Sunday, February 9, 2014

(Tidak) Ada Cinta Terlambat


(Tidak) Ada Cinta Terlambat
#part 3
           
Setelah tiga tahun tak bertemu, akhirnya aku bisa berjumpa lagi dengannya. Namun, mengapa harus bertemu saat kami sudah memiliki calon masing-masing? Bahkan, ketika kuketahui bahwa dia adalah sahabat calon suamiku, Nakula, dan akan menikah bulan depan. Tak hanya itu, ternyata calon istrinya juga orang yang kukenal, rekan bisnisku, Aira. Mengapa terjadi seperti ini? Ya Allah, adakah rahasia di balik semua ini? Inikah skenario-Mu?
            Amir, sosok pria yang selalu ada dalam pikiranku, hatiku, dan juga merupakan CINTA PERTAMAKU. Hingga sekarang rasa itu pun masih tertanam dalam lubuk jiwaku. Bahkan, aku yakin rasa tersebut tak berkurang. Namun, itu hanya sekadar angan yang tak terwujudkan. Dia akan menikah dengan Aira bulan depan. Ya, bulan depan.
            Andai saja waktu bisa terulang kembali, tak perlu kupikirkan bahwa aku seorang perempuan yang sebaiknya menanti seorang laki-laki yang kucintai mengatakan cinta. Lebih baik kukatakan cinta terlebih dahulu tanpa perlu kupikirkan apakah dia mencintaiku atau tidak. Aku hanya ingin mendapatkan jawaban pasti. Akan tetapi, ya itu hanya sekadar angan. Buktinya, sesuatu yang ingin kukatakan justru tak bisa kuucapkan.
            Jikalau aku bertemu dengan Amir jauh sebelum aku bertemu Nakula, sebelum kedua orangtua kami menjodohkanku dengannya, tak kupedulikan apa kata orang, “tak pantas bila perempuan lebih dahulu menyatakan cinta”. Karena, aku hanya butuh kepastian dari Amir. Namun, semua tampak terlambat. Amir kini sudah memilih Aira sebagai calon istrinya. Dan aku, dengan “keterpaksaan” menerima lamaran Nakula meski sejujurnya aku tak yakin bahwa Nakula juga mencintaiku.
            Nakula memang laki-laki yang baik dan aku yakin itu. Dia pekerja keras, bertanggung jawab, jujur, dan cukup perhatian. Sudah semestinya aku merasa beruntung karena dijodohkan dengannya. Namun, bagaimana dengan “kata hati”? Tentu ini tidak bisa dibohongi. Jujur saja, aku mengagumi Nakula, tetapi cintaku untuk Amir. Bahkan aku pun tak yakin apakah saat menikah nanti aku dapat mencintai Nakula. Karena, satu hal krusial dalam membina sebuah rumah tangga dalam suatu pernikahan adalah keikhlasan dalam mencintai pasangan, bukan mencintai pasangan karena keterpaksaan.
            Baru kusadari, begitu sempitnya kehidupan ini. Aku bertemu Amir saat acara lamaranku bersama Nakula dan saat itu pula kuketahui bahwa Amir dan Aira akan menikah bulan depan. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku merelakan Amir? Apakah aku juga mengakui kepada Nakula bahwa aku belum bisa mencintainya? Rabbi, berikan aku petunjuk. Tolong beri aku petunjuk. Aku tidak ingin hatiku tersesak, tersiksa hanya karena memendam cinta.
            Dan aku semakin rindu dendam tatkala setiap hari aku menatapi lukisan kaligrafi yang kupajang di pojok kamarku. Lukisan terindah dari Amir, sewaktu aku berulang tahun ke-17. Lukisan kaligrafi itu adalah namaku. Amir khusus membuatkannya untukku. Aku yakin, Amir tulus membuat lukisan tersebut. Bisa kurasakannya ketika memandang lukisan itu lebih dekat.
            Ah, Amir, mungkin kau memang bukan untukku. Sebentar lagi kau akan dimiliki Aira seutuhnya. Meski tak dimungkiri, jauh dalam lubuk hati ini, aku masih berharap kau yang akan menjadi imamku. Pun masih ada kesempatan untuk saling menyatakan cinta.
           

No comments:

Post a Comment