Saturday, January 25, 2014

Pentingnya Didikan Religiositas dan Kemandirian kepada Anak Sedari Kecil



Pentingnya Didikan Religiositas dan Kemandirian kepada Anak Sedari Kecil
Oleh Tyas Chairunisa
            Dalam kehidupan ini, seiring dengan berjalanannya waktu, peran seorang manusia tentu berganti. Terlahir sebagai anak yang akan diasuh dan dididik orangtua, kemudian ketika dewasa berganti peran menjadi orang tua, mengasuh serta mendidik anaknya.
            Terkait kedua hal yang disebutkan di atas—mengasuh dan mendidik—pastinya ada unsur-unsur penting yang perlu diterapkan dalam diri anak sedari kecil. Unsur ini dapat dikatakan krusial dalam pola asuh-didik orang tua terhadap anak. Apakah unsur-unsur penting itu? Apa kegunaannya dan bagaimana cara menerapkannya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
            Ketika menjadi orangtua, tugas utama yang penting sekaligus utama dan mesti dilakukan adalah mengasuh serta menentukan pola didik untuk anak. Kedua hal tersebut tentu tidak mudah dijalankan, mengingat mengasuh dan mendidik dapat dikatakan sebagai pekerjaan “teberat” yang diemban para orangtua. Mengapa demikian? Ini karena pola asuh-didik akan memengaruhi perilaku, sikap, dan sifat anak dalam kehidupan sehari-hari.
            Memang, tak bisa dimungkiri bahwa orangtua memiliki role model terhadap anaknya. Setidaknya, anak akan meniru polah orangtuanya. Oleh karenanya, penting adanya bagi orangtua untuk menentukan seperti apa cara mereka mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik.
            Ketika anak lahir, tentunya orangtua berperan sebagai “pengasuh utama”. Peran ini menjadi utama sekali sampai anak kurang lebih memasuki usia sekolah dasar—sekitar 6-7 tahun. Setelah anak berusia di atas enam tahun hingga remaja, peran orangtua pun tak hanya sebagai pengasuh, tetapi juga sebagai “pengawas utama” karena pada usia ini, umumnya anak akan berperilaku atau bersikap yang dipengaruhi oleh lingkungannya, dan terkadang jika kurang diawasi orangtua, dikhawatirkan anak tidak mampu “memfilter” pergaulannya meskipun ini relatif. Oleh sebab itu, penting adanya orangtua membimbing anaknya dalam hal mengasuh.
Religiositas dan Kemandirian
            Selain menjadi pengasuh dan pengawas, orangtua juga harus menyadari pentingnya sebagai seorang “pendidik” utama. Mengapa? Ini karena didikan terhadap seorang anak—sejak kecil—utamanya akan mereka temui di lingkungan keluarganya. Dengan kata lain, orangtua (ayah dan ibu) menjadi madrasah pertama bagi anak. Adapun madrasah utama dalam hal mendidik anak adalah seorang ibu.
            Ada dua unsur yang sangat penting yang perlu diterapkan dalam mendidik anak. Kedua unsur itu, yakni religiositas dan kemandirian. Kedua unsur ini perlu diajarkan terhadap anak minimal ketika ia berusia dua-tiga tahun. Jika kedua unsur ini berhasil diterapkan, diajarkan sebagai bentuk didikan terhadap anak, insya Allah anak pun akan membentuk pribadi, perilaku, sikap, dan sifat yang baik.
            Lalu, bagaimana cara menerapkan religiositas dan kemandirian itu serta apa kegunaannya bagi anak? Sebelumnya, perlu diketahui makna dari religiositas dan kemandirian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), religiositas adalah pengabdian terhadap agama. Menilik artinya, dengan kata lain orangtua perlu menerapkan ajaran agama yang mencakup tauhid, akidah, serta aturan-aturan agama terhadap anaknya sedari kecil. Misalnya, sejak anak sudah mampu berpikir nalar, minimal usia 1-2 tahun, ia perlu diajarkan tentang ketauhidan, utamanya dalam mengenalkan Tuhannya. Setelah itu berlanjut pada pengajaran akidah dan aturan-aturan agama. Ini pun dilakukan secara bertahap, mengingat orangtua pun perlu mengetahui perkembangan kognitif anaknya.
            Didikan religiositas amat penting bagi anak karena ini menjadi kunci dasar anak dalam membentuk perilaku, sikap, dan sifatnya. Dengan pola didik ini, setidaknya anak dapat menilai apa yang akan dilakukannya serta dampak setelah ia melakukan suatu hal, baik atau tidak, berdosa atau tidak. Ini sebagaimana yang dialami oleh penulis. Sedari kecil, penulis selalu diajarkan orangtua bahwa Tuhan itu Esa, Maha Mengetahui setiap apa yang kita lakukan karena Dia tidak pernah tidur, serta Tuhan Maha Penyayang terhadap makhluk ciptaan-Nya. Selain itu, orangtua penulis pun selalu mengingatkan bahwa apa yang akan kita lakukan perlu dipikirkan secara baik dan matang karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti. Jika dianggap kurang atau tidak baik, tentu berdosa, dan jika memang itu baik, tentunya akan mendatangkan pahala. Dengan kata lain, orangtua penulis pun tersirat mengajarkan agar keputusan, tindakan, perilaku yang dimiliki dan akan dilakukan penulis hendaknya jangan gegabah, perlu hati-hati karena semua itu tidak terlepas dari pengawasan Tuhan yang Esa.
            Di samping itu, perlu diketahui pula bahwa religiositas ini tidak terlepas dari dimensi-dimensi yang melingkupinya. Dimensi-dimensi tersebut terdiri atas dimensi keyakinan, dimensi peribadatan, dimensi penghayatan, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi pengamalan[1].
            Dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima dan mengakui hal-hal dogmatik dalam agamanya, seperti sifat-sifat Tuhan, makhluk-makhluk ciptaan-Nya, para nabi dan rasul, serta kehidupan akhirat—surga dan neraka. Dimensi peribadatan merupakan dimensi yang menunjukkan sejauh mana seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya, seperti salat, zakat, puasa, dan sebagainya. Selain itu, dimensi penghayatan, yakni perasaan keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan, seperti merasa dekat dengan Tuhan, tenteram saat berdoa dan membaca kitab suci, semakin takut akan dosa, dan lain-lain.
            Dimensi pengetahuan agama adalah dimensi tentang seberapa jauh seseorang mengetahui dan memahami ajaran-ajaran agamanya, seperti memahami isi kitab suci, hadis, fikih. Terakhir, dimensi pengamalan, yaitu sejauh mana implikasi ajaran agama memengarhui  perilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya, seperti mempererat silaturahim, menjenguk orang sakit, membantu fakir miskin dan anak yatim. Kelima dimensi tersebut, baik langsung dan tidak langsung, tersirat dan tersurat, menjadi bentuk pola didik orangtua penulis terhadap anak-anaknya. Meski begitu, tak terkecuali bahwa pada umumnya, orangtua yang lain pun menerapkan bentuk didikan tersebut demi membentuk anak menjadi pribadi yang baik dan saleh.
            Selain religiositas, sedari kecil anak perlu diajarkan kemandirian. Didikan kemandirian menjadi hal yang penting karena dengan pola didik seperti ini setidaknya anak akan mengetahui apa yang mesti dia lakukan tanpa perlu mengandalkan orangtua. Namun demikian, sudah menjadi tugas orangtualah untuk mengawasi tindak laku anak, terlebih saat anak diyakini belum bisa melakukan segalanya secara sendiri, misalnya batita, balita, serta anak berusia tidak lebih dari 10 tahun.
            Mendidik kemandirian sedari kecil dapat berarti mengajarkan kedisplinan terhadap anak. Seperti yang dialami oleh penulis semasa kecil dahulu. Orangtua penulis, terutama ibu, selalu mengajarkan akan pentingnya waktu dan tanggung jawab. Misalnya, ibu selalu menerapkan ada waktu istirahat, belajar, dan bermain. Semua harus berjalan dengan teratur dan disiplin. Selain itu, ibu juga mengajarkan akan pentingnya tanggung jawab terhadap tugas yang dimiliki anaknya masing-masing, terutama dalam hal pekerjaan rumah.
Memang, penulis beserta adik-adik selalu diajarkan untuk mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti membereskan rumah, menyapu, mengepel, menyuci, memasak, dan sebagainya. Bentuk pekerjaan tersebut tak terlepas dari “kata ajaib” sang ibu bahwa “kita selamanya tidak akan terus hidup bersama orangtua”. Oleh karena itulah, didikan kemandirian menjadi sangat penting diterapkan sebab jangan sampai saat dewasa nanti, saat jauh dari orangtua, seorang anak tidak mampu hidup mandiri saking sangat tergantung terhadap orangtuanya.
Di samping itu, adanya didikan kemandirian bisa membentuk regulasi diri pada anak. Regulasi diri adalah kendali tingkah laku diri sendiri (dalam hal ini anak) untuk melakukan penyesuairan terhadap permintaan atau pengharapan orangtua, bahkan saat orangtua tidak ada. Regulasi ini tumbuh bersamaan dengan perkembangan kesadaran diri dan berbagai emosi yang dimiliki, seperti empati, malu, dan rasa bersalah. Misalnya saja seorang anak merasa kasihan ketika mengetahui orangtuanya sakit. Maka dari itu, ia mengetahui yang harus dilakukannya adalah merawat orangtuanya sebagai bentuk kewajibannya sebagai anak.
Berdasarkan penjelasan kedua hal di atas, yakni religiositas dan kemandirian, diharapkan mampu menjadi contoh pola asuh-didik yang baik bagi orangtua demi membentuk perilaku, sikap, sifat, serta kemandirian anaknya. Semoga penjelasan tersebut dan sekilas pola didik yang dialami penulis bermanfaat. Aamiin…

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan.,dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Ghufron, M.Nur dan Rini Risnawita S. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Papalia, Diane E. dkk. 2009. Perkembangan Manusia Edisi 10 (terj.). Jakarta: Salemba Humanika.



[1]  Kelima dimensi tersebut berdasarkan penjelasan M. Nur Ghufron dalam bukunya berjudul Teori-Teori Psikologi.