Pentingnya Didikan
Religiositas dan Kemandirian kepada Anak Sedari Kecil
Oleh Tyas Chairunisa
Dalam kehidupan ini, seiring dengan
berjalanannya waktu, peran seorang manusia tentu berganti. Terlahir sebagai
anak yang akan diasuh dan dididik orangtua, kemudian ketika dewasa berganti
peran menjadi orang tua, mengasuh serta mendidik anaknya.
Terkait kedua hal yang disebutkan di
atas—mengasuh dan mendidik—pastinya ada unsur-unsur penting yang perlu
diterapkan dalam diri anak sedari kecil. Unsur ini dapat dikatakan krusial
dalam pola asuh-didik orang tua terhadap anak. Apakah unsur-unsur penting itu?
Apa kegunaannya dan bagaimana cara menerapkannya? Pertanyaan-pertanyaan inilah
yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Ketika menjadi orangtua, tugas utama
yang penting sekaligus utama dan mesti dilakukan adalah mengasuh serta
menentukan pola didik untuk anak. Kedua hal tersebut tentu tidak mudah
dijalankan, mengingat mengasuh dan mendidik dapat dikatakan sebagai pekerjaan “teberat”
yang diemban para orangtua. Mengapa demikian? Ini karena pola asuh-didik akan
memengaruhi perilaku, sikap, dan sifat anak dalam kehidupan sehari-hari.
Memang, tak bisa dimungkiri bahwa
orangtua memiliki role model terhadap
anaknya. Setidaknya, anak akan meniru polah orangtuanya. Oleh karenanya,
penting adanya bagi orangtua untuk menentukan seperti apa cara mereka mengasuh
dan mendidik anaknya dengan baik.
Ketika anak lahir, tentunya orangtua
berperan sebagai “pengasuh utama”. Peran ini menjadi utama sekali sampai anak
kurang lebih memasuki usia sekolah dasar—sekitar 6-7 tahun. Setelah anak
berusia di atas enam tahun hingga remaja, peran orangtua pun tak hanya sebagai
pengasuh, tetapi juga sebagai “pengawas utama” karena pada usia ini, umumnya
anak akan berperilaku atau bersikap yang dipengaruhi oleh lingkungannya, dan
terkadang jika kurang diawasi orangtua, dikhawatirkan anak tidak mampu
“memfilter” pergaulannya meskipun ini relatif. Oleh sebab itu, penting adanya
orangtua membimbing anaknya dalam hal mengasuh.
Religiositas dan
Kemandirian
Selain menjadi pengasuh dan pengawas, orangtua juga
harus menyadari pentingnya sebagai seorang “pendidik” utama. Mengapa? Ini
karena didikan terhadap seorang anak—sejak kecil—utamanya akan mereka temui di
lingkungan keluarganya. Dengan kata lain, orangtua (ayah dan ibu) menjadi
madrasah pertama bagi anak. Adapun madrasah utama dalam hal mendidik anak
adalah seorang ibu.
Ada dua unsur yang sangat penting
yang perlu diterapkan dalam mendidik anak. Kedua unsur itu, yakni religiositas
dan kemandirian. Kedua unsur ini perlu diajarkan terhadap anak minimal ketika
ia berusia dua-tiga tahun. Jika kedua unsur ini berhasil diterapkan, diajarkan
sebagai bentuk didikan terhadap anak, insya Allah anak pun akan membentuk
pribadi, perilaku, sikap, dan sifat yang baik.
Lalu, bagaimana cara menerapkan
religiositas dan kemandirian itu serta apa kegunaannya bagi anak? Sebelumnya,
perlu diketahui makna dari religiositas dan kemandirian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), religiositas adalah pengabdian
terhadap agama. Menilik artinya, dengan kata lain orangtua perlu menerapkan
ajaran agama yang mencakup tauhid, akidah, serta aturan-aturan agama terhadap
anaknya sedari kecil. Misalnya, sejak anak sudah mampu berpikir nalar, minimal
usia 1-2 tahun, ia perlu diajarkan tentang ketauhidan, utamanya dalam
mengenalkan Tuhannya. Setelah itu berlanjut pada pengajaran akidah dan
aturan-aturan agama. Ini pun dilakukan secara bertahap, mengingat orangtua pun
perlu mengetahui perkembangan kognitif anaknya.
Didikan religiositas amat penting
bagi anak karena ini menjadi kunci dasar anak dalam membentuk perilaku, sikap,
dan sifatnya. Dengan pola didik ini, setidaknya anak dapat menilai apa yang
akan dilakukannya serta dampak setelah ia melakukan suatu hal, baik atau tidak,
berdosa atau tidak. Ini sebagaimana yang dialami oleh penulis. Sedari kecil,
penulis selalu diajarkan orangtua bahwa Tuhan itu Esa, Maha Mengetahui setiap
apa yang kita lakukan karena Dia tidak pernah tidur, serta Tuhan Maha Penyayang
terhadap makhluk ciptaan-Nya. Selain itu, orangtua penulis pun selalu
mengingatkan bahwa apa yang akan kita lakukan perlu dipikirkan secara baik dan
matang karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Jika dianggap
kurang atau tidak baik, tentu berdosa, dan jika memang itu baik, tentunya akan
mendatangkan pahala. Dengan kata lain, orangtua penulis pun tersirat
mengajarkan agar keputusan, tindakan, perilaku yang dimiliki dan akan dilakukan
penulis hendaknya jangan gegabah, perlu hati-hati karena semua itu tidak
terlepas dari pengawasan Tuhan yang Esa.
Di samping itu, perlu diketahui pula
bahwa religiositas ini tidak terlepas dari dimensi-dimensi yang melingkupinya.
Dimensi-dimensi tersebut terdiri atas dimensi keyakinan, dimensi peribadatan,
dimensi penghayatan, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi pengamalan[1].
Dimensi keyakinan adalah tingkatan
sejauh mana seseorang menerima dan mengakui hal-hal dogmatik dalam agamanya,
seperti sifat-sifat Tuhan, makhluk-makhluk ciptaan-Nya, para nabi dan rasul,
serta kehidupan akhirat—surga dan neraka. Dimensi peribadatan merupakan dimensi
yang menunjukkan sejauh mana seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya,
seperti salat, zakat, puasa, dan sebagainya. Selain itu, dimensi penghayatan,
yakni perasaan keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan, seperti merasa
dekat dengan Tuhan, tenteram saat berdoa dan membaca kitab suci, semakin takut
akan dosa, dan lain-lain.
Dimensi pengetahuan agama adalah
dimensi tentang seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami ajaran-ajaran
agamanya, seperti memahami isi kitab suci, hadis, fikih. Terakhir, dimensi
pengamalan, yaitu sejauh mana implikasi ajaran agama memengarhui perilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya,
seperti mempererat silaturahim, menjenguk orang sakit, membantu fakir miskin
dan anak yatim. Kelima dimensi tersebut, baik langsung dan tidak langsung,
tersirat dan tersurat, menjadi bentuk pola didik orangtua penulis terhadap
anak-anaknya. Meski begitu, tak terkecuali bahwa pada umumnya, orangtua yang
lain pun menerapkan bentuk didikan tersebut demi membentuk anak menjadi pribadi
yang baik dan saleh.
Selain religiositas, sedari kecil
anak perlu diajarkan kemandirian. Didikan kemandirian menjadi hal yang penting
karena dengan pola didik seperti ini setidaknya anak akan mengetahui apa yang
mesti dia lakukan tanpa perlu mengandalkan orangtua. Namun demikian, sudah
menjadi tugas orangtualah untuk mengawasi tindak laku anak, terlebih saat anak
diyakini belum bisa melakukan segalanya secara sendiri, misalnya batita,
balita, serta anak berusia tidak lebih dari 10 tahun.
Mendidik kemandirian sedari kecil
dapat berarti mengajarkan kedisplinan terhadap anak. Seperti yang dialami oleh
penulis semasa kecil dahulu. Orangtua penulis, terutama ibu, selalu mengajarkan
akan pentingnya waktu dan tanggung jawab. Misalnya, ibu selalu menerapkan ada
waktu istirahat, belajar, dan bermain. Semua harus berjalan dengan teratur dan
disiplin. Selain itu, ibu juga mengajarkan akan pentingnya tanggung jawab
terhadap tugas yang dimiliki anaknya masing-masing, terutama dalam hal
pekerjaan rumah.
Memang, penulis beserta adik-adik
selalu diajarkan untuk mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti
membereskan rumah, menyapu, mengepel, menyuci, memasak, dan sebagainya. Bentuk
pekerjaan tersebut tak terlepas dari “kata ajaib” sang ibu bahwa “kita
selamanya tidak akan terus hidup bersama orangtua”. Oleh karena itulah, didikan
kemandirian menjadi sangat penting diterapkan sebab jangan sampai saat dewasa
nanti, saat jauh dari orangtua, seorang anak tidak mampu hidup mandiri saking
sangat tergantung terhadap orangtuanya.
Di samping itu, adanya didikan
kemandirian bisa membentuk regulasi diri pada anak. Regulasi diri adalah
kendali tingkah laku diri sendiri (dalam hal ini anak) untuk melakukan
penyesuairan terhadap permintaan atau pengharapan orangtua, bahkan saat
orangtua tidak ada. Regulasi ini tumbuh bersamaan dengan perkembangan kesadaran
diri dan berbagai emosi yang dimiliki, seperti empati, malu, dan rasa bersalah.
Misalnya saja seorang anak merasa kasihan ketika mengetahui orangtuanya sakit.
Maka dari itu, ia mengetahui yang harus dilakukannya adalah merawat orangtuanya
sebagai bentuk kewajibannya sebagai anak.
Berdasarkan penjelasan kedua hal
di atas, yakni religiositas dan kemandirian, diharapkan mampu menjadi contoh
pola asuh-didik yang baik bagi orangtua demi membentuk perilaku, sikap, sifat,
serta kemandirian anaknya. Semoga penjelasan tersebut dan sekilas pola didik
yang dialami penulis bermanfaat. Aamiin…
Daftar Pustaka
Alwi,
Hasan.,dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Ed.Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Ghufron,
M.Nur dan Rini Risnawita S. 2010. Teori-Teori
Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Papalia,
Diane E. dkk. 2009. Perkembangan Manusia
Edisi 10 (terj.). Jakarta: Salemba Humanika.
[1] Kelima dimensi tersebut berdasarkan penjelasan
M. Nur Ghufron dalam bukunya berjudul
Teori-Teori Psikologi.