Berbahasa adalah komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa.
Hal inilah yang dilakukan manusia dalam sehari-hari. Namun demikian, tahukah
Anda bahwa berbahasa yang Anda lakukan selama ini merupakan pengaruh dari
struktur dan kinerja otak? Bila terjadi gangguan atau kerusakan pada struktur
otak, kinerja otak pun akan memengaruhinya, terutama dalam hal berbahasa.
Otak memiliki
dua hemisfer, yakni hemisfer kiri dan kanan. Hemisfer kiri dominan berfungsi
untuk berbahasa sehingga ia berarti penting bagi penutur bahasa, sedangkan
hemisfer kanan dominan berfungsi untuk menentukan emosi, isyarat baik emosional
maupun verbal.
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya selalu berkembang. Hal ini tampak pada cabang ilmu
linguistik. Jika sebelumnya linguistik dikenal sebagai ilmu yang hanya mengkaji
bahasa, kini cabang ilmu tersebut dapat berdampingan atau beririsan dengan
ilmu-ilmu lainnya, baik dalam hal sains maupun sosial. Misalnya saja, cabang
ilmu dalam lingkup linguistik, yakni psikolinguistik dan neurolinguistik.
Umumnya, psikolinguistik membahas pemerolehan bahasa oleh penutur, sedangkan
neurolinguistik cenderung membahas beberapa gangguan berbahasa dan biasanya
gangguan tersebut dipengaruhi oleh kerusakan/cedera otak.
Salah satu bentuk gangguan berbahasa akibat
kerusakan/cedera otak ialah afasia. Menurut Field (2004:16), afasia adalah
gangguan
terhadap
ketidakmampuan memproduksi atau memahami dalam tuturan berbahasa. Biasanya,
afasia ini disebabkan oleh cedera otak karena kecelakaan, stroke, dan juga
beberapa efek dari demensia. Selain itu, menurut Chaer (2009:155) afasia adalah
kerusakan pada daerah Broca dan Wernickle—salah satu daerah otak pada bagian
hemisfer kiri—dan sekitarnya sehingga menyebabkan gangguan berbahasa. Kedua
daerah itu pun dikenal sebagai pusat bahasa dalam otak.
Sejarah Singkat Broca
dan Wernickle
Ketika tahun 1861, seorang ahli bedah Prancis, Paul Broca,
menemukan seorang pasien yang tidak dapat berbicara. Setelah pasien itu
meninggal, otaknya pun dibelah, dan ditemukan kerusakan otak di daerah frontal,
tepatnya area pada lobus frontalis kiri. Selanjutnya, daerah frontal itu
disebut sebagai daerah Broca. Adapun kerusakan pada daerah tersebut menyebabkan
seseorang kesulitan berkata-kata (menghasilkan ujaran), tetapi tetap memahami
pembicaraan.
Melalui
penelitiannya, Broca mengungkapkan bahwa kerusakan pada daerah yang sama di
hemisfer kanan tidak menimbulkan pengaruh yang sama. Dengan kata lain, pasien
yang mendapatkan daerah kerusakan yang sama pada hemisfer kanan akan tetap
menghasil ujaran secara normal. Oleh sebab itulah, hasil penelitian tersebut
menjadi dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak di hemisfer kiri otak dan
daerah Broca berperan penting dalam proses atau perwujudan bahasa.
Selain itu,
tahun 1873 seorang neurologi Jerman bernama Karl Wernickle menemukan kasus
pasien yang mempunyai kelainan wicara, yakni tidak mengerti maksud pembicaraan
orang lain, tetapi masih dapat berbicara sekadarnya. Menurut Wernickle,
penyebab kelainan tersebut ialah terdapat kerusakan otak pada bagian belakang
(temporalis) yang kemudian disebut sebagai daerah Wernickle. Oleh karena
kerusakan pada daerah tersebut, pasien sukar mengerti komprehensi pembicaraan
orang meski mudah mengucapkan kata tanpa adanya gangguan pendengaran.
Berdasarkan hasil
penelitian tentang kerusakan otak oleh Broca dan Wernickle, disimpulkan bahwa
hemisfer kiri otak sangat erat hubungannya dengan fungsi bahasa. Oleh sebab
itulah, tak heran bila seseorang yang memiliki kerusakan otak pada
daerah-daerah hemisfer kiri mengalami gangguan berbahasa.
Jenis-Jenis Afasia
Secara garis besar, afasia ada dua jenis, yakni afasia Broca
dan Wernickle. Afasia Broca dikenal sebagai afasia motorik atau non-fluent. Adapun afasia Wernickle dikenal
sebagai afasia sensorik atau fluent.
Umumnya, pasien yang menderita afasia Broca lebih banyak ditemukan dibandingkan
dengan pasien afasia Wernickle. Sebagian besar penderita afasia Broca merupakan
pasien yang terkena stroke.
Afasia Broca
(Motorik)
Afasia Broca
terdiri atas tiga jenis sebagai berikut.
1.
Afasia
motorik kortikal
Afasia jenis ini
dialami oleh pasien yang tidak mampu mengutarakan isi pikiran dengan perkataan,
namun masih dapat mengerti bahasa lisan dan tulisan. Dengan kata lain, pasien
tersebut tidak dapat berekspresi verbal, tetapi ia masih mampu berekspresi
visual (bahasa tulis dan isyarat).
2.
Afasia
motorik subkortikal
Penderita afasia
motorik subkortikal tidak mampu mengutarakan isi pikirannya dengan menggunakan
perkataan, tetapi masih dapat mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Di
sisi lain, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, bahkan ekspresi
visual pun berjalan normal.
3.
Afasia
motorik transkortikal
Afasia yang satu ini
terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernickle. Oleh
sebabnya, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu.
Selain itu, penderita afasia motorik transkortikal ini dapat mengutarakan
perkataan singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan
substitusi. Misalnya, untuk mengatakan pensil,
penderita tersebut bertanya “Ini, ni
yang untuk menulis namanya apa, ya? Yang saya pegang ini apa, ya?”
Umumnya,
penderita afasia motorik jenis apa pun bersikap “tak berdaya”. Hal itu karena
keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan
untuk melakukannya tidak sama sekali. Maka dari itu, tidak heran bila para
penderita afasia motorik sering kali jengkel karena suatu hal yang
diekspresikannya tidak dipahami sama sekali oleh orang di sekelilingnya.
Misalnya, penderita hanya dapat berteriak atau berkata tidak jelas untuk
mengungkapkan kejengkelannya tersebut.
Berdasarkan
penjelasan ketiga jenis afasia motorik di atas, diketahui bahwa afasia motorik
kortikal termasuk jenis gangguan berbahasa paling parah bila dibandingkan
dengan jenis afasia motorik lainnya. Hal itu disebabkan penderita afasia
motorik kortikal ini sudah tidak mampu berekspresi verbal.
Afasia Wernickle (Sensorik)
Kerusakan terhadap daerah Wernickle
menyebabkan terganggunya pengertian dari apa yang didengar (pengertian
auditorik) dan juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual).
Penderita afasia Wernickle atau sensorik kehilangan pengertian bahasa lisan dan
tulis, tetapi masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh
dirinya sendiri dan juga orang lain. Curah verbal ini merupakan bahasa baru
(neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Meski demikian, neologisme
dapat diucapkan penderita afasia sensorik dengan nada, irama, dan melodi.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan terkait afasia di atas disimpulkan bahwa afasia merupakan salah satu bentuk gangguan kebahasaan yang terjadi pada dua daerah di hemisfer kiri otak, yakni Broca dan Wernickle. Dengan kata lain, kerusakan terhadap hemisfer kiri tersebut menyebabkan seseorang menderita gangguan berbahasa.
Bila Anda memiliki keluarga atau kerabat
yang dicurigai menderita afasia karena sebelumnya mengalami stroke sehingga
menyebabkan kerusakan otak, segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut agar Anda
mengetahui secara jelas jenis afasia yang diderita oleh keluarga atau kerabat
Anda. Terlebih, saat ini di
kawasan Jakarta Timur sudah berdiri Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON),
tentu saja pemeriksaan secara akurat dan intensif terhadap penderita/pasien
afasia dapat dilakukan di sana.
Daftar
Pustaka
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Field, John. 2004. Psycholinguistics:
The Key Concept. New York: Routledge.
Mardiati, Ratna. 2010. Buku Kuliah: Susunan Saraf Otak Manusia. Jakarta: Sagung Seto.