Tuesday, February 11, 2014

Love You, Kak!


Love You, Kak!
(Season Iqbal)

            Hari ini panas sekali. Untunglah pekerjaan di kantor sudah selesai selepas zuhur tadi dan aku cukup berterima kasih kepada atasanku yang mengizinkanku pulang lebih awal dari “jam kantor”, pukul 13.30 WIB. Mungkin, dia merasa kasihan karena melihat kondisiku belum pulih total pasca dirawat di rumah sakit dua hari lalu.
            Sesampainya di rumah, tak ada yang berbeda. Tetap seperti biasa, sepi. Hanya ada Bi Minah, pembantu di rumah. Itu pun dia hanya bekerja dari selepas subuh hingga sore. Dengan kata lain, saat ini di rumah hanya ada aku dan Bi Minah.
            Ayah, mmh, jangan ditanya lagi. Beliau sangat sibuk, apalagi sedang mengurus bisnis batu baranya di Kalimantan Timur. Kalau ibu sedang menjadi narasumber di beberapa seminar dan workshop kesehatan ibu dan anak di beberapa wilayah di Pulau Jawa, NTT, dan NTB. Kemungkinan baru pulang minggu depan.
            Ditinggal ayah dan ibu untuk menyelesaikan pekerjaannya masing-masing sudah biasa bagiku. Toh, sejak kecil memang sudah sering ditinggal. Namun, ada hal yang paling aku rindukan, yakni adik-adikku. Saat suasana sepi seperti ini, aku ingin adik-adikku berkumpul, menemaniku, bercanda tawa, bercerita, menasihati mereka, pun memarahinya. Sayangnya, saat ini ketiga adikku, Iqbal, Rafi, dan Adly, sudah mempunyai urusan masing-masing. Makanya, kebersamaan dengan mereka semakin jarang, bahkan sekarang sangat jarang.
            Terlebih, saat ini adik pertamaku, Iqbal, sudah berkeluarga dan tinggal di Bandung bersama istri dan anaknya. Raffi sibuk dengan pembangunan gedung baru dan mengatur sekolah musiknya di Bogor, sedangkan adik bungsuku, Adly, saat ini kuliah di ITB jurusan teknik elektro dan pulang paling cepat sebulan sekali. Aku sangat merindukan ketiga adikku. Kapan mereka ke sini? Menemani dan menggodaku, sekaligus menghiburku dengan tingkah mereka yang terkadang “ aneh”.
Aku hanya bisa melihat foto mereka bertiga yang selalu kupajang dalam bingkai berukuran 10x15 cm yang terletak di meja samping tempat tidurku. Tak terasa, air mataku menetes. Kakak rindu kalian.
                                                                   ***

Tok…tok…tok…

Seseorang mengetuk pintu kamarku. Entah siapa yang mengetuk. Namun, kupastikan hanya ada tiga orang yang kemungkinan mengetuk kamarku pada malam ini. Antara Iqbal, Rafi, dan Adly, sedangkan ayah dan ibu tidak mungkin karena mereka belum pulang kerja.
“Masuk,” kataku. Seseorang pun masuk ke kamarku. Ternyata dia adalah Iqbal, adik sulungku.
“Kak, Iqbal mau ngomong sesuatu,” ujarnya sambil duduk di atas tempat tidurku, tepatnya di sampingku.
“Mau bicara apa?” tanyaku sambil fokus mengetik di notebook.
“Kakak bisa bantuin Iqbal, gak?” tanyanya ragu-ragu.
“Bantu apa, Bal?”
“Iqbal mau nikah, Kak!” jawabnya mantap. Aku terkejut mendengarnya. Spontan aku membalikkan badan dan menatapnya dengan dekat.
“Apa? Kamu mau menikah? Kamu yakin? Mau menikah dengan siapa?”
“Ya, dengan gadis pilihan Iqbal, Kak!”
“Tapi, kamu masih muda. Usia baru masuk 22 tahun, kuliah belum lulus, masih nyusun skripsi, belum kerja! Kenapa mau nikah?”
“Ya, karena Iqbal sudah yakin dengan pilihan Iqbal, Kak!”
“Memutuskan menikah itu bukan sekadar keyakinan terhadap pilihanmu, Bal. Tapi, coba pikirkan bagaimana ke depannya. Kamu kan nanti jadi kepala keluarga, yang akan mencukupi kehidupan istri dan anak kamu. Memang kamu sudah siap segalanya?”
“Insya Allah, Iqbal siap, Kak! Lagi pula calon istri Iqbal kan teman kampus, kakak juga sudah kenal. Kita juga sama-sama lagi nyusun skripsi. Ya, semoga saja nanti bisa co-as bareng. Kan, asyik juga Kak, sudah nikah co-as bareng.”
Mendengar ungkapan Iqbal, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Iqbal memang keras kepala, sekali dia menginginkan sesuatu, pasti akan “memperjuangkannya” hingga dapat. Ya, seperti ini, keinginan untuk menikah, yang menurutku keinginan terberat yang pernah kudengar.
“Tunggu dulu. Sepertinya Kakak tahu siapa calonmu itu. Pasti Farah, ya! Satu-satunya teman perempuan kamu yang diajak ke sini dan dikenalkan ke kakak. Benar, gak?”
“Iya, Kak. Hehehhe…. Maka dari itu, Kak, Iqbal mau minta tolong. Tolong bilang ke ayah dan ibu kalau Iqbal mau nikah. Ya, Kak, tolong bilangin ke mereka, soalnya Iqbal sudah melamar Farah dan bilang kepada kedua orangtuanya. Mereka sudah setuju.”
“Apa? Aduh Iqbal, kenapa sepihak begitu? Kenapa baru bilang sekarang ke Kakak kalau sudah melamar Farah? Ini bakal jadi rumit, Bal! Ayah dan ibu juga belum tentu setuju!”
“Tapi, Iqbal yakin kalau Kakak bisa bantu Iqbal meyakinkan ayah dan ibu untuk menyetujui keinginan Iqbal.”
Aku hanya bisa terdiam. Di satu sisi aku senang karena setidaknya Iqbal cukup berani mengambil keputusan, bahkan sudah melamar Farah. Jujur saja, aku sangat setuju karena aku yakin Farah adalah perempuan baik dan pantas menjadi istri Iqbal. Namun, di sisi lain aku bingung bagaimana mengutarakan maksud Iqbal tersebut ketika ayah dan ibu pulang kerja. Mungkin, ibu akan paham, tapi bagaimana dengan ayah? Ayah termasuk orang yang keras dan tegas. Sekali tidak, ya TIDAK! Sulit melunakkan hati ayah. Apalagi Iqbal ingin menikah pada saat dia belum lulus kuliah, bahkan usianya terbilang muda. Ya, meski tak dimungkiri, jodoh yang mengatur adalah Sang Illahi. Dia-lah Maha Menentukan kapan waktu yang tepat untuk mempertemukan jodoh setiap manusia.
“Kak, kok diam! Kakak bisa kan bantu Iqbal? Please, Kak ini untuk terakhir kalinya.”
“Insya Allah Kakak coba, Bal! Tapi, Kakak tidak yakin bagaimana dengan keputusan ayah nanti. Kamu tahun sendiri, kan bagaimana ayah?”
“Iya, Kak,” kata Iqbal dengan suara pelan. Aku tahu, pasti dia juga memikirkan seperti apa komentar ayah nanti ketika mengetahui bahwa dirinya ingin menikah.
“Kak, Iqbal mohon maaf, ya Kak.”
“Minta maaf? Memang kenapa, Bal?”
“Selama ini Iqbal selalu merepotkan Kakak. Dari kecil bahkan sampai sekarang Iqbal selalu meminta bantuan Kakak. Tapi, Kakak selalu berusaha menolong Iqbal. Maafkan Iqbal, ya Kak. Iqbal belum bisa menjadi adik yang baik untuk Kakak, belum bisa membalas kebaikan Kakak.”
“Bal, Kakak tidak menginginkan balasan dari Iqbal. Semua Kakak lakukan tulus untuk Iqbal. Iqbal adik Kakak, sama seperti Rafi dan Adly. Dan karena Kakak adalah anak sulung, seorang kakak, maka memang sudah menjadi kewajiban Kakak untuk membantu dan membela adik-adik Kakak selama itu tujuannya baik.”
“Maafkan Iqbal, Kak. Iqbal baru mengungkapkan keinginan menikah sekarang, telah melamar Farah tanpa memberi tahu Kakak. Karena jujur, sebenarnya Iqbal takut dimarahi Kakak dan juga tidak enak karena mungkin akan “melangkahi” Kakak.”
“Bal, mana mungkin Kakak marah dengan keputusan Iqbal? Justru Kakak bangga lho dengan Iqbal. Ya, meski kaget juga sih dengarnya. Satu hal yang perlu Iqbal ingat, sama sekali tak masalah bagi Kakak jika Iqbal “melangkahi” Kakak, toh yang mengatur jodoh itu kan Sang Illahi. Jika memang adik-adik Kakak sudah mendapat jodoh terlebih dahulu, ya tidak perlu dipusingkan, bukan masalah bagi Kakak. Insya Allah Kakak ikhlas, Bal,” kataku seraya memeluk Iqbal. “Bantu doa ya Bal, semoga Kakak bisa bantu bicara kepada ayah dan ibu. Dan keinginanmu untuk meminang Farah berjalan lancar tanpa hambatan.”
“Aamiin. Terima kasih, Kak. Sekali lagi Iqbal minta maaf, ya Kak. Iqbal sayang sekali sama Kakak. Kakak adalah pahlawan bagi Iqbal.”
“Iya, Kakak juga sayang semua adik Kakak.”
                                                                     ***
Masih teringat dalam benakku bagaimana sikap ayah ketika mendengar bahwa Iqbal ingin menikah. Bukan hanya menolak, melainkan ayah sangat tidak menyetujui keinginan mulia Iqbal. Ayah benar-benar marah.
“Ayah tekankan sekali lagi, Iqbal tidak akan menikah sebelum dia lulus kuliah, sebelum dia resmi menjadi dokter!” kata ayah dengan nada tinggi.
“Mengapa tidak boleh, Yah? Keinginan Iqbal kan mulia,” kataku.
“Sekali Ayah bilang tidak, ya tidak! Ayah tidak setuju jika Iqbal menikah di usia semuda ini!”
“Apakah ada yang salah, Yah jika Iqbal menikah pada usia 22 tahun? Dulu Ayah menikah dengan ibu juga masih kuliah, usianya pun sama dengan Iqbal.”
“Kamu jangan menggurui Ayah. Itu tidak sopan! Lagi pula Ayah tidak ingin kamu dilangkahi Iqbal!”
“Jihan bukan menggurui Ayah, tapi hanya ingin mengingatkan Ayah. Datangnya jodoh, siapa yang tahu, Yah? Semua sudah ketentuan-Nya. Maaf Yah jika Jihan berbicara seperti ini. Tapi, Jihan juga tidak tega kalau keinginan Iqbal tak disetujui oleh Ayah, tak mendapat restu Ayah.”
Dan sejak perdebatan itu, setidaknya sekitar tiga hari ayah tak menegurku. Aku tak diacuhkan oleh ayah meski aku berusaha mulai bicara kepadanya. Namun, pada hari keempat sesuatu terjadi oleh ayah. Beliau mengajak kami berempat, yakni dirinya, ibu, aku, dan Iqbal, berbicara di ruang keluarga. Ternyata alhamdulillah, ayah menyetujui rencana Iqbal untuk menikah. Ini disebabkan setelah berpikir matang selama beberapa hari serta mendengarkan “bujukan” ibu, akhirnya hati ayah luluh. Maka dari itu, dua bulan kemudian Iqbal menikah dengan Farah.
Ya, itu merupakan “kejadian” lima tahun lalu yang tak terlupakan olehku. Meluluhkan hati ayah memang sulit, tapi yang terpenting dalam hidupku adalah asalkan adik-adikku bisa bahagia, apa pun akan kuusahakan demi mereka.
Tetiba ponselku berbunyi. Ternyata Iqbal meneleponku.
“Assalamualaikum. Kak, apa kabar?”
“Waalaikumussalam. Alhamdulillah Kakak baik. Bagaimana kabarmu dan anak istri?”
“Alhamdulillah baik, Kak. Oya Kak, insya Allah malam ini kami akan ke sana. Ya, sekitar tiga hari kami menginap,” kata Iqbal.
Jujur saja, mendengar perkataan Iqbal tadi aku sangat merasa senang. Allah mengetahui apa yang kuinginkan saat ini. Dia Maha Mendengar isi hati. Alhamdulillah, terima kasih ya Rabb.
“Iya, Kakak tunggu ya, Bal.”
***




No comments:

Post a Comment