Thursday, February 13, 2014

Love You, Kak


Love You, Kak
(Season Rafi)

            Beberapa menit lalu, setelah Iqbal menelepon, Rafi, adik keduaku, mengirim WhatsApp (WA). Sama seperti Iqbal saat awal menelepon, Rafi menanyakan kabarku dan aku bilang bahwa aku sudah lebih baik dari sebelumnya.
            Kak, selama dua hari ke depan Kakak ada acara, gak? Rafi mau ajak Kakak lihat gedung sekolah musik Rafi yang baru selesai dibangun. Hehehhehe J
            Setelah membaca WA Rafi tersebut, aku membalas bahwa memang pada dua hari itu, yang tak lain Sabtu-Minggu, aku tak ada acara. Namun, Iqbal bersama anak dan istrinya selama tiga hari akan menginap di rumah.
            Ya sudah, Kak, Bang Iqbal dan keluarga sekalian aja datang ke sekolah musik Rafi.
            Ya, nanti Kakak bilang ke dia.
            Oke, Kak! Miss you :-* Besok kalau Rafi sudah dekat rumah, Rafi kabari Kakak, ya!
            Sip!
            Rafi, adikku yang satu ini sangat berbakat di bidang musik dan sejak SMA dulu dia selalu bermimpi, suatu saat nanti akan menjadi musisi dan guru musik terkenal serta juga memiliki sekolah musik. Ya, sekarang, tepat pada usia 25 tahun, hampir semua mimpi itu terwujud. Rafi menjadi guru musik dan memiliki tiga gedung sekolah musik. Adapun mimpi yang belum terwujud, yakni menjadi musisi terkenal. Ini disebabkan saking sibuknya Rafi sebagai guru musik sekaligus mengurus sekolah musiknya. Maka dari itu, dia hanya berfokus pada kedua hal tersebut.
            Pernah sesekali aku meledeknya, “Katanya mau jadi musisi terkenal, kok sekarang malah sibuk ngajar musik.” Dia hanya menjawab, “Hehehe… yang penting ada unsur musiknya, Kak! Gak jadi musisi, guru musik pun jadi. Yang penting ngerti not, bisa main alat musik, bisa ciptain lagu…”
            Ciptain lagu? Buat siapa?”
            “Ya, buat Zah… Eh, gak buat siapa-siapa ding!” ujarnya agak gugup. Ya, sebenarnya aku tahu Rafi memang menciptakan beberapa lagu dengan syair puitis yang ditujukan kepada gadis yang disukainya. Siapa lagi kalau bukan Zahra. Oops, aku pun tahu tentang Zahra dari si bungsu, Adly, sebab selama ini hanya Adly yang menjadi teman curhat Rafi ketika dia membicarakan soal Zahra. Adik keduaku ini memang benar-benar tertutup soal kisah “cinta” kepadaku.
                                                                       ***
            Suara gitar elektrik yang dimainkan Rafi cukup memekakkan telinga sehingga aku tidak bisa tidur siang. Dengan tak acuh bahwa di rumah ada aku yang ingin beristirahat pada Minggu yang panas ini serta Adly yang belajar untuk menghadapi UAS pada keesokan harinya, Rafi memainkan lagu Gun’n Roses berjudul “Sweet Child o Mine”.
            Karena sudah tak tahan dengan suara gitarnya itu, aku bergegas ke kamar Rafi. Segera kubuka pintu kamarnya serta mencabut kabel sound system dari gitarnya.
            Lah, kok suaranya beda?” tanyanya heran. Lalu, dia segera menengok dan mendapati diriku yang masih memegang kabel sound system tersebut.
            “Berisik, Kakak mau tidur!” kataku.
            Ya, Kakak kalau mau tidur, tidur aja! Gak usah cabut kabel segala,” ujarnya dengan wajar cemberut sambil mengambil kabel dari tanganku dan memasukkannya kembali ke stopkontak.
            “Fi, bisa tidak sekali ini saja kamu tidak main gitar. Kakak mohon banget! Kakak ingin istirahat!”
            Kan, tadi Rafi sudah bilang, kalau Kakak mau istirahat, ya silakan. Tapi Rafi tetap mau main gitar. Hari Minggu, jatah Rafi main gitar sepuasnya!”
            Gimana sepuasnya? Memang kamu tinggal di rumah sendiri? Ada kakak, abang dan adikmu, ayah, ibu.”
            “Tapi, sekarang kan cuma ada Kakak dan Adly. Ayah ibu lagi ke luar kota. Jadi, lumayan kan Rafi bisa main gitar sepuasnya!”
            Ya, tidak bisa begitu juga. Yang ada di rumah ini juga berhak untuk istirahat, merilekskan otak dan badan dari aktivitas kemarin-kemarin.”
“Dan main gitar merupakan cara Rafi untuk merilekskan pikiran, Kak!” katanya dengan nada tinggi. Aku tahu dia sudah mulai kesal. Memang, dibanding Iqbal, Rafi jauh lebih keras kepala. Sulit menang jika berdebat dengannya. Sekali suara kita melantang keras, Rafi akan membalasnya dengan suara lebih keras.
“Rafi, Kakak mohon sekali bisa kan untuk kali ini tolong hentikan permainan gitarmu itu. Lagi pula kamu sudah main dari tadi pagi, masak belum puas juga!”
“Ya, kalau memang Rafi belum puas mainnya kenapa, Kak? Kan, yang main Rafi. Toh, ini gitar Rafi!”
“Rafi, kamu bisa kan bicara lebih sopan kepada Kakak,” kataku merendahkan suara, tepatnya meredam emosi. Menghadapi Rafi memang harus “ekstra sabar”.
“Cukup deh, Kak! Rafi bukan anak kecil lagi! Sekarang Rafi ingin sendiri!” ujarnya tanpa menolehku.
Entah mengapa hatiku merasa “tak enak”. Sepertinya, Rafi sedang ada masalah. Tapi masalah apa? Ingin kutanya, namun pasti dia tidak akan memberi tahu dan atau menjawab dengan nada membentak, “Tidak apa-apa! Ini urusan Rafi!”
Saat Rafi mengatakan dirinya ingin sendiri, terpaksa akulah yang harus mengalah, keluar dari kamar Rafi, meninggalkannya. Sebelum aku menutup kamarnya, aku melihat sebuah kertas di atas meja belajar Rafi yang letaknya tak jauh dari sound system gitar elektriknya.
Kertas apa itu? Terlihat jelas kertas itu lecak. Karena penasaran, akhirnya aku mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. Astagfirullah, ternyata kertas tersebut merupakan hasil studi Rafi semester ganjil belum lama ini. Kuamati nilai mata kuliah yang diambilnya. Ada tujuh mata kuliah disebutkan di kertas itu, lima di antaranya dengan nilai yang “parah”, dua mendapat C dan tiga D. Dua nilai untuk mata kuliah lainnya mendapat nilai B. Ya ampun Rafi, mengapa seperti ini nilaimu?
“Jadi, ini yang kamu maksud dengan merilekskan pikiran?” tanyaku sambil menyodorkan kertas nilai tersebut di depan mukanya. Spontan dia langsung mengambil kertas tersebut dan langsung membuangnya ke tong sampah di samping tempat tidurnya.
“Itu gak penting, Kak!” katanya ketus.
“Bagaimana tidak penting! Kamu kenapa, Fi? Nilai kamu hampir semuanya buruk!”
Kan, dari sebelum kuliah Rafi sudah bilang, gak mau ambil jurusan akuntansi. Rafi mau kuliah di IKJ ambil jurusan seni musik. Tapi, ayah selalu memaksakan kehendaknya! Ayah sama sekali tidak memikirkan apa yang diinginkan Rafi!” ujarnya sambil “membanting” tubuhnya ke tempat tidur.
“Kakak pasti tahu, kan, minat Rafi itu di musik, bukan di bidang ekonomi!”
“Iya, Kakak tahu.”
“Bukan cuma Kakak, ibu juga tahu, mungkin juga ayah. Tapi kenapa ayah tetap saja memaksakan kehendak kepada Rafi untuk mengambil jurusan akuntansi! Rafi gak suka, sama sekali tidak suka!”
“Ayah hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik, Fi!”
“Terbaik bagi ayah, bukan berarti baik bagi Rafi Kak. Ini seperti “neraka” bagi Rafi! Rafi juga gak peduli, mau semester depan DO atau gak kuliah!”
“Kamu jangan begitu, Fi. Jangan kecewakan ayah ibu. Kamu harus tetap kuliah, tunjukan bahwa kamu bisa membuat mereka bangga.”
Aku berusaha membujuk Rafi, tapi sepertinya tak diindahkan olehnya. Aku tahu Rafi merasa tertekan dengan tuntutan ayah, kuliah di jurusan yang sama sekali tidak ia minati. Akhirnya, ya hasil semua studinya sangat tidak memuaskan.
“Ya sudah kalau begitu. Kakak tahu Rafi ingin kuliah di IKJ, makanya besok kalau ayah ibu sudah pulang, Kakak akan bicara kepada mereka supaya kamu pindah kuliah saja, asalkan kamu janji tetap kuliah,” kataku sambil keluar dan menutup pintu kamarnya.
                                                           ***
Dua hari setelah hari Minggu itu, tepatnya pada malam, aku mencoba membicarakan masalah Rafi kepada ayah dan ibu. Aku juga memberikan kertas hasil studi Rafi saat semester ganjil. Kertas ini kuambil dari tong sampah kamar Rafi saat dia sedang tidur.
“Jadi, bagaimana Yah, Bu setelah melihat nilai-nilai Rafi? Buruk-buruk, kan? Itu karena dia merasa tertekan dengan kuliah jurusan akuntansi.”
“Ya, tapi kan jurusan itu bagus, demi masa depan dia,” kata ibu.
“Memang bagus, Bu, tapi menjadi beban bagi Rafi. Kasihan dia.”
“Kalau dia mau kuliah jurusan musik, mau jadi apa nanti? Hanya berkutat di bidang musik dan musik, apa yang bisa dibanggakan?” kata ayah dengan nada tinggi.
“Setidaknya, itulah minat dari Rafi, Yah. Jihan mohon sekali sama Ayah, tolong untuk kali ini saja, jangan memaksakan kehendak Ayah terhadap Rafi. Kalau dia stres, lalu akhirnya DO, kasihan juga kan, Yah!”
“Ayah tetap tidak setuju jika dia keukeuh kuliah jurusan musik!”
“Tapi, benar yang dikatakan Jihan, Yah. Kasihan juga jika Rafi berkuliah tapi karena paksaan. Itu akan mengganggu kelancaran studinya,” kata ibu.
“Lalu, setelah dia kuliah di jurusan musik, siapa yang akan menjamin masa depannya?” tanya ayah.
“Allah, Yah. Hanya Dia yang menjamin seutuhnya. Allah yang menentukan rezeki setiap manusia. Jika Ayah tetap tidak percaya dengan minat kuliah Rafi, Jihanlah yang menjadi jaminannya!”
Setelah pembicaraan seriusku dengan ayah dan ibu pada malam itu, akhirnya ayah meminta beberapa hari untuk berpikir. Selang seminggu kemudian, tepat pada ulang tahun ke-20 Rafi, di meja makan—saat kami makan siang bersama—ayah mengungkapkan bahwa dia akan mendaftarkan Rafi ke IKJ, asalkan Rafi menyelesaikan kuliahnya di semester genap ini dengan hasil yang baik. Selain itu, Rafi juga ditekankan ayah agar saat kuliah di IKJ, dia fokus, bahkan kalau perlu mendapat predikat cum laude. Dengan wajah yang bahagia, Rafi pun menyanggupi persyaratan ayah.
Selepas makan siang, Rafi masuk ke kamarku. Lalu dia segera mencium tanganku dan memelukku erat seraya berkata, “Terima kasih, Kak. Terima kasih. Hanya Kakak yang benar-benar mengerti apa yang diinginkan Rafi. Sekali lagi terima kasih, Kak. Rafi janji akan kuliah sungguh-sungguh saat di IKJ nanti.”
“Iya, Fi. Jangan lupa kamu juga harus berterima kasih kepada ayah dan ibu karena merekalah yang akan mendaftarkan kamu di IKJ nanti,” ujarku sambil mengelus kepalanya.
***





  

No comments:

Post a Comment