Cemburu!
Aku benar-benar cemburu!
Itulah yang kurasa terhadapmu saat ini.
Apakah kau tahu?
Adakah kau rasakan cemburuku itu?
Cemburu!
Ya, aku benar-benar cemburu!
Bagaimana tidak?
Kuberikan sebuah pena indah,
hhh... justru kau habiskan tinta pena itu
Hanya untuk menulis NAMANYA
ribuan kali
di langit malam
Cemburu!
Sungguh, aku benar-benar cemburu!
Mengapa tidak? Itu wajar, bukan?
Ketika kutahu kau rela menulis NAMANYA
di langit
tanpa sekata pun kau menulis NAMAKU
di sana
Apa pun yang Terpikirkan, Perlu Dipikirkan
Sunday, April 23, 2017
Friday, April 21, 2017
Untitled
Kemarin, ayahku membelikan sebuah pena
Tak sampai 24 jam, tinta pena itu habis.
Ups, maaf! Aku tak kuasa untuk kontrol emosi!
Semalaman kugunakan tinta itu untuk menulis namamu
di langit.
Dan, di langit pula berulang kutulis sebuah kata
"RINDU"
Tak sampai 24 jam, tinta pena itu habis.
Ups, maaf! Aku tak kuasa untuk kontrol emosi!
Semalaman kugunakan tinta itu untuk menulis namamu
di langit.
Dan, di langit pula berulang kutulis sebuah kata
"RINDU"
Wanita
Aku memang seorang wanita
Namun,
apakah aku sudah mengerjakan tugas seorang wanita dengan baik?
Apakah aku sudah mendapatkan hak dan kewajibanku sebagai wanita?
Aku memang seorang wanita
kelak aku akan menjadi istri,
lalu menjadi seorang ibu
setelah sebelumnya aku menjadi seorang anak bagi ibuku
Ibuku pernah berkata,
"Menjadi wanita yang baik bagi keluarga itu sulit."
"Menjadi wanita yang bijaksana itu juga susah."
"Menjadi wanita yang selalu menjaga ketaatan dan keikhlasan tersebut juga tidak mudah."
Mendengar perkataannya, aku bertanya,
"Bagaimana menjadi wanita yang baik bagi keluarga, Bu?"
"Apa yang harus kita lakukan agar senantiasa menjadi bijaksana?"
"Bagaimana untuk selalu mempertahankan ketaatan dan keikhlasan itu?"
Ibu, wanita paling hebat dan kuat, hanya tersenyum
"Kelak kau akan tahu saat kau dewasa, saat kau menjadi istri, dan memiliki anak."
Hai, wanita!
Tahukah kau hal apa yang cukup krusial dimiliki oleh wanita?
Wanita itu tidak hanya sekadar pintar,
tetapi juga cerdas?
Tapi apakah itu menjadi tolok ukur utama sebagai wanita yang baik
dalam suatu keluarga?
Wanita itu memang harus "pintar" dan "cerdas"
bahkan, menjadi nilai plus jika memiliki bakat tertentu.
Apakah kau tahu alasannya, wanita?
Ya, karena kelak wanita akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya!
Ingatlah!
Kepintaran dan kecerdasan bukanlah suatu hal yang perlu
dipamerkan
ditunjukkan
diutamakan
disombongkan
Karena apalah arti sebuah kepintaran dan kecerdasan jika kau hanya menjadikan itu sebagai senjata utama dalam memamerkan keunggulan dirimu, bukan untuk memperjuangkan sesuatu yang berguna?
Namun,
apakah aku sudah mengerjakan tugas seorang wanita dengan baik?
Apakah aku sudah mendapatkan hak dan kewajibanku sebagai wanita?
Aku memang seorang wanita
kelak aku akan menjadi istri,
lalu menjadi seorang ibu
setelah sebelumnya aku menjadi seorang anak bagi ibuku
Ibuku pernah berkata,
"Menjadi wanita yang baik bagi keluarga itu sulit."
"Menjadi wanita yang bijaksana itu juga susah."
"Menjadi wanita yang selalu menjaga ketaatan dan keikhlasan tersebut juga tidak mudah."
Mendengar perkataannya, aku bertanya,
"Bagaimana menjadi wanita yang baik bagi keluarga, Bu?"
"Apa yang harus kita lakukan agar senantiasa menjadi bijaksana?"
"Bagaimana untuk selalu mempertahankan ketaatan dan keikhlasan itu?"
Ibu, wanita paling hebat dan kuat, hanya tersenyum
"Kelak kau akan tahu saat kau dewasa, saat kau menjadi istri, dan memiliki anak."
Hai, wanita!
Tahukah kau hal apa yang cukup krusial dimiliki oleh wanita?
Wanita itu tidak hanya sekadar pintar,
tetapi juga cerdas?
Tapi apakah itu menjadi tolok ukur utama sebagai wanita yang baik
dalam suatu keluarga?
Wanita itu memang harus "pintar" dan "cerdas"
bahkan, menjadi nilai plus jika memiliki bakat tertentu.
Apakah kau tahu alasannya, wanita?
Ya, karena kelak wanita akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya!
Ingatlah!
Kepintaran dan kecerdasan bukanlah suatu hal yang perlu
dipamerkan
ditunjukkan
diutamakan
disombongkan
Karena apalah arti sebuah kepintaran dan kecerdasan jika kau hanya menjadikan itu sebagai senjata utama dalam memamerkan keunggulan dirimu, bukan untuk memperjuangkan sesuatu yang berguna?
Thursday, December 8, 2016
Siapa Salah Siapa
Kamis, 8 Desember 2016, saya mengajak mama dan adik bungsu saya, Naya, untuk menonton bioskop di salah satu mal di Bekasi. Kami menonton dua film, satu kartun anak dan satu lagi genre cinta dan keluarga. Tidak ada yang aneh dan rumit, semua kegiatan pada hari itu berjalan lancar, mulai dari kami beli tiket, menonton, makan, hingga belanja.
Namun, saat hari mulai malam, kami terjebak hujan deras. Kami tidak bawa payung. Kami berusaha menghubungi keluarga di rumah apakah di sekitar rumah juga hujan. Ternyata, hujan deras mengguyur Bekasi. Bahkan, menurut ayah saya, Jakarta, khususnya kawasan Halim, juga hujan deras. Awalnya, saya bersama mama dan Naya biasa saja menghadapi hujan. Kami berharap secepatnya hujan reda. Akan tetapi, hujan turun deras, semakin deras, cukup deras, deras, lalu gerimis deras.
Saya menawarkan kepada mama apakah sebaiknya kami memesan salah satu kendaraan beroda empat melalui aplikasi daring. Mama pun menyetujuinya. Saya mulai memesan dan melihat estimasi harga perjalanan dari mal (kawasan Bekasi Barat) hingga rumah (kawasan Bekasi Timur). Alangkah terkejutnya saya, ternyata estimasi harga perjalanan cukup membengkak (tak seperti biasa) karena aplikasi daring tersebut sedang memberlakukan sistem kelipatan--mungkin disebabkan banyaknya peminat untuk memesan kendaraan beroda empat. Saya dan mama bersepakat untuk memesan kendaraan dari aplikasi itu apabila estimasi harga sudah normal. Sepuluh menit, 15 menit, 30 menit, sejam, bahkan lebih, estimasi harga di aplikasi tersebut belum stabil. Gerimis deras pun masih turun. Beberapa orang menunggu, duduk, atau sekadar berjalan-jalan di depan lobby sambil--mungkin--menunggu jemputan atau gerimis berhenti.
Saya dan mama berusaha bersabar dan tenang sampai akhirnya kami mendapat sebuah kabar dari pesan WA bahwa ada kabel putus di rumah. Saya dan mama langsung panik dan khawatir. Terlebih, adik saya mengatakan bahwa terendus bau hangus dari dua TV LCD di rumah kami. TV tak bisa dinyalakan. Lampu power-nya mati. Mama pun menyuruh adik saya di rumah agar kabel TV dicabut dari stopkontak. Selain itu, mama semakin khawatir ketika mengetahui bahwa adik saya sendiri di rumah. Abangnya kerja dan papa masih di perjalanan. Panik. Panik. Panik. Saya dan mama ingin segera pulang. Namun, cuaca sepertinya tidak begitu mendukung.
Tak lama kemudian, saya berdiri di lobby. Saya tidak bisa hanya berdiam diri di sini. Saya harus berusaha untuk mendapatkan kendaraan agar secepatnya pulang. Di saat seperti ini, angkot bukan kendaraan tepat untuk dinaiki sebab membutuhkan waktu lama untuk sampai rumah. Saya, mama, dan Naya ingin secepatnya sampai rumah. Akhirnya, saya memutuskan untuk segera mencari taksi. Tak peduli gerimis masih mengguyur, tak berpayung, dan hanya menutupi kepala dengan tas kecil, saya berlari ke luar untuk ke pinggir jalan mencari taksi. Alhamdulillah, tak sampai lima menit, saya mendapatkan taksi biru. Taksi itu menghentikan jalannya dan meminggirkan mobilnya (dengan cara agak salah karena menutupi mobil yang ingin lewat). Saya segera membuka pintu taksi itu sambil bertanya kepada sopir, "Pak, ke Jatimulya mau?" Si sopir menyatakan bersedia. Lalu saya berkata, "Tapi ibu saya ada di dalam, Pak, bisa masuk dulu, gak, Pak?" "Ya sudah, ibunya dibawa ke sini saja," jawab si sopir. Jujur, sebenarnya saya sudah bete sama sopir itu, sudah tahu gerimis deras, eh malah nyuruh penumpang yang datangi dia. Kalau tidak terlalu memerlukannya, saya ingin menyatakan, "Kalau gitu gak jadi, deh Pak!", tapi ini karena keadaan.
Saya, mama, dan Naya sudah berada di dalam taksi. Si sopir berkata, "Nanti tolong diarahkan, ya Bu. Kita lewat mana dan ke arah mana?". "Jatimulya, Pak. Arah tol timur. Kalau tol tidak macet, lewat tol saja, Pak," jawab saya. Mama bertanya, "Kamu yakin lewat tol?" "Iya, tol saja. Tuh, lihat Ma tol lancar," kata saya sambil menunjuk jalan tol di bawah fly over.
Sopir pun membelokkan taksinya ke arah tol. Nah, di sinilah muncul masalah perjalanan yang membuat saya dan mama kesal sekali. Si sopir malah mengambil arah ke tol Jakarta!!!! Bukan membelok ke arah tol Bekasi. Sekitar puluhan meter melewati pintu tol itu, akhirnya mobil berhenti. "Saya keterusan," katanya. "Aduh, bagaimana kalau begini? Mundur saja Pak bila bisa," kata saya. Si sopir malah terdiam di mobil sambil memajumundurkan mobil (aneh, kan?), lalu dia keluar mobil, berdiri, entah berpikir atau tidak. Intinya dia keluar masuk mobil dan kami menunggu lama. "Jadi, bagaimana, Pak?" tanya saya. Saya berusaha untuk bernada tenang meski sebenarnya bete sama sopir ini. Padahal, kalau mundur pun, dia masih bisa lho. Ini justru berada di pinggir tol, menunggu bermenit-menit, berdiam, keluar masuk mobil gak jelas. Setelah saya bertanya lagi, dia hanya menjawab, "Bagaimana kalau turun saja, naik yang lain!" Wah, dia berkata seperti itu membuat saya NAIK PITAM. "Ini hujan Pak! Ada di tol juga! Mana mungkin kita turun hujan-hujanan. Kasihan adik saya, dong! Ini jalan jauh lho, Pak. Enggak dekat!" Mama juga berkata, "Tidak mungkinlah, Pak kami jalan, tidak ada kendaraaan." "Lalu, bagaimana Bu?" Sumpah, ya sopir tersebut mengulur-ulur waktu banget! "Ya sudah, putar Halim saja, Pak! Kan, katanya tidak bisa mundur!!!" Saya sudah kesal. "Tapi, jadinya jauh, Kak!"
Si sopir keluar mobil lagi. "Habis mau bagaimana lagi, Ma? Dia kan gak mau mundur! Mau tidak mau, ya putar Halim!" "Nanti jadi mahal Kak!" Sopir masuk mobil lagi. "Jadi, bagaimana?" Saya menjawab, "Putar Halim, Pak!" Si sopir berkata, "Tapi, jadinya jauh!" (masih basa-basi aja!) "Daripada tidak jalan dan makin lama sampai rumah. Jadi, lebih baik lanjutkan perjalanan sekarang, Pak!" Si sopir langsung mengendarai taksi.
Jalanan tol menuju Jakarta cukup padat. Waduh, bakal bengkak biaya perjalanan, nih! Saya pun berpikir bila sampai Halim dan jalanan padat, pasti membutuhkan waktu lama dan biaya perjalanan semakin mahal. Hal ini bukan terkait pelit atau tidak, lebih ke realistis saja, masak estimasi biaya perjalanan taksi dari Bekasi Barat ke Bekasi Timur yang biasanya tidak sampai Rp35.000--40.000 mencapai ratusan ribu rupiah. Di tengah perjalanan saya berkata, "Pak, kita tidak usah ke Halim, lewat tol Bintara saja." "O, baik Mbak." Sopir pun mulai masuk ke Tol Cikunir, tapi ini yang membuat kekesalan saya semakin menjadi! Sopir itu mengambil arah ke Jati Asih, bukan ke Cakung! Errrrgh!!!!!! Bete, mau sampai pukul berapa ke rumah?
Saat sampai di Jati Asih, saya berkata, "Belok kiri Pak, arah Jati Asih." Hal itu karena kalau tetap berjalan lurus, ke arah Kampung Rambutan. "Lalu ke mana lagi?" "Begini Pak, belok kiri lagi, ikuti jalan, pasti nanti ada papan keterangan tol Bekasi." Sebenarnya, saya agak cemas juga karena saya tidak tahu wilayah Jati Asih. Meski demikian, saya tetap optimistis pasti ada papan petunjuk dan alhamdulillah ADA! Papan petunjuk itu memberitahukan arah Tol Jakarta-Cikampek. Saya meminta si sopir untuk mengikuti arah di papan itu. Perjalanan seperti ini saja sudah hampir satu jam. Saya melihat harga pada argo perjalanan sudah melebihi estimasi biaya perjalanan Bekasi Barat-Timur seperti biasanya. Saya hanya bisa berharap, sopir itu mengendarai dengan baik, masuk tol, langsung cusss ke Bekasi Timur. Lalu di pertigaan ada papan keterangan lagi. Saya menganjurkan sopir untuk mengikuti arah Tol Jakarta--Cikampek/ Cakung. Namun, entah sopir itu fokus atau tidak, justru tidak belok-belok. Malah lurus dan lurus. MENYEBALKAN.
Kami pun tidak menemukan jalan tol, malah hanya jalan biasa yang dipadati kendaraan roda empat. Sopir salah lagi. Saya dan mama meminta sopir untuk mengikuti angkot K02 (jurusan Pondok Gede-Bekasi). Mungkin kami berjalan sekitar 1 km lebih dan perjalanan menuju Jati Mekar. Saya buta daerah sini. Sopir menghentikan taksi di pinggir jalan, beberapa menit dia menyalakan ponsel untuk GPS (buang-buang waktu), "Ke Jati apa Bu? Dia menyebutkan beberapa wilayah Jati." Saya dan mama semakin kesal kepada sopir itu. Saya berkata, "Yang penting Pak kita menuju Terminal Bekasi saja." Padahal, ke tempat itu harus muter-
muter.
Entah inisiatif dari mana, sopir keluar dari taksi dan bertanya kepada orang. Menurut orang itu, kami salah arah, harus putar balik untuk ke Bekasi. Akhirnya, si sopir memutar balik taksi--setelah cukup lama berhenti, membuka GPS (yang tidak terlalu berguna), dan bertanya ke orang. Saat memutar balik, ternyata suasana jalan macet, padat merayap. Di samping itu, papa berulang kali menelepon. Khawatir akut sepertinya.
Setelah berapa ratus meter menghadapi jalanan macet, akhirnya ada papan petunjuk ke arah Pekayon. Mama berkata, "Kita ke arah Pekayon saja Pak. Nanti pas di Pekayon ada lampu merah, Bapak ke kanan untuk ke Jatimulya karena ke kiri ke arah terminal." Sekitar satu jam lebih, alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga. Papa sudah menunggu di depan rumah dan langsung membuka pintu taksi seraya bertanya kepada si sopir, "Pak, kok jalan bisa salah, sih, memangnya sama sekali tidak tahu jalan, ya?" Sopir itu hanya tertegun. Saat mau turun dari taksi, saya dan mama melihat argo. BENAR kan, harga perjalanan membengkak hampir empat kali lipat tepatnya Rp124.500. Karena sedari awal tahan kesal, saya berceletuk, "Wah, keren banget, ya Ma dari Bekasi Barat ke Bekasi Timur ongkosnya ratusan, sudah seperti dari Pejaten ke Bekasi."
Ya, mungkin celetukan saya itu "agak jahat", tapi mau bagaimana lagi? Bekasi Barat-Timur dengan perjalanan sekitar 2 jam dan biaya membengkak gara-gara sopir salah jalan dan terlalu lama berdiam diri, memberi solusi kurang berlogika, serta basa-basi. Baru kali ini lho saya naik taksi biru diperlakukan seperti ini. Di tulisan ini bukan bertujuan untuk menjatuhkan pihak mana pun, saya hanya sekadar bercerita tentang pengalaman tidak mengenakkan sekaligus mencurahkan kekecewaan dan kekesalan saja.
Sejauh yang saya tahu, setidaknya sopir taksi mengetahui arah jalan meski tidak spesifik. Terlebih di dalam mobil dilengkapi alat GPS--jadi tidak perlu menggunakan GPS ponsel, cukup nyalakan GPS mobil. Saya tidak tahu apakah sopir itu sengaja mengajak kami berputar-putar atau tidak. Saya tidak ingin bersuudzon. Syukur kalau benar memang dia linglung tidak tahu jalan. Namun, agak kurang masuk akal juga kalau sama sekali tidak tahu jalan dan menghentikan mobil di pinggir jalan dalam waktu cukup lama, keluar masuk mobil tidak jelas seolah mengulur-ulur waktu.
Ya, hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui kebenarannya. Peristiwa tersebut bisa saja sebagai ujian kesabaran dan keikhlasan bagi saya dan mama. Intinya, ini dijadikan pelajaran saja, sudah terjadi dan terlewati, mau bagaimana lagi? Walau begitu, alhamdulillah kami sampai dengan selamat di rumah meski tak dimungkiri rasa kesal menyelimuti saya dan mama. Terkait harga perjalanan yang berkali-kali lipat dari estimasi biasanya, pasti nanti akan diganti oleh-Nya. Saya yakin rezeki yang kita keluarkan dan kita dapatkan itu semua karena kehendak-Nya.
Tuesday, August 9, 2016
Afasia Broca dan Wernickle
Berbahasa adalah komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa.
Hal inilah yang dilakukan manusia dalam sehari-hari. Namun demikian, tahukah
Anda bahwa berbahasa yang Anda lakukan selama ini merupakan pengaruh dari
struktur dan kinerja otak? Bila terjadi gangguan atau kerusakan pada struktur
otak, kinerja otak pun akan memengaruhinya, terutama dalam hal berbahasa.
Otak memiliki
dua hemisfer, yakni hemisfer kiri dan kanan. Hemisfer kiri dominan berfungsi
untuk berbahasa sehingga ia berarti penting bagi penutur bahasa, sedangkan
hemisfer kanan dominan berfungsi untuk menentukan emosi, isyarat baik emosional
maupun verbal.
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya selalu berkembang. Hal ini tampak pada cabang ilmu
linguistik. Jika sebelumnya linguistik dikenal sebagai ilmu yang hanya mengkaji
bahasa, kini cabang ilmu tersebut dapat berdampingan atau beririsan dengan
ilmu-ilmu lainnya, baik dalam hal sains maupun sosial. Misalnya saja, cabang
ilmu dalam lingkup linguistik, yakni psikolinguistik dan neurolinguistik.
Umumnya, psikolinguistik membahas pemerolehan bahasa oleh penutur, sedangkan
neurolinguistik cenderung membahas beberapa gangguan berbahasa dan biasanya
gangguan tersebut dipengaruhi oleh kerusakan/cedera otak.
Salah satu bentuk gangguan berbahasa akibat
kerusakan/cedera otak ialah afasia. Menurut Field (2004:16), afasia adalah
gangguan
terhadap
ketidakmampuan memproduksi atau memahami dalam tuturan berbahasa. Biasanya,
afasia ini disebabkan oleh cedera otak karena kecelakaan, stroke, dan juga
beberapa efek dari demensia. Selain itu, menurut Chaer (2009:155) afasia adalah
kerusakan pada daerah Broca dan Wernickle—salah satu daerah otak pada bagian
hemisfer kiri—dan sekitarnya sehingga menyebabkan gangguan berbahasa. Kedua
daerah itu pun dikenal sebagai pusat bahasa dalam otak.
Sejarah Singkat Broca
dan Wernickle
Ketika tahun 1861, seorang ahli bedah Prancis, Paul Broca,
menemukan seorang pasien yang tidak dapat berbicara. Setelah pasien itu
meninggal, otaknya pun dibelah, dan ditemukan kerusakan otak di daerah frontal,
tepatnya area pada lobus frontalis kiri. Selanjutnya, daerah frontal itu
disebut sebagai daerah Broca. Adapun kerusakan pada daerah tersebut menyebabkan
seseorang kesulitan berkata-kata (menghasilkan ujaran), tetapi tetap memahami
pembicaraan.
Melalui
penelitiannya, Broca mengungkapkan bahwa kerusakan pada daerah yang sama di
hemisfer kanan tidak menimbulkan pengaruh yang sama. Dengan kata lain, pasien
yang mendapatkan daerah kerusakan yang sama pada hemisfer kanan akan tetap
menghasil ujaran secara normal. Oleh sebab itulah, hasil penelitian tersebut
menjadi dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak di hemisfer kiri otak dan
daerah Broca berperan penting dalam proses atau perwujudan bahasa.
Selain itu,
tahun 1873 seorang neurologi Jerman bernama Karl Wernickle menemukan kasus
pasien yang mempunyai kelainan wicara, yakni tidak mengerti maksud pembicaraan
orang lain, tetapi masih dapat berbicara sekadarnya. Menurut Wernickle,
penyebab kelainan tersebut ialah terdapat kerusakan otak pada bagian belakang
(temporalis) yang kemudian disebut sebagai daerah Wernickle. Oleh karena
kerusakan pada daerah tersebut, pasien sukar mengerti komprehensi pembicaraan
orang meski mudah mengucapkan kata tanpa adanya gangguan pendengaran.
Berdasarkan hasil
penelitian tentang kerusakan otak oleh Broca dan Wernickle, disimpulkan bahwa
hemisfer kiri otak sangat erat hubungannya dengan fungsi bahasa. Oleh sebab
itulah, tak heran bila seseorang yang memiliki kerusakan otak pada
daerah-daerah hemisfer kiri mengalami gangguan berbahasa.
Jenis-Jenis Afasia
Secara garis besar, afasia ada dua jenis, yakni afasia Broca
dan Wernickle. Afasia Broca dikenal sebagai afasia motorik atau non-fluent. Adapun afasia Wernickle dikenal
sebagai afasia sensorik atau fluent.
Umumnya, pasien yang menderita afasia Broca lebih banyak ditemukan dibandingkan
dengan pasien afasia Wernickle. Sebagian besar penderita afasia Broca merupakan
pasien yang terkena stroke.
Afasia Broca
(Motorik)
Afasia Broca
terdiri atas tiga jenis sebagai berikut.
1.
Afasia
motorik kortikal
Afasia jenis ini
dialami oleh pasien yang tidak mampu mengutarakan isi pikiran dengan perkataan,
namun masih dapat mengerti bahasa lisan dan tulisan. Dengan kata lain, pasien
tersebut tidak dapat berekspresi verbal, tetapi ia masih mampu berekspresi
visual (bahasa tulis dan isyarat).
2.
Afasia
motorik subkortikal
Penderita afasia
motorik subkortikal tidak mampu mengutarakan isi pikirannya dengan menggunakan
perkataan, tetapi masih dapat mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Di
sisi lain, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, bahkan ekspresi
visual pun berjalan normal.
3.
Afasia
motorik transkortikal
Afasia yang satu ini
terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernickle. Oleh
sebabnya, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu.
Selain itu, penderita afasia motorik transkortikal ini dapat mengutarakan
perkataan singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan
substitusi. Misalnya, untuk mengatakan pensil,
penderita tersebut bertanya “Ini, ni
yang untuk menulis namanya apa, ya? Yang saya pegang ini apa, ya?”
Umumnya,
penderita afasia motorik jenis apa pun bersikap “tak berdaya”. Hal itu karena
keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan
untuk melakukannya tidak sama sekali. Maka dari itu, tidak heran bila para
penderita afasia motorik sering kali jengkel karena suatu hal yang
diekspresikannya tidak dipahami sama sekali oleh orang di sekelilingnya.
Misalnya, penderita hanya dapat berteriak atau berkata tidak jelas untuk
mengungkapkan kejengkelannya tersebut.
Berdasarkan
penjelasan ketiga jenis afasia motorik di atas, diketahui bahwa afasia motorik
kortikal termasuk jenis gangguan berbahasa paling parah bila dibandingkan
dengan jenis afasia motorik lainnya. Hal itu disebabkan penderita afasia
motorik kortikal ini sudah tidak mampu berekspresi verbal.
Afasia Wernickle (Sensorik)
Kerusakan terhadap daerah Wernickle
menyebabkan terganggunya pengertian dari apa yang didengar (pengertian
auditorik) dan juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual).
Penderita afasia Wernickle atau sensorik kehilangan pengertian bahasa lisan dan
tulis, tetapi masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh
dirinya sendiri dan juga orang lain. Curah verbal ini merupakan bahasa baru
(neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Meski demikian, neologisme
dapat diucapkan penderita afasia sensorik dengan nada, irama, dan melodi.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan terkait afasia di atas disimpulkan bahwa afasia merupakan salah satu bentuk gangguan kebahasaan yang terjadi pada dua daerah di hemisfer kiri otak, yakni Broca dan Wernickle. Dengan kata lain, kerusakan terhadap hemisfer kiri tersebut menyebabkan seseorang menderita gangguan berbahasa.
Bila Anda memiliki keluarga atau kerabat
yang dicurigai menderita afasia karena sebelumnya mengalami stroke sehingga
menyebabkan kerusakan otak, segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut agar Anda
mengetahui secara jelas jenis afasia yang diderita oleh keluarga atau kerabat
Anda. Terlebih, saat ini di
kawasan Jakarta Timur sudah berdiri Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON),
tentu saja pemeriksaan secara akurat dan intensif terhadap penderita/pasien
afasia dapat dilakukan di sana.
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Field, John. 2004. Psycholinguistics:
The Key Concept. New York: Routledge.
Mardiati, Ratna. 2010. Buku Kuliah: Susunan Saraf Otak Manusia. Jakarta: Sagung Seto.
Monday, June 13, 2016
Kamu!
Rindu dendam dalam diam
Semakin lama semakin dalam
Namun, aku hanya bisa memendam
Kala bayangmu terlintas dalam temaram
malam
Sayangnya, tak bisa kugenggam
Cukup membuat hatiku remuk redam
Semakin lama semakin dalam
Namun, aku hanya bisa memendam
Kala bayangmu terlintas dalam temaram
malam
Sayangnya, tak bisa kugenggam
Cukup membuat hatiku remuk redam
Friday, March 11, 2016
Masih Berlakukah Aturan Itu?
Setiap hari kerja, Senin--Jumat, tepatnya saat pagi dan sore hari, Jakarta selalu dipadati oleh kendaraan, baik kendaraan umum maupun pribadi, beroda dua dan empat. Akibatnya, jalanan macet, tersendat, padat merayap hingga beberapa kilometer. Fakta ini tentu saja lumrah karena Jakarta merupakan Ibu Kota, dapat dikatakan pusatnya aktivitas para pekerja dalam mencari nafkah.
Namun, salah satu hal yang membuat saya prihatin, yakni "bebasnya" kendaraan selain Transjakarta (TJ) dan APTB yang melewati jalur busway. Padahal, bukankah sudah ada aturan--yang saya lupa kapan disahkannya--kendaraan selain TJ dilarang melewati jalur busway. Akan tetapi, pada kenyataannya, di salah satu kawasan Jakarta, kendaraan, seperti bus, kendaraan pribadi, truk, bahkan motor, bebas saja melewati jalur tersebut.
Memang, batas antara jalur busway dan kendaraan umum tidak tinggi, tidak seperti kawasan Jakarta Selatan (tepatnya kawasan dari Kuningan--Ragunan), dan inilah yang menyebabkan beberapa jenis kendaraan tersebut tak peduli melewati jalur busway. Sayangnya, sebagian besar yang melewati halus busway itu mobil-mobil pribadi yang bagus, bahkan tampak mahal (ckckck). Tentu saja, cara pengemudi kendaraan tersebut melewati jalur busway merupakan bentuk kesengajaan dengan alasan agar lebih cepat dalam menempuh perjalanan. Padahal, ujung-ujungnya kena macet juga. Selain itu, alasan lain, mungkin, melewati jalur busway pasti tidak akan diketahui polantas atau aparat lalu lintas lainnya sehingga sudah pasti tak didenda. Dari sini, menurut saya, adanya aturan tentang pelarangan kendaraan baik beroda dua maupun empat melewati jalur busway selain TJ hanyalah sebuah simbolik, peraturan yang tidak tegas sehingga baik sadar maupun tidak sadar "mendidik" pengemudi kendaraan selain TJ menjadi tidak tertib, tidak taat aturan. Miris, ya? #sokkritis
Nah, selain kendaraan pribadi yang melewati jalur busway, pernah juga saya lihat truk sampah melewati jalur tersebut. Ckckck... Untungnya, bak sampah pada truk tersebut ditutup rapat oleh terpal, jadi bau sampah tak terlalu menyengat dan tidak terlihat sampah yang berjatuhan ke jalan. Taksi juga cukup sering melewati jalur itu. Mobil-mobil mewah, misalnya Alpard juga melewatinya. Sayangnya, saya belum pernah melihat tronton lewat di jalur tersebut. Seandainya lewat, pasti wow banget!
Ya, dari pemaparan di atas, saya prihatin saja dengan pelanggaran terhadap salah satu aturan lalu lintas tersebut. Masih berlakukah aturan pelarangan melewati jalur busway itu? Pertanyaan tersebut hinggap dalam pikiran saya. Kalau peraturan seperti itu saja dilanggar, bagaimana dengan aturan-aturan--yang bisa jadi dianggap sebagai aturan ringan karena sanksinya tak besar/ ketat--yang lain? Akankah lebih mudah dilanggar daripada dijalankan? Kalau memang demikian, tujuan dibuatnya suatu peraturan seolah sia-sia saja. Percuma. Toh, bila kenyataannya sudah capek-capek dibuat, menggunakan waktu yang lama, dan mengeluarkan biaya banyak, ujung-ujungnya seperti dianggap angin lalu. #ups!
Subscribe to:
Posts (Atom)