaan atau kesedihan. Bisa dikatakan yang paling banyak bercerita adalah dia, sedangkan aku hanya mampu mendengar ceritanya, keluh kesahnya meski terkadang tak kumengerti apa yang dikatakannya.
Tak terasa 15 tahun sudah kami bersahabat. Persahabatan kami terbilang manis. Kami juga tak pernah sekali pun bertengkar. Aku tahu persahabatan yang kami jalin ini tulus bahkan begitu tulus. Dia menerimaku apa adanya sebagai sahabat, begitu pula aku. Meski kami berdua memiliki kekurangan, kami mampu melengkapi kekurangan itu.
 Jujur saja, jika berada di dekatnya aku merasa sangat nyaman. Apalagi melihat senyumnya merekah yang dipermanis dengan lesung pipit di pipi kanannya. Tak hanya itu, aku juga senang melihat bola matanya yang indah, alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik, serta rambut ikalnya yang panjang dan selalu dikuncir ekor kuda. Ingin rasanya, ketika kami bertemu, saat dia bercerita tentang kesehariannya, aku memandang wajahnya yang polos dengan lama. Namun, apa daya aku sama sekali tak bisa. Aku selalu berusaha mengalihkan pandanganku darinya. Bukan tidak peduli, melainkan untuk menyembunyikan betapa bahagianya diriku jika berada di dekatnya.
Sejenak aku melamun sambil memandangi dua orang anak di depanku kira-kira berusia enam tahun sedang berkejaran menendang bola seukuran kelapa. Kebetulan anak perempuan berlari di depan anak laki-laki. Mungkin, karena kurang keseimbangan dia terjatuh kemudian menangis. Sahabatnya pun mendekatinya, membantunya untuk berdiri, lalu mengusap air matanya. Tampak olehku, dari bibir si anak laki-laki berkata, “Jangan menangis lagi, ya,” dan sahabatnya yang terjatuh tadi mengangguk. Aku pun tersenyum melihat mereka. Sejenak teringat masa lalu.
***
Suatu hari aku pulang sekolah bersamanya. Saat di perjalanan, dia berkata kepadaku, “Hari ini aku tidak mau pulang.” Aku pun menghentikan langkahku. Lalu dia berkata lagi, “Aku tahu pasti kamu ingin tanya mengapa aku tidak mau pulang, ya kan?” Aku hanya mengangguk mendengarnya. “Kita duduk di bangku taman itu, yuk!” ajaknya. Kami pun menuju bangku itu kemudian duduk.
“Aku takut sama Ayah,” ungkapnya. “Kamu tahu kan, hampir setiap hari aku cerita tentang Ayah.” Aku hanya bisa berkata dalam hati, ya hari-harimu tak pernah lepas menceritakan ayahmu. Lalu sekarang ada apa lagi sahabatku?
“Nilai ujianku, kamu pasti tahu kan hasilnya?” tanyanya kepadaku. Ya, aku tahu hasilnya. Memang sangat jauh dari nilai baik. Bahkan, terkadang guru pun menyerah akan nilai-nilaimu.
“Kalau Ayah tahu aku dapat nilai ini, pasti dia akan memakiku. Dia pasti akan mengatakan bahwa aku ini anak bodoh. Sangat bodoh,” katanya. Aku hanya bisa mendengarnya saksama, mengandalkan alat bantu dengar yang kupasangkan di telinga kiri. Aku hanya mampu berinteraksi dengannya dari dalam hati. Sebab, jika aku bicara, belum tentu dia akan memahami apa yang kuucapkan.
“Aku tahu, aku berbeda dengan abangku. Dia selalu menjadi juara kelas, prestasinya gemilang sehingga Ayah sangat membanggakannya. Sedangkan aku …” kisahnya sambil terisak.
“Aku selalu dicap sebagai anak bodoh,” imbuhnya. Tidak, kamu tidak bodoh. Aku tahu itu.
Aku hanya bisa memegang tangannya lalu berkata kepadanya meski tidak terlalu jelas, “Jangaang mangis (jangan menangis)”. Mendengar itu, kulihat dia tersenyum seraya berkata, “Terima kasih. Kamu sahabatku yang baik.”
***
Saat melamun, mengingat kisah 13 tahun lalu, aku tidak menyadari bahwa dia sudah di sampingku.
“Hei, kamu melamun, ya?” sapanya membuatku tersentak. Dengan segera aku menggeleng.
“Kamu tahu gak hari ini aku mau cerita tentang apa,” katanya. Namun, karena aku tak memakai alat dengar, aku tidak mendengar secara jelas apa yang dia katakan. Kedua alisku naik. Mungkin, raut wajahku dipahami olehnya. “Kamu gak dengar?” katanya menggunakan bahasa isyarat. Ya, memang dia bisa menggunakan bahasa isyarat karena sesekali aku mengajarkannya. Sebenarnya, dia yang minta diajarkan.
Dia melihat telingaku, lalu menggangguk-anggukkan kepala sambil bibirnya membentuk huruf O. Dia tahu aku tidak menggunakan alat bantu dengar. “Mengapa tidak dipakai?” katanya dengan bahasa isyarat. Aku hanya menggelengkan kepala. Namun, sepertinya dia mengetahui apa yang akan kuungkapkan. “Kamu merasa tidak nyaman, ya?” tanyanya lagi. Aku hanya bisa terdiam. Sejenak keheningan terjadi di antara kami.
Aku mulai membuka pembicaraan. “Ada apa?” tanyaku dengan suara mengambang.
Dia mengambil notes dari ranselnya. Notes berukuran 15x20 cm dengan gambar pohon kelapa yang berada di pinggir notes itu adalah hadiah dariku saat dia berulang tahun yang ke-23. Lalu, dia menulis hal yang akan diceritakannya kepadaku hari ini.
Hari ini aku ingin dercerita mimpi. Ya, mimpi yong sedenarnya ban menurutku banya kamu yong disa kujak derbagi mimpiku. (Hari ini aku ingin bercerita tentang mimpi. Ya, mimpi yang sebenarnya dan menurutku hanya kamu yang bisa kuajak berbagi akan mimpiku).
Aku membacanya kemudian menulis balasan di notes-nya. Mimpi? Memangnya ada berapa mimpi yang kau miliki?
Setelah notes itu diberikan kepadanya, dia menulis lagi. Mimpiku danyak, api hanya tiga mimpi yong ingin aku ceritaken padamu. (Mimpiku banyak, tapi hanya tiga mimpi yang ingin aku ceritakan kepadamu).
Sahabatku yang satu ini memang berbeda. Tanpa bimbingan khusus dari guru di sekolah, apalagi bimbingan ayah dan ibunya untuk mengajarkannya membaca dan menulis, membuatnya lambat dalam memahami huruf, menyusun dan membaca kata. Tak banyak yang tahu bahwa sahabatku ini adalah salah satu penderita disleksia. Hanya dua orang, yakni aku dan abangnya yang mungkin dapat dikatakan memahami apa yang dideritanya. Jika ada waktu, abangnya mengajarkannya membaca. Begitu pula juga aku. Meski sudah belasan tahun berlatih dan belajar, nyatanya dia masih kurang maksimal dalam menulis kata. Aku pun mafhum dengannya sebagaimana dia juga mafhum kepadaku, terutama kondisiku.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, aku bertanya kepadanya, “Apa mimpi itu?”
Beberapa detik dia terdiam, lalu mulai memandangku, kemudian menarik napas dan tersenyum. “Pertama. Mimpiku yang pertama,” katanya sambil mengacungkan telunjuk tangan kanannya di hadapanku. Aku hanya memperhatikan pelafalan setiap kata dari bibirnya. “Aku ingin keliling dunia, Benar-benar keliling dunia.” Aku cukup terperangah mendengarnya. “Hihihi… kamu kaget, ya dengan mimpiku? Mimpiku terlalu muluk, ya?” tanyanya dengan mengekspresikan wajah polos. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Kamu tahu aku akan keliling dunia bersama siapa?” tanyanya lagi. Aku pun hanya menggeleng. “Tentu saja sama sahabatku, yaitu kamu,” katanya malu-malu sambil menunjuk diriku. Sungguh aku tak percaya. Bukan karena mimpi itu tak mungkin terwujud, melainkan kata terakhirnya, “kamu” yang tak lain adalah aku. Mengapa harus bersamaku? Mengapa?
“Itu mimpiku yang pertama. Yang kedua, aku ingin selalu menjalani hari-hariku bersama kamu. Kita melanjutkan sekolah sama-sama, keliling dunia sama-sama,” ungkapnya. Dalam hati aku bertanya, Benarkah yang kau nyatakan itu? Seriuskah?
“Tapi, apa bisa ya?” Aku menepuk pundak kirinya seraya berkata, “Pasti bisa.” Lalu, dia bertanya lagi, “Kamu yakin?” Aku hanya mengangguk.
Kemudian, dia menulis lagi di notes dan memberikannya kepadaku untuk membacanya.
Kamu ban aku derbeba. Nilai IQ saja subah jolas mengamdarkan dahwa kamu sanggat cerdas, 130. Kalau aku, selalu <90. (Kamu dan aku berbeda. Nilai IQ saja sudah jelas menggambarkan bahwa kamu sangat cerdas, 130. Kalau aku, selalu <90).
Setelah membacanya, aku hanya bisa menarik napas. Lalu aku pun menulis beberapa kalimat di notes itu.
Menurutku, aku dan kamu tidak berbeda. Justru kita saling melengkapi, saling memahami. Jika kamu yakin aku sahabat terbaikmu, kamu juga harus yakin bahwa kita bisa memwujudkan mimpi itu. Sekarang coba lihat langit biru di atas sana.
Sesudah menulisnya, aku memberikan notes itu kepadanya. Dia membacanya. Setelah itu, dia memandangku dan mengarahkan telunjuknya ke langit. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Apakah mimpiku terlalu tinggi?” tanyamu.
 Sambil menggeleng dan menggenggam erat tangan kanannya aku berkata, “Mimpimu kan tujud (Mimpimu akan terwujud).” Aku melihat binar matanya yang indah menyiratkan terima kasih serta harapan dan keyakinan terhadap diriku.
“Mimpimu satu laagii aapaa?” tanyaku.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, dia memberitahu mimpinya lagi. “Aku ingin dipeluk Ayah,” kurang lebih itulah yang dia katakan terhadap mimpi terakhirnya. Lalu, masih dengan berbahasa isyarat, dia mengungkapkan, “Aku ingin disayang Ayah.”
Butiran air mata menetes di pipinya. Sungguh, aku tak sanggup jika harus melihat dia menangis. Sahabatku itu akhirnya menundukkan kepala, kedua tangannya menangkupkan wajahnya. Aku hanya bisa mengusap rambutnya. Ingin rasanya kupeluk dia seerat mungkin untuk menenangkan dia dari tangisnya, kesedihannya. Namun, aku begitu lemah untuk melakukan itu. Aku hanya bisa mengusap rambut ikalnya serta mengusap air mata di pipinya.
“Naanti, Ayahh mu paasti memelukmu,” kataku membujuknya. Mendengar itu, dia mengusap air matanya, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih kepadaku.
Seusai menangis, sahabatku menatap langit biru nan indah dan cerah. “Mimpi kita terlukis di sana,” katanya.
“Iya,” balasku.
“Kita pasti bisa ke sana. Ke langit itu, meraih mimpi,” ungkapnya dengan nada sedikit bersemangat.
“Iya,” kataku mengangguk.
“Hei, ada layang-layang. Layang-layang itu lepas. Kita kejar, yuk!” katanya sambil menarik tanganku dan mengejar layang-layang berbentuk bintang itu. Sebenarnya, aku tak ingin mengejar layang-layang tersebut. Namun, tersirat sahabatku ini memintaku untuk menemaninya mengejar layang-layang itu. “Ayo, kita kejar! Jika aku atau kamu berhasil mendapatkannya, mimpiku akan terwujud!” ucapnya sambil berlari dan terus berlari mengejar layang-layang itu tanpa memedulikan ke mana arah jalannya.
Saat mengetahui bahwa layang-layang itu akan terjatuh tak jauh dari tempat kami berhenti sejenak melepas lelah karena berlari, dia masih mengejarnya. Namun, napasku yang masih terengah-engah hanya bisa berlari-lari kecil mengikuti sahabatku itu. Tak berapa lama, dia berteriak kepadaku. “Layangannya, sudah kudapatkan!” katanya saat berada di seberangku. Semringah melihat wajahnya yang begitu senang mendapatkan layangan itu mampu menenteramkan hatiku.
Namun, tetiba seolah tombak menembus jantungku. Karena kesenangannya itu, dia tak menyadari bahwa ada kendaraan beroda empat melintas begitu cepat. Tubuhnya pun seolah seperti kapas, terbang ringan-bebas. Aku yang melihatnya dari seberang, hanya mampu berkata dalam hati, “Jangan pergi, Saujana!”
***
Peristiwa itu kembali menghantuiku. Aku tersentak dan mendapati tubuhku penuh keringat. Napasku terengah-engah. Segera kuambil segelas air putih yang tersedia di meja samping tempat tidurku. Setelah meminum habis air itu, aku menghela napas. Mencoba menenangkan diriku.
Setelah itu, aku mengambil bingkai foto ukuran 3R di meja itu. Aku memandangi foto yang tak lain adalah dirinya. Lima tahun berlalu, namun rasa rinduku kepadanya takkan hilang. Tak akan pernah padam.
Salah satu mimpinya, yakni ingin dipeluk Ayah sudah terwujud. Sekarang aku akan mewujudkan mimpinya yang lain. Aku akan keliling dunia bersama bayangannya di hatiku.
***



Arti Sebuah Kegagalan

Siapa sih yang belum pernah merasakan kegagalan? Pasti hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakannya. Gak percaya? Coba deh ditanya satu per satu (ups, manusia di Bumi kan banyak banget, bermiliar-miliar).

Seseorang yang pernah mengalami kegagalan pasti sedih. Entah merasakan kesedihan mendalam atau kesedihan sementara saja. Nah, cukup banyak aneka ragam "kegagalan" lho! Ada kegagalan cinta, prestasi, karier, rumah tangga, ambisi, dan juga kompetisi. Ya, namanya juga hidup, banyak hal yang dialami sekaligus mau tak mau, suka tak suka harus dijalani.

Ada pepatah, "Kegagalan adalah kunci sebuah keberhasilan". Jujur, saya percaya makna pepatah tersebut. Saya cukup yakin, awal menuju puncak keberhasilan adalah mengalami beberapa kegagalan. So, bisa jadi "kegagalan" ini merupakan ujian yang harus kita lalui sekaligus membuat kita belajar. Mengapa belajar? Yup, karena dari kegagalan kita dapat belajar memperbaiki suatu hal dan juga diri masing-masing menjadi lebih baik. Dari kegagalan kita juga belajar untuk mengambil hikmahnya. Pun dari kegagalan kita belajar untuk lebih bijak dan bersabar terhadap apa yang telah terjadi, kita alami (ya, meski berat juga sih).

Terkait kegagalan, cukup sering saya alami selama ini. Meski begitu, saya berusaha memegang quote, "Life: Let it Flow". Merasa sedih? Ya, tentu saja. Tidak menerima bahwa saya telah gagal, itu pun pernah saya rasakan. Namun, saya sadar, semuanya memang harus dikembalikan kepada Allah SWT. Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita dan Dia juga yang Mengetahui kapan saat yang tepat untuk memberikan apa yang kita inginkan dan juga dibutuhkan. Ini disebabkan apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan. Nah, di samping itu, saya percaya bahwa "rencana Allah selalu indah". Jika saat ini kita gagal, mungkin Allah menguji kita agar selalu bersabar. Bukankah sudah dipastikan bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar? Pun, jika kita gagal, itu bisa jadi Dia ingin melihat kesungguhan usaha kita dan ingin agar kita berikhtiar, bertawakal, dan selalu ingat kepada-Nya. Bukankah Allah suka kepada orang yang bertawakal kepada-Nya?

Berikut ini merupakan beberapa "kegagalan" yang pernah saya alami (ini sekadar sharing, lho!). Pertama, waktu awal saya masuk SMA. Sebelum resmi menjadi siswa kelas X, saya benar-benar merasa sedih banget! Rasanya seperti mau nangis seharian. Mengapa tidak? Salah satu SMA tujuan saya ternyata menolak saya alias saya tidak diterima di sekolah itu karena nilai tes saya tidak mencukupi. Maka jadilah saya bersekolah di salah satu sekolah swasta Islam. Namun, setelah beberapa lama saya sadari bahwa ini sudah takdir dari Allah. Allah Mengetahui apa yang saya butuhkan.Salah satunya adalah ajaran-ajaran agama yang diterapkan di sekolah saya itu. Alhamdulillah, ternyata para pengajar di sana banyak yang memotivasi para siswanya untuk belajar sungguh-sungguh (meskipun saya tipikal siswa yang santai dalam belajar, heheheh). Mereka pula yang banyak memberikan "wejangan" dan nasihat, seperti "biaya sekolah itu mahal" dan "jangan kecewakan orangtua kalian" serta "Kalian harus punya cita-cita dan jangan lupa berdoa." Lama-kelamaan, berawal dari kekurangnyamanan, tidak sampai satu semester saya menikmati suasana di SMA saya itu. Bahkan, meski ada beberapa teman saya menawari agar saya pindah ke sekolahnya (di tahun ajaran berikutnya), saya putuskan untuk tetap bersekolah di sini.

Alhamdulillah, saya bersyukur sekali karena memang benar adanya bahwa "rencana Allah selalu indah". Meski waktu SMA saya di swasta (karena gagal masuk SMA negeri), saya diterima di salah satu PTN. Inilah skenario sekaligus nikmat Allah yang diberikan kepada saya. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan"

Kedua, sebelum saya bekerja di salah satu media massa harian nasional sebagai seorang editor, saya beberapa kali mengajukan lamaran ke beberapa media massa, seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia, bahkan Trans TV dan Trans 7.  Di Kompas saya mendapat panggilan tes, namun saya sudah bekerja di kantor saya sekarang ini sehingga saya tidak mengikuti tes tersebut. Lalu, di Tempo saya gagal di tahap tiga atau empat gitu (maklum, saya lupa soalnya dua tahun lalu, sih), di Media Indonesia saya tidak mendapat panggilan, begitu juga dengan Trans TV dan Trans 7. Awalnya sempat hopeless, pesimistis gitu. Namun, saya sadar, saya harus optimistis. Bukankah rezeki--dalam hal ini pekerjaan--sudah diatur Allah, tinggal bagaimana usaha kita saja. Sampai akhirnya, setelah melewati beberapa tahap, saya diterima di harian nasional ini. Alhamdulillahirabbil alaamiin... :)

Ketiga, sejak awal tahun 2013 sampai Juli ini saya telah mengikuti beberapa perlombaan, kira-kira sekitar tuju perlombaan, seperti lomba menulis esai, cerpen, bahkan novel. Berawal dari iseng, tapi cukup membuat saya penasaran meski sebenarnya hasil karya saya tersebut masih diperlukan banyak perbaikan. Maklum, penulis pemula, masih perlu banyak belajar. Namun, dari semua perlombaan tersebut, tidak ada yang saya menangkan. Sekalipun hanya satu yang masuk 75 besar dan itu adalah lomba esai. Mungkin, memang usaha saya yang belum maksimal, terikat deadline, dan kurang fokus. Ya, dengan ini berarti saya mesti belajar, memperbaiki segalanya. Kecewa dan sedih, tentu saja. Bayangkan, tiga cerpen saya gagal masuk finalis, pun demikian dengan dua novel (mungkin masih banyak, banyak banget kekurangannya) yang saya lombakan. Meski begitu, saya harus "bangkit", tidak lama merasa "terpuruk" akan kegagalan, memang kudu optimistis dan tidak pernah berhenti mencoba (meski terkadang ingin mencoba, godaan kesangsian menyelimuti :) ).

Saya pun teringat akan perkataan ibu saya, "Mungkin belum sekarang, tapi bisa jadi suatu hari nanti akan berhasil." Aamiin, insya Allah semoga saja. Itu adalah doa seorang ibu. Selain itu, ibu saya selalu mengingatkan, "Jangan sedih, jangan patah semangat. Terus berusaha menjadi lebih baik lagi." Ya, semoga saja suatu hari nanti segala bentuk kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami membuahkan hasil terbaik yang tak terkira. Aamiin... Aamiin ya Rabbalalaamiin... ^_^

Tuesday, July 30, 2013

Deskripsi Cinta

Berbicara tentang CINTA? Mmh... pasti tak pernah habisnya. Tema simpel, tapi penafsirannya banyak. Nah, berhubung ada waktu senggang nih, saya ingin mencurahkan, menggambarkar, serta merangkumkan sudut pandang mengenai CINTA itu. Oops... Ini bukan sekadar dari sudut pandang saya lho, tapi juga sudut pandang orang-orang di sekitar saya. Pun, tak menutup kemungkinan ada singgungan sedikit dari novel romantis yang saya baca atau lagu-lagu percintaan yang saya dengar. So, check this out!!

CINTA itu apa sih? Eng-ing-eng jreng-jreng.... Ada yang tahu makna dari cinta? CINTA itu C I N T A (ups seperti lagu ya, "Bertahan satu ciiin....ta, bertahan satu Ce I eN Te A hahahah) Oke, sebelum kita beralih melalui sudut pandang tentang cinta, yuks kita lihat maknanya berdasarkan KBBI (lagi-lagi berpacu pada kamus hihihi...)

Berdasarkan KBBI Edisi Keempat, cinta maknanya cukup banyak lho! Ada empat, yakni 1. suka sekali, sayang benar; 2. kasih sekali, terpikat; 3. ingin sekali, berharap sekali, rindu; 4. susah hati (khawatir), risau. Nah, simpelnya kalau sudah merasakan keempat hal tersebut, sudah pasti seseorang merasakan cinta. Tapi masalahnya, cinta itu seperti apa, ya?

Beberapa bulan lalu ada dua-tiga teman saya (maklum saya lupa) yang menanyakan "apa itu cinta" terhadap saya. Kebetulan pula yang bertanya itu cowok (kalau seandainya cewek pasti jawaban saya melankolis, menyinggung romantis, dan cukup sensitif). Karena itu, saya menjawab melalui sudut pandang saya "seenaknya" saja. Sebab, kalau jawabnya "feminin" banget pasti agak "gimana gitu".

So, saya pun menjawab, "LOVE IS MATHEMATICS". Nah lho, mengapa ini jawabannya? Saya pun menjelaskan kepada teman saya bahwa cinta itu membutuhkan perhitungan (ini tidak terkait dengan materialistis harta). Ya, perhitungan yang dimaksud adalah perhitungan apakah kita sudah siap mengambil risiko dalam cinta meski pada kenyataanya terkadang orang tidak memikirkan risiko ketika merasakan "fall in love". Perlu diingat lho, dalam cinta itu pasti ada perbedaan dan yang menyatukan perbedaan itu adalah dengan cinta.

//Love is mathematics//, simpelnya seperti kita mempelajari sala satu teori matematika, contohnya teori pythagoras (dalam trigonometri) yang mencakup sin, cos, tan. Masih ingat rumus sin, cos, tan? Kalau lupa, rumusnya gampang, lho! Sin: de mi (depan-miring sisi segitiga), cos: sa mi (samping-miring), dan tan (depan-samping). Ups, kok jadi bahas rumus? Tidak apa-apa, ini masih berkaitan kok!

Kalau kita memahami rumus sin, cos, tan itu, cukup besar kemungkinan kita akan memahami "kekuatan cinta". Mengapa? Karena dalam cinta, selain terdapat perbedaan, ada pula ujian yang cukup menggoyahkan, menggoncangkan.Dalam rumus phytagoras, bentuk segitiga yang dibahas adalah segitiga siku-siku dengan tiga sisi, depan, miring, samping. Nah, kalau kita analogikan, ketiga sisi itu merupakan "ujian" yang perlu dihadapi dalam cinta. #tsah

Love is mathematics. Cinta zaman sekarang tidak cukup cuma "makan" cinta, tapi juga menabung. Pun butuh perhitungan pula demi masa depan. Makanya, "menabung" menjadi kata yang tepat. Menabung apa? Uang kartal atau koin? Ups, maksud menabung di sini, tak lain adalah "menabung" kepercayaan, kesetiaan. Ini tuh merupakan tabungan cukup penting dalam memupuk cinta. *duile...

Oya, penjelasan di atas cuma perwakilan aja lho. So, sekarang lanjut ke ke lirik lagu.
Dalam lagu Maliq & D'Essentials ada lagu berjudul "Beri Cinta Waktu" (Lagu ini cukup sedih, pas banget kalau didengarkan oleh orang yang lagi galau cinta, bakal bercucuran deh tuh air mata hehehhe) dan KLa Project dalam album terbarunya ada "Cinta (Bukan) Hanya Kata" (lagu yang menunjukkan kesetiaan, menurut saya).

Jika ditilik, dalam lagu "Beri Cinta Waktu" ada kutipan "Bilakah kau tahu, ketika kau jauuh.... Menangis hatiku.." Namanya juga cinta, kalau jauh itu bikin ngangenin, bahkan bisa bikin nangis, sesak pula. Kalau ada yang merasakan seperti ini, sudah pasti terinveksi "virus" cinta. Tapi, ini universal, lho, tak sebatas hubungan dua insan--laki-laki dan perempuan--saja.

Lain halnya dengan lagu "Cinta (Bukan) Hanya Kata". Berikut kutipannya, "Seandainya dunia berhenti berputar, hati tetap kujaga, tiada pernah kuingkar. Bagiku semula cinta hanya kata, sampai kau datang jua dan memberinya makna." Dan, menurut hemat saya, orang yang memang benar-benar merasakan cinta dari lubuk hati yang terdalam, teramat tulus, dia pasti menyadari bahwa kehadiran orang yang dicintainya itu begitu bermakna, berarti sepanjang hidupnya. Lagi-lagi ini universal. Mengapa? Sebab, kita yang terlahir awalnya sebagai anak memiliki makna yang besar bagi orangtua, pun begitu pun sebaliknya (ini salah satu bentuk cinta dari sekian banyak bentuk cinta di dunia, All The Love in The World dong, #jiah kok jadi lagu The Corrs hahhahha)

Jadi, cukup sekian tentang sudut pandang cinta. Sebenarnya masih mau nulis lagi, sih, tapi mata, tangan, dan otak tak bisa diajak kompromi. Tangan lelah mengetik, mata mengantuk, dan otak berputar-putar dengan pemikiran di lain hal. hehehhe...