Sunday, August 11, 2013

Refleksi: Bidadari-Bidadari Surga

Setelah beberapa hari yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta memutarkan satu film yang bagus sekaligus saya sukai. Apakah itu, ya, judulnya adalah Bidadari-Bidadari Surga. Mengapa saya suka dengan film ini? Apa yang saya sukai dari film tersebut? Para pemainnyakah, alur dan latarnya, atau kisahnya? Nah, saya akan memaparkan alasannya melalui penjelasan berikut.

Sebelum film tersebut rilis pada 2012, kira-kira sekitar lima tahun lalu saya membaca novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye. Saya membacanya karena salah seorang teman saya meminjamkan novel tersebut. Awalnya, sih biasa-biasa saja baca novel itu. Namun, setelah direnungkan, isi cerita novel tersebut bagus banget. Berkisah tentang cinta, kasih sayang, saling menghormati, serta pengorbanan membuat saya berpikir bahwa banyak nilai sekaligus hikmah dari cerita novel tersebut.

Sebelum penjelasan berlanjut, berikut saya paparkan sinopsis cerita Bidadari-Bidadari Surga.
Bidadari-Bidadari Surga berkisah tentang seorang kakak perempuan bernama Laisa yang tinggal bersama Mamak (ibu tirinya) beserta keempat adik tirinya, yakni Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Mereka hidup di sebuah pedesaan dengan kondisi "cukup miskin". Meski begitu, mereka hidup cukup bahagia karena kasih sayang, rasa cinta, dan menghormati menjadi "resep khusus" keluarga mereka.
Laisa dikenal sebagai seorang kakak yang tegas, keras, bertanggung jawab, dan sangat sayang kepada keluarganya. Dalimunte, adik laki-lakinya yang dikenal paling cerdas, sangat menyayangi dan menghormati dirinya meski dia tahu bahwa Laisa bukanlah kakak kandungnya. Tak jauh berbeda dengan Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, merupakan adik laki-laki yang cukup "nakal" karena berbagai keisengannya untuk membuat Laisa selalu marah (tapi ini saat di masa kecil). Meski begitu, mereka berdua, sama seperti Dalimunte, sangat menyayangi dan menghormati kakak tertuanya. Adapun si bungsu, Yashinta, seorang adik perempuan yang tomboy, pemberani, dan keras kepala dikenal sebagai sosok yang pintar dan sangat menyukai satwa liar.

Demi memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama untuk biaya sekolah keempat adiknya, Laisa rela bekerja keras. Dia rela berkorban sebesar-besarnya demi kesuksesan adiknya. Oleh karenanya, tak dimungkiri bahwa keempat adiknya menganggap Laisa sebagai sosok kakak yang baik, kakak mereka segala-galanya yang tak tergantikan.

Nah, setelah memaparkan sedikit sinopsis Bidadari-Bidadari Surga, saya akan mengemukakan mengapa saya menyukain novel ini. Pertama-tama, saya merasa bahwa novel/ film tersebut seperti bagian dari pencerminan kehidupan saya. Yakni, seorang kakak yang memiliki empat orang adik, tiga laki-laki dan adik bungsu adalah perempuan. Ibaratnya, saya sebagai Laisa, lalu keempat adik saya: Tyan, Tezar, Tauvian, dan Thanaya, seperti Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta. Oops, ini bukan lebay lho!

Mengenal sosok Laisa yang terdeskripsikan melalui perbuatan oleh sang penulis dalam cerita tersebut, membuat saya kagum sekaligus iri. Ini jujur, lho! Mengapa saya kagum? Nah, jawabannya tentu saya sangat salut dengan pengorbanan yang Laisa lakukan untuk keluarganya. Kegigihan, optimistis, serta keuletannya itu yang membuat saya kagum. Jika direfleksikan dalam diri saya: sebagai anak sulung, apa yang telah saya korbankan demi keluarga saya, demi adik-adik saya? Saya belum bisa mengorbankan apa-apa. Pun, hidup saya masih tergantung kepada orangtua (jadi, curcol, deh). Saya juga akui, saya belum bisa menjadi kakak yang baik, kakak yang tegas bagi adik-adik saya. Saya belum bisa menjadi Laisa. Oleh sebab itu, jujur saya merasa iri kepadanya. Saya iri karena dia mampu disayangi dan dihormati adiknya. Ups, bukan berarti adik-adik saya tidak menyayangi dan menghormati saya. Justru mereka, terutama ketiga adik saya, melindungi saya dan si bungsu, Naya. Maksud saya di sini adalah Laisa mampu mendidik adiknya dengan baik sehingga adik-adiknya sangat menghormati dirinya, sedangkan saya, apakah saya mampu mendidik keempat adik saya? Mampukah saya seperti Laisa?

Di dalam Bidadari-Bidadari Surga  juga saya merefleksikan diri. Sudah bijak dan dewasakah saya sebagai anak sulung. Nyatanya, menurut kedua orangtua saya, belum, tapi pasti bisa. Sebagaimana pesan orangtua saya yang diucapkan mereka saat Lebaran kemarin, "Kamu harus bisa menjadi panutan yang baik untuk adik-adik kamu. Membimbing adik-adik kamu, menjadi kakak yang baik, bijak, dan dewasa." Saya harus yakin, optimistis bahwa saya bisa menjadi kakak yang baik meski sekarang saya masih belajar. Benar-benar masih belajar.

Melalui pengorbanannya yang begitu besar, Laisa tidak pernah sekali pun menuntut. Dia hanya ingin membahagiakan keluarganya. Pun, tidak munafik saya juga ingin seperti itu. Namun, memang saya mesti banyak belajar dari tokoh Laisa. Sosoknya itu patut dicontoh, namun keadaannya, yakni seorang kakak dengan memiliki empat orang adik bisa menjadi pencerminan dan contoh bagi kehidupan saya.

Suatu ketika, saat menonton film Bidadari-Bidadari Surga via notebook, ibu saya berkata langsung kepada saya, "Seandainya anak-anak Mama seperti itu (Laisa, Mamak, dan adik-adiknya), saling menghormati, menyayangi, pasti Mama bahagia banget!" Tersirat dari perkataan tersebut, ibu saya sangat menginginkan semua anaknya dapat hidup rukun, saling menyayangi dan menghormati. Sebagaimana nasihat ibu saya kepada kami, anak-anaknya, "Yang tua menyayangi yang muda, sedangkan yang muda menghormati yang tua." Nasihat ini beberapa kali diucapkannya kepada kami.

Saturday, August 3, 2013

Lihatlah Mereka (di Sekitar Kita)

Selama Ramadhan tahun ini saya perhatikan, setiap pulang kantor, tepatnya di bilangan Pejaten, di sepanjang jalan menuju halte Transjakarta Pejaten Philips, saya temui beberapa tunawisma. Mereka umumnya membawa anak kecil, seperti batita, gerobak, dan juga beralaskan karung tipis.

Jujur saja, saya sedih melihatnya. Terlebih, melihat batita yang tampak kecil, dininabobokan oleh ibunya. Logikanya, pantaskah anak seusia itu berada di tengah dinginnya malam menikmati "hidup ramainya" Jakarta? Padahal, semestinya mereka berada di rumah untuk beristirahat. Namun ini, jangankan di rumah, mereka hanya ditidurkan di alas karung tipis dengan diselimuti kain yang sudah usang. Bahkan, gerobak pun tak layak untuk dijadikan tempat tinggal bagi bocah itu.

Memang, orang tua mereka--maaf--tidak meminta-minta, hanya duduk saja sambil mengawasi anak-anaknya yang masih kecil, entah tidur atau bermain di sekitarnya. Saya pun berpikir, bagaimana jadinya jika terjadi hujan? Di mana mereka berteduh? Lalu, bagaimana dengan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka jika sedari kecil saja mereka sudak "dipaksa" menghadapi kerasnya kehidupan di Jakarta?

Tidak hanya itu, setiap saya melintasi jembatan penyeberangan halte Transjakarta, duduklah dua anak, sepertinya kakak beradik, laki-laki dan perempuan, dengan berpakaian seadanya, berpenampilan--maaf--kotor, dan hanya beralaskan kertas koran. Adapun yang terpikir dalam benak saya adalah "di mana orang tuanya?" Coba bayangkan, jika anak itu harus "bekerja" demi sesuap nasi, tanpa memperoleh haknya untuk dilindungi orangtuanya, diberi kebahagiaan, dan juga menempuh pendidikan sesuai dengan seusianya.

Nah, oleh sebab itu, saya berharap semoga mereka--orangtua yang melepaskan anaknya di tengah kehidupan di Jakarta--memperhatikan apa yang menjadi hak anaknya. Memang sulit, tapi dibutuhkan kesadaran bagi mereka bahwa anak mereka tak seharusnya menikmati "dinginnya" Jakarta. Jika terus-menerus seperti ini, anak-anak itu yang kasihan karena merekalah yang menjadi korbannya.

Thursday, August 1, 2013

Arti "Move On"

Move On. Siapa sih yang tidak kenal dengan kata tersebut? Saat ini kata move on bukan lagi kata yang asing, bahkan menjadi kata yang lumrah, "naik daun" nan "cetar membahana" hehehhe...

Kali ini saya ingin berpendapat mengenai kata move on, tapi maaf lho jika pendapatnya tidak sepenuhnya objektif. Yah, namanya juga sudut pandang, tidak selalu sama, bukan?

Move on, singkatnya sih bermakna "bertahan". Nah, bertahan untuk apa? Gara-gara putus cinta? Cinta tak berakhir dengan bahagia? Atau cinta bertepuk sebelah tangan (padahal, kalau dibayangkan bertempuk sebelah tangan bagaimana coba, kita kan selalu bertepuk dengan kedua tangan, hehehhe)? Menurut saya, move on itu tidak harus dikaitkan dengan hal "percintaan", terutama kepada sang kekasih, calon, atau mungkin mantan.

Seperti misal, ada ungkapan seperti ini, "Tanpamu aku bisa move on, kok!" atau mungkin "Aku bisa move on meski cinta tidak berpihak kepada kita". Ahai, sudah pasti ungkapan tersebut terucap atau terpikir, umumnya, terhadap orang-orang yang mungkin sedang galau (setiap orang pasti pernah mengalami kegalauan, kan?)

Namun, menurut saya, move on  itu tak sebatas terkait dengan hal-hal percintaan, misalnya seperti pengungkapan di atas. Kata tersebut juga dapat dikaitkan dengan hal lain. Misalnya, ketika kita gagal mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, misalnya kita ingin menjadi "A", namun gagal. Nah, kita harus move on dong. *Move on tidak harus dimiliki oleh orang yang sedang galau atau kasmaran karena cinta, kan?

Terkait move on, sebenarnya kita hidup tak lepas dari segala ujian, musibah, tekanan, dsb yang tentunya sangat menguji kesabaran kita. Meski begitu, kita tidak harus menyerah apalagi terpuruk. Nah, move on menjadi "quote" yang tepat untuk diterapkan (hehehhe.... ngasal banget...). Namun demikian, yang terpenting itu kita yakin kepada Sang Pencipta bahwa semua yang diberikan dari-Nya kepada kita merupakan bentuk kasih sayang-Nya. Nikmat, berkah, musibah, ujian hidup, dll, semua diberikan-Nya tentu tak melebihi batas kemampuan manusia. :) So, keep move on for everything! hehhehe