Wednesday, December 11, 2013

Dilematika Hakikat Profesi Kedokteran: Peroleh Keuntungan atau Pengabdian


Dilematika Hakikat Profesi Kedokteran: Peroleh Keuntungan atau Pengabdian
Oleh Tyas Chairunisa
            Tak sedikit orang di Indonesia menginginkan atau bercita-cita menjadi dokter. Dapat dikatakan, profesi ini menjadi dambaan banyak orang. Adapun  stereotip yang dikenal sampai sekarang, yakni dengan menempuh pendidikan dokter, sudah pasti berprofesi dokter, dokter adalah seorang yang pintar dengan kemampuan IQ tinggi, serta memperoleh penghasilan—dapat dikatakan—memuaskan.
            Namun, benarkah demikian akan semua stereotip tersebut? Apakah benar seorang dokter harus memiliki IQ tinggi? Sudahkah terjamin utuh bahwa dokter akan memiliki penghasilan yang banyak, memuaskan? Adakah hal-hal yang memengaruhi semua itu? Apakah ada keterikatan antara profesi dokter dan dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mewakili apa yang akan dijelaskan dalam esai ini.

Dokter, etika, dan kode etik kedokteran
Apa yang Anda ketahui tentang dokter? Ialah seorang yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  Edisi Ketiga. Selain itu, seorang yang menjadi dokter tentunya merupakan lulusan sarjana kedokteran.
            Menjadi dokter merupakan salah satu jenis pekerjaan profesi. Pekerjaan profesi adalah pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat (Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, 2008:2). Oleh karena itu, tak bisa dimungkiri bahwa menjadi seorang dokter tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki kecermatan, ketangkasan—berdasarkan pelatihan yang dilakukan sewaktu menempuh pendidikan kedokteran—dalam menghadapi pasiennya.
            Selain itu, M. Jusuf Hanafiah dalam bukunya, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, menjelaskan bahwa hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (calling) untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental[1]. Umumnya, bisikan nurani dan calling tersebut dipengaruhi adanya rasa empati, ikut merasakan penderitaan orang lain, kejujuran, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama sebagai rasa kemanusiaan. Oleh sebab itu, tak ayal bahwa seharusnya dokter mengutamakan kepentingan orang lain dengan membantu mengobati orang yang sakit.
            Selain itu, profesi kedokteran dikenal sebagai profesi tertua sekaligus mulia karena berhadapan dengan masalah kesehatan dan kehidupan—dua hal terpenting dalam hidup manusia. Bentuk pekerjaan profesi, seperti dokter, memiliki ciri-ciri umum, yakni pendidikan sesuai standar nasional, mengutamakan panggilan kemanusiaan, berlandaskan etik profesi (mengikat seumur hidup), legal melalui perizinan, belajar sepanjang hayat, dan bergabung dalam satu organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
             Seorang dokter haruslah memiliki Intelectually Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)[2]. Adapun tujuan dokter memiliki ketiga hal tersebut, yakni agar dokter memiliki kematangan intelektual beserta emosional dan spiritualnya—yang berkaitan erat dengan tanggung jawab dan pengabdian seorang dokter.
            Selain profesi, dalam dunia kedokteran dikenal juga istilah etika dan kode etik kedokteran. Menurut Kamus Kedokteran, sebagaimana dikutip M Jusuf Hanafiah, etika adalah pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Etika dapat dikatakan sebagai ilmu yang memperlajari asas akhlak. Dengan adanya pendidikan etika dalam kedokteran, setidaknya akan menyadarkan, menanamkan, dan juga menekankan bahwa profesi dokter adalah melayani dan membantu masyarakat terhadap penyakit yang diderita mereka dengan keikhlasan serta ketulusan.
            Tak hanya etika, tetapi kode etik kedokteran pun menjadi pembelajaran sekaligus asas hukum legal yang mengikat profesi dokter. Di Tanah Air ini, kode etik tersebut atau dikenal Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) disusun berdasarkan dua versi, yakni SK Menkes RI No.434/Menkes/SK/X/1983 dan SK PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) No. 221/PB/A-4/04/2002.
            Hal-hal yang dibahas dalam KODEKI mencakup kewajiban umum seorang dokter, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawat, serta kewajiban dan larangan dokter terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, KODEKI dapat disebut sebagai landasan utama terhadap profesi dokter. Ini disebabkan apa yang akan dilakukan dokter dalam menjalankan tugas profesinya ditentukan berdasarkan kode tersebut.

Hak, Kewajiban, dan Imbalan Jasa Dokter
Sudah pasti secara universal seluruh manusia memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Tak terkecuali profesi dokter. Adapun kewajiban dokter tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Sebagaimana dikatakan sebelumnya, kewajiban dokter terdiri atas kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, teman sejawat, dan juga dirinya sendiri.
            Secara garis besar, kewajiban dokter yang tercantum dalam KODEKI, di antaranya setiap dokter haruslah menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter (pasal 1); dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemanadirian profesi (pasal 3); seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya (pasal 7b);  seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak-hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien (pasal 7b); dan setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi makhluk insane (pasal 8).
            Selain itu, dalam KODEKI juga dijelaskan bahwa seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu serta keterampilannya untuk kepentingan pasien; ia juga wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien; wajib melakukan pertolongan darurat; serta setiap dokter harus memelihara kesehatannya dan mengikuti perkembangan iptek kedokteran/ kesehatan.
            Segala bentuk kewajiban dokter yang dijelaskan tersebut menjadi tanggung jawab pribadi seorang dokter terhadap profesinya. Meski begitu, tak dimungkiri bahwa seorang dokter pun memiliki hak yang mesti dihormati dan dipahami masyarakat. Adapun hak-hak dokter, di antaranya melakukan praktik dokter setelah mendapat surat izin dokter (SID) dan surat izin praktik (SIP), bekerja sesuai standar profesi, mendapatkan ketenteraman bekerja, menerima imbalan jasa, mengeluarkan surat-surat keterangan dokter, dan menjadi anggota perhimpunan profesi.
            Di samping itu, tak dapat dihindari bahwa setiap profesi tentu akan menerima imbalan berupa penghasilan (materi) dari pekerjaan yang dilakukannya. Imbalan ini merupakan hak semua pelaku profesi. Oleh sebab itu, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa salah satu hak dokter adalah mendapatkan imbalan jasa atas profesi yang digelutinya.
             Imbalan jasa dokter secara garis besar berpedoman pada kemampuan pasien atau keluarga—disesuaikan dengan mata pencaharian mereka, sifat pertolongan yang diberikan—terkait pelayanan kedokteran spesialistik, dan waktu pelayanan kedokteran, seperti jika hari libur atau malam hari, pelayanan imbalan jasa ditambah[3].
            Meski demikian, perlu diingat bahwa imbalan jasa dokter ini perlu disesuaikan dengan tindakan atau profesi yang dijalankan sang dokter. Dengan kata lain, antara kualitas (pelayanan terhadap pasien) dan kuantitas (“harga” profesi jasa dokter) haruslah seimbang. Janganlah kualitas kurang baik, tetapi kuantitas tinggi atau mungkin sebaliknya. Walaupun begitu, penentuan seberapa besar dan seperti apa imbalan jasa ini tentu tak terlepas dari hak dan kewajiban dokter, terutama dalam menangani pasiennya.

Dokter dan penyebarannya di wilayah Indonesia
Tak sedikit terdengar kabar bahwa di beberapa wilayah Indonesia, khususnya daerah pedalaman, mengalami kekurangan tenaga medis seperti dokter. Bahkan, ditemukan pula puskesmas yang tidak memiliki dokter.
Bambang Sardjono, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, mengatakan sebanyak 25 persen dari 9.323 puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter[4]. Dengan kata lain, sekitar 2.330 puskesmas tidak memiliki dokter. Ini terjadi terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, serta pulau-pulau kecil terdepan dan terluar. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak daerah di wilayah Indonesia mengalami keterbatasan tenaga medis (dokter).
Situasi tersebut, misalnya terjadi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Pada provinsi ini diketahui daerah perbatasan dan pedalaman mengalami kekurangan tenaga medis, khususnya dokter. Hal ini dilihat dari jumlah dokter yang tersebar di Kaltim, yakni sekitar 960-an, tak sebanding dengan jumlah penduduk keseluruhan Kaltim, yaitu sekitar 3,5 jutaan. Padahal, jika dikalkulasikan, provinsi ini membutuhkan tenaga dokter setidaknya 1.420 orang.
Memang ada beberapa faktor yang memengaruhi kurangnya dokter, terutama pada daerah pedalaman. Faktor tersebut seperti rendahnya gaji dokter, keterlambatan penggajian dokter, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, ketiadaan jaminan masa depan, bahkan juga disebabkan faktor keamanan, yakni daerah pedalaman tersebut terlibat konflik.
Sebagaimana diungkapkan Kepala Dinas Kutai Kertanegara, Koentijo Wibdarminto, seperti dituliskan dalam Media Informasi Online Kabupaten Kutai Kartanegara pada 14 Juni 2013, bahwa tidak adanya dokter yang mau bertugas di pedalaman disebabkan rendahnya gaji dokter, yakni hanya sekitar Rp2,5 juta dengan fasilitas kesehatan yang kurang memadai.
Lain daripada itu, ternyata penyebaran dokter di wilayah Indonesia lainnya dapat dikatakan tidak merata. Bayangkan saja, masih cukup banyak daerah di beberapa provinsi, seperti provindi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, bahkan wilayah bagian timur Indonesia, minim akan tenaga dokter. Katakanlah di Kepulauan Maluku dan Provinsi Papua yang masing-masing hanya memiliki 1,78 dan 2,05 persen jumlah SDM kesehatan, termasuk dokter, dari jumlah penduduk di sana.
            Selain itu, berdasarkan data  yang diperoleh daRi bank data kesehatan bahwa jumlah dokter umum, spesialis, dan gigi pada 2013 masing-masing, yakni 42.398 dokter, 38.895, dan 13.114 dokter. Ini sungguh berbeda jauh dengan jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan pada tahun ini mencapai 250 juta. Ini cukup menunjukkan keironisan dalam persebaran tenaga dokter di seluruh wilayah Indonesia. Jika memang seperti itu kondisinya, bagaimana kesehatan masyarakat Indonesia bisa terjamin seutuhnya dengan kurangnya tenaga medis tersebut? Oleh karenanya masalah ini bukannya hal sepele yang tak dipedulikan, melainkan sesuatu yang cukup krusial demi membangun warga bangsa ini menjadi warga yang sehat dan sejahtera.

Dilema: keuntungan materi dan pengabdian
Tak dimungkiri bahwa terkadang dokter dihadapkan pada dilema. Ia pun terjerat dalam dua pilihan, “mengabdi demi masyarakat” atau “mengabdi demi uang”. Dalam menentukan kedua pilihan tersebut, pastilah seorang dokter berharap memilih yang terbaik. Namun, ada kalanya mereka pun tak terlepas dari kegalauan antara dua pilihan itu. Ini disebabkan tentuanya pilihan tersebut memiliki alasan dan faktor yang memengaruhinya masing-masing.
            Memang tak bisa dihindari, pada era modern ini, setidaknya kehidupan condong dalam hal materialisme. Inilah yang menjadi salah satu faktor ketika seorang dokter “diutus” untuk berdinas di wilayah, khususnya pedalaman Indonesia, berpikir lebih matang, yakni menerima atau menolak.
            Jika ditilik dari dua sisi, sungguh tak bisa dihindari bahwa di satu sisi sudah menjadi kewajiban dokter untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat, sebagaimana “sumpah dokter” yang diucapkannya serta aturan dalam KODEKI. Namun, di sisi lain, dokter—yang juga dengan yang lainnya, makhluk konsumer—tentu menginginkan kesukesan secara materi, yang direpresentasikan dengan memiliki rumah, mobil mewah, dan fasilitas hidup terjamin. Terlebih, jika kita lihat biaya pendidikan dokter kini kian mahal. Oleh sebab itu, bisa jadi muncullah pemikiran bahwa saat menjalani profesi dokter adalah “segera mencari uang balik modal” dengan mengesampingkan pengabdian terhadap wilayah atau daerah pedalaman.
            Meski demikian, tak semestinya pemikiran untuk mencari uang agar “balik modal” menjadi salah satu hal yang diutamakan seorang dokter. Mengapa? Ini karena profesi seorang dokter terikat dengan kode etik. Sebagaimana dalam kode etik pun dijelaskan bahwa “setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter” dan “setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien.”
            Pada isi kode etik tersebut, terdapat kata “ikhlas”, yang semestinya menjadi kunci utama bagi dokter dalam menjalani profesinya., yakni melayani masyarakat, mengobatinya, tanpa berharap banyak mendapatkan balasan jasa berupa materi berlimpah. Sebab, pada dasarnya ketika seseorang memutuskan menjadi seorang dokter, mestinya dia sudah siap untuk mengabdikan dirinya dalam melayani kesehatan masyarakat. Ini tentu kembali pada hakikat profesi kedokteran—sebagaimana telah dibahas sebelumnya—mengabdikan diri berlandaskan moralitas dengan prinsip keikhlasan sebagai salah satunya sehingga dokter bukanlah seorang yang egois karena mengutamakan kepentingan orang lain (kesehatan pasiennya). 
            Selain itu, jikalau dokter memahami makna dari sumpah dokter yang dilafalkannya, dia sadar untuk menepati janjinya sebagai seorang dokter, yakni menjalankan tugasnya dengan cara terhormat, mengutamakan kepentingan masyarakat; kesehatan pasien, serta berikhtiar sungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban menjadi seorang dokter. Dengan kata lain, berdasarkan sumpah dokter, menjadi seorang dokter bukanlah untuk mendapat atau mengejar materi sebanyaknya (dalam hal ini finasial), tapi yang terpenting adalah pengabdiannya.
            Di samping itu semua, menjalani profesi dokter tak terlepas dari efikasi diri yang dimiliki. Mengapa efikasi diri? Sebab melalui efikasi diri inilah dapat memengaruhi seseorang dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun pengertian efikasi diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Apabila dikaitkan dengan profesi seorang dokter, tentu ini tak terlepas dari kompetensi yang dimiliki dirinya.
            Dengan adanya penyadaran akan kompetensi ini, sang dokter pun berhak untuk melakukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Ialah tak dimungkiri menjadi haknya untuk menangani dan mengambil keputusan terhadap pasien yang ditanganinya serta mendapat imbalan jasa yang memang sepatutnya dia peroleh meski tak harus dalam jumlah besar.

Simpulan
Berdasarkan penjelasan terkait akan dilema profesi kedokteran, terdapat beberapa simpulan. Pertama, menjadi seorang dokter tidak hanya dituntut untuk pintar dari segi IQ, tetapi juga dari segi EQ dan SQ. Diharapkan pula ketiga hal ini dapat dimiliki dalam diri dokter secara seimbang.
            Kedua, jika dilihat dari hakikat profesinya, ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang dokter, berarti dia sudah siap untuk mengabdikan dirinya dalam melayani kesehatan masyarakat. Walaupun begitu, tak dimungkiri di samping pengabdian tersebut tentulah sang dokter menginginkan—secara materi—hidup yang sukses dan terjamin masa depannya.
            Ketiga, menjadi seorang dokter bukanlah “perkara” mudah. Karena profesi ini terikat dengan kode etik kedokteran atau dikenal KODEKI dan juga sumpah yang dilafalkannya saat dilantik menjadi seorang dokter.
            Keempat, sesuai dengan etika yang dipelajari selama menempuh pendidikan kedokteran, kode etik yang dipahami, serta sumpah dokter yang dilafalkan, diketahui bahwa seorang dokter memiliki hak, kewajiban, serta imbalan jasa. Namun, itu semua tak terlepas dari satu hal terpenting dalam komitmennya menjadi dokter, yakni “pengabdian”. Menginginkan sekaligus mengejar penghasilan besar sebagai “buah keuntungan” memang tak salah bagi dokter, ini wajar. Namun, satu kunci yang harus ditanam dan akan selalu terlekat, yakni “pengabdian”, utamanya terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, diharapkan para dokter tidak sungkan untuk berdinas di daerah atau wilayah pedalaman di Indonesia meskipun ada risiko yang mesti dihadapi. Ini semua demi mencapai pola pelayanan kesehatan seluruh warga masyarakat, terutama wilayah pedalaman, agar terjamin.

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta:  Balai Pustaka.
Amir, Amri dan Hanafiah, M. Jusuf. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4. Jakarta:  Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Basbeth, Ferryal dan Sachowardi, Qomariyah. 2012. Bioetik: Isu & Dilema. Jakarta: Pensil-324.
Ghufron, M. Nur, dan Risnawati S., Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
http://www.bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/ (diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.44).
http://www.bps.go.id/download_file/IP_September_2013.pdf (diunduh pada Rabu, 11 Desember 2013 pukul 20.36).
http://news.kutaikartanegarakab.go.id/?p=1678 (diunduh pada Sabtu, 7 Desember 2013, pukul 18.33).








[1] M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. EtikaKedokteran dan Hukum Kesehatan. hlm.3.
[2] Ibid.
[3] M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. EtikaKedokteran dan Hukum Kesehatan. hlm.59.
[4] “Mengabdi sebagai Kehormatan” http://www.desentralisasi-kesehatan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=724:27-