Thursday, December 8, 2016

Siapa Salah Siapa

Kamis, 8 Desember 2016, saya mengajak mama dan adik bungsu saya, Naya, untuk menonton bioskop di salah satu mal di Bekasi. Kami menonton dua film, satu kartun anak dan satu lagi genre cinta dan keluarga. Tidak ada yang aneh dan rumit, semua kegiatan pada hari itu berjalan lancar, mulai dari kami beli tiket, menonton, makan, hingga belanja.

Namun, saat hari mulai malam, kami terjebak hujan deras. Kami tidak bawa payung. Kami berusaha menghubungi keluarga di rumah apakah di sekitar rumah juga hujan. Ternyata, hujan deras mengguyur Bekasi. Bahkan, menurut ayah saya, Jakarta, khususnya kawasan Halim, juga hujan deras. Awalnya, saya bersama mama dan Naya biasa saja menghadapi hujan. Kami berharap secepatnya hujan reda. Akan tetapi, hujan turun deras, semakin deras, cukup deras, deras, lalu gerimis deras. 

Saya menawarkan kepada mama apakah sebaiknya kami memesan salah satu kendaraan beroda empat melalui aplikasi daring. Mama pun menyetujuinya. Saya mulai memesan dan melihat estimasi harga perjalanan dari mal (kawasan Bekasi Barat) hingga rumah (kawasan Bekasi Timur). Alangkah terkejutnya saya, ternyata estimasi harga perjalanan cukup membengkak (tak seperti biasa) karena aplikasi daring tersebut sedang memberlakukan sistem kelipatan--mungkin disebabkan banyaknya peminat untuk memesan kendaraan beroda empat. Saya dan mama bersepakat untuk memesan kendaraan dari aplikasi itu apabila estimasi harga sudah normal. Sepuluh menit, 15 menit, 30 menit, sejam, bahkan lebih, estimasi harga di aplikasi tersebut belum stabil. Gerimis deras pun masih turun. Beberapa orang menunggu, duduk, atau sekadar berjalan-jalan di depan lobby sambil--mungkin--menunggu jemputan atau gerimis berhenti. 

Saya dan mama berusaha bersabar dan tenang sampai akhirnya kami mendapat sebuah kabar dari pesan WA bahwa ada kabel putus di rumah. Saya dan mama langsung panik dan khawatir. Terlebih, adik saya mengatakan bahwa terendus bau hangus dari dua TV LCD di rumah kami. TV tak bisa dinyalakan. Lampu power-nya mati. Mama pun menyuruh adik saya di rumah agar kabel TV dicabut dari stopkontak. Selain itu, mama semakin khawatir ketika mengetahui bahwa adik saya sendiri di rumah. Abangnya kerja dan papa masih di perjalanan. Panik. Panik. Panik. Saya dan mama ingin segera pulang. Namun, cuaca sepertinya tidak begitu mendukung.

Tak lama kemudian, saya berdiri di lobby. Saya tidak bisa hanya berdiam diri di sini. Saya harus berusaha untuk mendapatkan kendaraan agar secepatnya pulang. Di saat seperti ini, angkot bukan kendaraan tepat untuk dinaiki sebab membutuhkan waktu lama untuk sampai rumah. Saya, mama, dan Naya ingin secepatnya sampai rumah. Akhirnya, saya memutuskan untuk segera mencari taksi. Tak peduli gerimis masih mengguyur, tak berpayung, dan hanya menutupi kepala dengan tas kecil, saya berlari ke luar untuk ke pinggir jalan mencari taksi. Alhamdulillah, tak sampai lima menit, saya mendapatkan taksi biru. Taksi itu menghentikan jalannya dan meminggirkan mobilnya (dengan cara agak salah karena menutupi mobil yang ingin lewat). Saya segera membuka pintu taksi itu sambil bertanya kepada sopir, "Pak, ke Jatimulya mau?" Si sopir menyatakan bersedia. Lalu saya berkata, "Tapi ibu saya ada di dalam, Pak, bisa masuk dulu, gak, Pak?" "Ya sudah, ibunya dibawa ke sini saja," jawab si sopir. Jujur, sebenarnya saya sudah bete sama sopir itu, sudah tahu gerimis deras, eh malah nyuruh penumpang yang datangi dia. Kalau tidak terlalu memerlukannya, saya ingin menyatakan, "Kalau gitu gak jadi, deh Pak!", tapi ini karena keadaan.

Saya, mama, dan Naya sudah berada di dalam taksi. Si sopir berkata, "Nanti tolong diarahkan, ya Bu. Kita lewat mana dan ke arah mana?". "Jatimulya, Pak. Arah tol timur. Kalau tol tidak macet, lewat tol saja, Pak," jawab saya. Mama bertanya, "Kamu yakin lewat tol?" "Iya, tol saja. Tuh, lihat Ma tol lancar," kata saya sambil menunjuk jalan tol di bawah fly over

Sopir pun membelokkan taksinya ke arah tol. Nah, di sinilah muncul masalah perjalanan yang membuat saya dan mama kesal sekali. Si sopir malah mengambil arah ke tol Jakarta!!!! Bukan membelok ke arah tol Bekasi. Sekitar puluhan meter melewati pintu tol itu, akhirnya mobil berhenti. "Saya keterusan," katanya. "Aduh, bagaimana kalau begini? Mundur saja Pak bila bisa," kata saya. Si sopir malah terdiam di mobil sambil memajumundurkan mobil (aneh, kan?), lalu dia keluar mobil, berdiri, entah berpikir atau tidak. Intinya dia keluar masuk mobil dan kami menunggu lama. "Jadi, bagaimana, Pak?" tanya saya. Saya berusaha untuk bernada tenang meski sebenarnya bete sama sopir ini. Padahal, kalau mundur pun, dia masih bisa lho. Ini justru berada di pinggir tol, menunggu bermenit-menit, berdiam, keluar masuk mobil gak jelas. Setelah saya bertanya lagi, dia hanya menjawab, "Bagaimana kalau turun saja, naik yang lain!" Wah, dia berkata seperti itu membuat saya NAIK PITAM. "Ini hujan Pak! Ada di tol juga! Mana mungkin kita turun hujan-hujanan. Kasihan adik saya, dong! Ini jalan jauh lho, Pak. Enggak dekat!" Mama juga berkata, "Tidak mungkinlah, Pak kami jalan, tidak ada kendaraaan." "Lalu, bagaimana Bu?" Sumpah, ya sopir tersebut mengulur-ulur waktu banget! "Ya sudah, putar Halim saja, Pak! Kan, katanya tidak bisa mundur!!!" Saya sudah kesal. "Tapi, jadinya jauh, Kak!" 

Si sopir keluar mobil lagi. "Habis mau bagaimana lagi, Ma? Dia kan gak mau mundur! Mau tidak mau, ya putar Halim!" "Nanti jadi mahal Kak!" Sopir masuk mobil lagi. "Jadi, bagaimana?" Saya menjawab, "Putar Halim, Pak!" Si sopir berkata, "Tapi, jadinya jauh!" (masih basa-basi aja!) "Daripada tidak jalan dan makin lama sampai rumah. Jadi, lebih baik lanjutkan perjalanan sekarang, Pak!" Si sopir langsung mengendarai taksi.

Jalanan tol menuju Jakarta cukup padat. Waduh, bakal bengkak biaya perjalanan, nih! Saya pun berpikir bila sampai Halim dan jalanan padat, pasti membutuhkan waktu lama dan biaya perjalanan semakin mahal. Hal ini bukan terkait pelit atau tidak, lebih ke realistis saja, masak estimasi biaya perjalanan taksi dari Bekasi Barat ke Bekasi Timur yang biasanya tidak sampai Rp35.000--40.000 mencapai ratusan ribu rupiah. Di tengah perjalanan saya berkata, "Pak, kita tidak usah ke Halim, lewat tol Bintara saja." "O, baik Mbak." Sopir pun mulai masuk ke Tol Cikunir, tapi ini yang membuat kekesalan saya semakin menjadi! Sopir itu mengambil arah ke Jati Asih, bukan ke Cakung! Errrrgh!!!!!! Bete, mau sampai pukul berapa ke rumah? 

Saat sampai di Jati Asih, saya berkata, "Belok kiri Pak, arah Jati Asih." Hal itu karena kalau tetap berjalan lurus, ke arah Kampung Rambutan. "Lalu ke mana lagi?" "Begini Pak, belok kiri lagi, ikuti jalan, pasti nanti ada papan keterangan tol Bekasi." Sebenarnya, saya agak cemas juga karena saya tidak tahu wilayah Jati Asih. Meski demikian, saya tetap optimistis pasti ada papan petunjuk dan alhamdulillah ADA! Papan petunjuk itu memberitahukan arah Tol Jakarta-Cikampek. Saya meminta si sopir untuk mengikuti arah di papan itu. Perjalanan seperti ini saja sudah hampir satu jam. Saya melihat harga pada argo perjalanan sudah melebihi estimasi biaya perjalanan Bekasi Barat-Timur seperti biasanya. Saya hanya bisa berharap, sopir itu mengendarai dengan baik, masuk tol, langsung cusss ke Bekasi Timur. Lalu di pertigaan ada papan keterangan lagi. Saya menganjurkan sopir untuk mengikuti arah Tol Jakarta--Cikampek/ Cakung. Namun, entah sopir itu fokus atau tidak, justru tidak belok-belok. Malah lurus dan lurus. MENYEBALKAN

Kami pun tidak menemukan jalan tol, malah hanya jalan biasa yang dipadati kendaraan roda empat. Sopir salah lagi. Saya dan mama meminta sopir untuk mengikuti angkot K02 (jurusan Pondok Gede-Bekasi). Mungkin kami berjalan sekitar 1 km lebih dan perjalanan menuju Jati Mekar. Saya buta daerah sini. Sopir menghentikan taksi di pinggir jalan, beberapa menit dia menyalakan ponsel untuk GPS (buang-buang waktu), "Ke Jati apa Bu? Dia menyebutkan beberapa wilayah Jati." Saya dan mama semakin kesal kepada sopir itu.  Saya berkata, "Yang penting Pak kita menuju Terminal Bekasi saja." Padahal, ke tempat itu harus muter-
muter

Entah inisiatif dari mana, sopir keluar dari taksi dan bertanya kepada orang. Menurut orang itu, kami salah arah, harus putar balik untuk ke Bekasi. Akhirnya, si sopir memutar balik taksi--setelah cukup lama berhenti, membuka GPS (yang tidak terlalu berguna), dan bertanya ke orang. Saat memutar balik, ternyata suasana jalan macet, padat merayap. Di samping itu, papa berulang kali menelepon. Khawatir akut sepertinya. 

Setelah berapa ratus meter menghadapi jalanan macet, akhirnya ada papan petunjuk ke arah Pekayon. Mama berkata, "Kita ke arah Pekayon saja Pak. Nanti pas di Pekayon ada lampu merah, Bapak ke kanan untuk ke Jatimulya karena ke kiri ke arah terminal." Sekitar satu jam lebih, alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga. Papa sudah menunggu di depan rumah dan langsung membuka pintu taksi seraya bertanya kepada si sopir, "Pak, kok jalan bisa salah, sih, memangnya sama sekali tidak tahu jalan, ya?" Sopir itu hanya tertegun. Saat mau turun dari taksi, saya dan mama melihat argo. BENAR kan, harga perjalanan membengkak hampir empat kali lipat tepatnya Rp124.500. Karena sedari awal tahan kesal, saya berceletuk, "Wah, keren banget, ya Ma dari Bekasi Barat ke Bekasi Timur ongkosnya ratusan, sudah seperti dari Pejaten ke Bekasi." 

Ya, mungkin celetukan saya itu "agak jahat", tapi mau bagaimana lagi? Bekasi Barat-Timur dengan perjalanan sekitar 2 jam dan biaya membengkak gara-gara sopir salah jalan dan terlalu lama berdiam diri, memberi solusi kurang berlogika, serta basa-basi. Baru kali ini lho saya naik taksi biru diperlakukan seperti ini. Di tulisan ini bukan bertujuan untuk menjatuhkan pihak mana pun, saya hanya sekadar bercerita tentang pengalaman tidak mengenakkan sekaligus mencurahkan kekecewaan dan kekesalan saja.

Sejauh yang saya tahu, setidaknya sopir taksi mengetahui arah jalan meski tidak spesifik. Terlebih di dalam mobil dilengkapi alat GPS--jadi tidak perlu menggunakan GPS ponsel, cukup nyalakan GPS mobil. Saya tidak tahu apakah sopir itu sengaja mengajak kami berputar-putar atau tidak. Saya tidak ingin bersuudzon. Syukur kalau benar memang dia linglung tidak tahu jalan. Namun, agak kurang masuk akal juga kalau sama sekali tidak tahu jalan dan menghentikan mobil di pinggir jalan dalam waktu cukup lama, keluar masuk mobil tidak jelas seolah mengulur-ulur waktu. 

Ya, hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui kebenarannya. Peristiwa tersebut bisa saja sebagai ujian kesabaran dan keikhlasan bagi saya dan mama. Intinya, ini dijadikan pelajaran saja, sudah terjadi dan terlewati, mau bagaimana lagi? Walau begitu, alhamdulillah kami sampai dengan selamat di rumah meski tak dimungkiri rasa kesal menyelimuti saya dan mama. Terkait harga perjalanan yang berkali-kali lipat dari estimasi biasanya, pasti nanti akan diganti oleh-Nya. Saya yakin rezeki yang kita keluarkan dan kita dapatkan itu semua karena kehendak-Nya.