Tuesday, October 8, 2013

Orange (part 1)

Baru saja hendak kupejamkan mata--setelah seharian ini melakukan pekerjaan rumah; menyapu, mengepel, mencuci baju, mencuci piring, memasak, merapikan kamarku dari segala buku yang berserakan, serta mengumpulkan segala kenangan yang mungkin sebaiknya kuenyahkan saja--Bunda memanggilku dari depan kamar sambil memegang sebuah jeruk yang tampaknya hendak dimakannya.

"Dinda...." panggilnya.
"Ya, Bunda. Ada apa?" sahutku seraya menghampirinya dengan langkah gontai. Jujur saja, aku sangat lelah hari ini karena semua pekerjaan rumah tangga kutangani. Memang, Bunda tak menyuruhnya, ini inisiatifku sendiri. Mengapa demikian? Karena mulai hari ini hingga tiga hari ke depan aku cuti. Beberapa hari sebelumnya aku berjanji akan mengambil cuti untuk menghabiskan waktu untuk keluarga; berkumpul bersama ayah, bunda, kak Alya, dan adikku, Raka sekaligus merupakan "jatahku" atau tepatnya membayar "utang" kepada Bunda untuk meng-handle pekerjaan rumah. Maklum, sejak dua hari lalu sampai besok kak Alya baru pulang dari tugas liputannya di Minahasa.

Ya, hampir setiap hari aku terlalu sibuk bekerja. Bahkan, terasa sekali olehku berkomunikasi dengan keluarga semakin berkurang, sangat-sangat kurang. Dari pagi hingga selepas magrib aku bekerja. Sesampainya di rumah, aku melanjutkan "PR" dari kantor demi mengejar deadline yang ketat. Namun, itu semua bukan tanpa alasan. Aku menyibukkan hari-hariku dengan bekerja karena satu alasan. Ya, satu alasan pasti.

"Bunda menemukan jeruk di lemari es. Ini punya kamu?" tanyanya sambil menyodorkan jeruk ke depan mukaku.

"Iya, Bunda. Hehehhe... Dinda lupa kalau di tas Dinda ada jeruk. Sudah empat hari mendekam di dalam tas. Lau, Dinda letakkan saja di lemari es," jawabku.

Bunda tersenyum mendengarnya seraya mengelus kepalaku. "Dinda, Dinda, kamu tuh suka kebiasaan, ya bawa makanan tapi lupa dimakan."

"Hehe... maaf ya Bun," ujarku. Bunda pun mengangguk seraya berkata, "Ya sudah kalau begitu. Bagaimana kalau jeruk ini kita makan berdua?"

"Makan berdua, Bun? Gak deh, Bunda aja yang makan," jawabku.
"Tidak. Bunda ingin jeruk ini juga dimakan sama kamu," kata Bunda. Memang, bisa dikatakan Bunda cukup keras kepala, namun sebenarnya dia sangat lembut dan perhatian kepada suami dan ketiga anaknya.

Mendengar perkataan Bunda, aku hanya mengangguk, menurutinya. Bunda lalu mengajakku ke ruang keluarga. Letaknya sekitar 45 derajat dari kamarku. Jika dihitung berdasarkan langkah, sekitar enam langkah menuju ruang keluarga. Bunda mengajakku untuk duduk bersamanya. Akhirnya, aku duduk di depannya. Bunda pun langsung membagi jeruk itu menjadi dua bagian. Satu bagian diserahkannya kepadaku.

"Dinda, coba kamu lihat jeruk ini. Selama empat hari ada di tasmu, jeruk ini suda peyot," ujar Bunda sambil memakan jeruk itu. "Lumayan, masih manis," katanya.

"Ternyata, masih bisa dimakan ya, Bun. Dikira sudah pahit, kan peyot," ujarku terkekeh.

"Din, semalam Doddy ke sini," kata Bunda. Mendengar itu membuatku tersendak.

"Doddy ke sini, Bun? Ada apa? Kok, Dinda tidak tahu," ujarku penasaran.

"Kamu kan  sudah tidur. Lagi pula dia datang memang sudah cukup malam, pukul setengah sebelas. Dia juga menahan Bunda untuk membangunkan kamu."

"O..."

"Dinda, sampai kapan kamu terus memberikan harapan kepadanya? Sampai kapan dia harus menunggu? Jangan sampai kamu menggantungkan perasaannya."

"Siapa yang memberikan harapan kepadanya, Bun? Dinda juga tak pernah memintanya untuk menunggu. Bunda juga tahu itu."

"Tapi Dinda, Bunda yakin dia pria baik untuk kamu."

"Mengapa Bunda begitu yakin? Dinda tidak pernah sekalipun berniat untuk menggantungkan perasaan Doddy, Bun. Cuma Dinda tidak bisa dengan dia."

"Bukan tidak bisa, tapi belum bisa. Apa yang kamu cari, Dinda? Sampai kapan kamu seperti ini? Bunda khawatir kalau nanti kamu..."

"Bunda, Dinda baik-baik saja. Bunda tenang saja. Apakah Bunda khawatir kalau Dinda akan menjadi perawan tua?"

"Ya, bisa jadi. Dinda, Bunda sangat mengenal anak-anak Bunda."

"Kalau memang Bunda tahu, Bunda pasti tahu jawabannya mengapa Dinda tidak bisa menerima Doddy," kataku sedikit merungut.

"Semua anak Bunda adalah seorang yang setia. Kakakmu, pasca lima tahun ditinggal selamanya oleh kakak iparmu hingga sekarang tampak belum bisa menggantikan posisi suaminya di hatinya. Begitu pun dengan adikmu. Bersusah payah menjaga kesetiaan dengan kekasihnya, tapi malah kandas di tengah jalan karena diselingkuhi."

"Tapi, Dinda tidak seperti mereka, Bunda."

"Iya Bunda tahu. Sekarang dengarkan Bunda. Perhatikan jeruk ini. Jeruk ini sudah peyot, kan?"

"Iya, Bunda. Lalu?"

"Bunda tidak ingin kesetiaan kamu hingga menjadi bentuk jeruk ini, sampai peyot."

"Maksudnya apa Bunda? Dinda tidak memahaminya," kataku bingung.

"Dinda, Bunda ingin kamu mendengar kata hati kamu. Bunda tidak ingin kamu memendam cinta hingga kamu menua nanti, peyot seperti jeruk ini."

Deg! Cukup terkejut mendengar pernyataan Bunda tadi. Apakah Bunda tahu apa yang kurasakan selama ini? Apakah Bunda tahu dengan siapa aku memendam perasaan ini? Rasa cinta yang semakin kuat tumbuh, semakin lama semakin membara. Seolah tak kuasa kuhentikan.

Bunda pun menggenggam tanganku seraya berkata, "Bunda tahu apa yang Dinda rasakan dan pikirkan sekarang. Bunda tahu." Aku hanya menatap Bunda. Dalam hati kubertanya, Apakah Bunda benar-benar tahu apa yang kurasakan sekarang? Nelangsa, terpuruk, terperangkap dalam cinta yang ujungnya tak pasti.

"Kamu sudah dewasa, Dinda. Bulan depan usiamu genap 27 tahun. Bunda hanya bisa berharap kamu dapat memutuskan apa yang terbaik untuk kamu." Setelah mengatakan itu, Bunda meninggalkanku yang masih duduk bergeming. Aku pun membereskan sisa jeruk dan membuangnya. Kemudian, segera masuk ke kamar dan mengunci pintu.

Sambil menatap langit-langit kamar, kucoba mengingat segala perkataan Bunda tadi. Bunda tidak menginginkan aku memendam cinta, tapi di satu sisi Bunda juga tidak ingin aku seolah menggantungkan perasaan Doddy. Doddy membutuhkan jawaban pasti dariku. Sungguh, aku tak bermaksud demikian. Aku yakin kata hatiku. Aku tidak bisa bersama dengan Doddy. Sama sekali tidak bisa menerimanya. Hatiku sudah tertutup untuknya. Hanya satu orang yang mampu menempatinya. Dan, itu adalah DIA. Ya, hanya DIA.