Wednesday, July 31, 2013

Saujana Mimpi (Kita)


Saujana Mimpi (Kita)
Minggu pagi, pukul 10.00, aku menantinya di taman kota. Di sudut taman ini terdapat bangku kayu yang hanya cukup diduduki dua orang. Ya, inilah tempat favoritku bersama sahabatku. Sejak kecil, kami selalu berbagi cerita di sini. Entah itu kebahagiaan atau kesedihan. Bisa dikatakan yang paling banyak bercerita adalah dia, sedangkan aku hanya mampu mendengar ceritanya, keluh kesahnya meski terkadang tak kumengerti apa yang dikatakannya.
Tak terasa 15 tahun sudah kami bersahabat. Persahabatan kami terbilang manis. Kami juga tak pernah sekali pun bertengkar. Aku tahu persahabatan yang kami jalin ini tulus bahkan begitu tulus. Dia menerimaku apa adanya sebagai sahabat, begitu pula aku. Meski kami berdua memiliki kekurangan, kami mampu melengkapi kekurangan itu.
 Jujur saja, jika berada di dekatnya aku merasa sangat nyaman. Apalagi melihat senyumnya merekah yang dipermanis dengan lesung pipit di pipi kanannya. Tak hanya itu, aku juga senang melihat bola matanya yang indah, alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik, serta rambut ikalnya yang panjang dan selalu dikuncir ekor kuda. Ingin rasanya, ketika kami bertemu, saat dia bercerita tentang kesehariannya, aku memandang wajahnya yang polos dengan lama. Namun, apa daya aku sama sekali tak bisa. Aku selalu berusaha mengalihkan pandanganku darinya. Bukan tidak peduli, melainkan untuk menyembunyikan betapa bahagianya diriku jika berada di dekatnya.
Sejenak aku melamun sambil memandangi dua orang anak di depanku kira-kira berusia enam tahun sedang berkejaran menendang bola seukuran kelapa. Kebetulan anak perempuan berlari di depan anak laki-laki. Mungkin, karena kurang keseimbangan dia terjatuh kemudian menangis. Sahabatnya pun mendekatinya, membantunya untuk berdiri, lalu mengusap air matanya. Tampak olehku, dari bibir si anak laki-laki berkata, “Jangan menangis lagi, ya,” dan sahabatnya yang terjatuh tadi mengangguk. Aku pun tersenyum melihat mereka. Sejenak teringat masa lalu.
***
Suatu hari aku pulang sekolah bersamanya. Saat di perjalanan, dia berkata kepadaku, “Hari ini aku tidak mau pulang.” Aku pun menghentikan langkahku. Lalu dia berkata lagi, “Aku tahu pasti kamu ingin tanya mengapa aku tidak mau pulang, ya kan?” Aku hanya mengangguk mendengarnya. “Kita duduk di bangku taman itu, yuk!” ajaknya. Kami pun menuju bangku itu kemudian duduk.
“Aku takut sama Ayah,” ungkapnya. “Kamu tahu kan, hampir setiap hari aku cerita tentang Ayah.” Aku hanya bisa berkata dalam hati, ya hari-harimu tak pernah lepas menceritakan ayahmu. Lalu sekarang ada apa lagi sahabatku?
“Nilai ujianku, kamu pasti tahu kan hasilnya?” tanyanya kepadaku. Ya, aku tahu hasilnya. Memang sangat jauh dari nilai baik. Bahkan, terkadang guru pun menyerah akan nilai-nilaimu.
“Kalau Ayah tahu aku dapat nilai ini, pasti dia akan memakiku. Dia pasti akan mengatakan bahwa aku ini anak bodoh. Sangat bodoh,” katanya. Aku hanya bisa mendengarnya saksama, mengandalkan alat bantu dengar yang kupasangkan di telinga kiri. Aku hanya mampu berinteraksi dengannya dari dalam hati. Sebab, jika aku bicara, belum tentu dia akan memahami apa yang kuucapkan.
“Aku tahu, aku berbeda dengan abangku. Dia selalu menjadi juara kelas, prestasinya gemilang sehingga Ayah sangat membanggakannya. Sedangkan aku …” kisahnya sambil terisak.
“Aku selalu dicap sebagai anak bodoh,” imbuhnya. Tidak, kamu tidak bodoh. Aku tahu itu.
Aku hanya bisa memegang tangannya lalu berkata kepadanya meski tidak terlalu jelas, “Jangaang mangis (jangan menangis)”. Mendengar itu, kulihat dia tersenyum seraya berkata, “Terima kasih. Kamu sahabatku yang baik.”
***
Saat melamun, mengingat kisah 13 tahun lalu, aku tidak menyadari bahwa dia sudah di sampingku.
“Hei, kamu melamun, ya?” sapanya membuatku tersentak. Dengan segera aku menggeleng.
“Kamu tahu gak hari ini aku mau cerita tentang apa,” katanya. Namun, karena aku tak memakai alat dengar, aku tidak mendengar secara jelas apa yang dia katakan. Kedua alisku naik. Mungkin, raut wajahku dipahami olehnya. “Kamu gak dengar?” katanya menggunakan bahasa isyarat. Ya, memang dia bisa menggunakan bahasa isyarat karena sesekali aku mengajarkannya. Sebenarnya, dia yang minta diajarkan.
Dia melihat telingaku, lalu menggangguk-anggukkan kepala sambil bibirnya membentuk huruf O. Dia tahu aku tidak menggunakan alat bantu dengar. “Mengapa tidak dipakai?” katanya dengan bahasa isyarat. Aku hanya menggelengkan kepala. Namun, sepertinya dia mengetahui apa yang akan kuungkapkan. “Kamu merasa tidak nyaman, ya?” tanyanya lagi. Aku hanya bisa terdiam. Sejenak keheningan terjadi di antara kami.
Aku mulai membuka pembicaraan. “Ada apa?” tanyaku dengan suara mengambang.
Dia mengambil notes dari ranselnya. Notes berukuran 15x20 cm dengan gambar pohon kelapa yang berada di pinggir notes itu adalah hadiah dariku saat dia berulang tahun yang ke-23. Lalu, dia menulis hal yang akan diceritakannya kepadaku hari ini.
Hari ini aku ingin dercerita mimpi. Ya, mimpi yong sedenarnya ban menurutku banya kamu yong disa kujak derbagi mimpiku. (Hari ini aku ingin bercerita tentang mimpi. Ya, mimpi yang sebenarnya dan menurutku hanya kamu yang bisa kuajak berbagi akan mimpiku).
Aku membacanya kemudian menulis balasan di notes-nya. Mimpi? Memangnya ada berapa mimpi yang kau miliki?
Setelah notes itu diberikan kepadanya, dia menulis lagi. Mimpiku danyak, api hanya tiga mimpi yong ingin aku ceritaken padamu. (Mimpiku banyak, tapi hanya tiga mimpi yang ingin aku ceritakan kepadamu).
Sahabatku yang satu ini memang berbeda. Tanpa bimbingan khusus dari guru di sekolah, apalagi bimbingan ayah dan ibunya untuk mengajarkannya membaca dan menulis, membuatnya lambat dalam memahami huruf, menyusun dan membaca kata. Tak banyak yang tahu bahwa sahabatku ini adalah salah satu penderita disleksia. Hanya dua orang, yakni aku dan abangnya yang mungkin dapat dikatakan memahami apa yang dideritanya. Jika ada waktu, abangnya mengajarkannya membaca. Begitu pula juga aku. Meski sudah belasan tahun berlatih dan belajar, nyatanya dia masih kurang maksimal dalam menulis kata. Aku pun mafhum dengannya sebagaimana dia juga mafhum kepadaku, terutama kondisiku.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, aku bertanya kepadanya, “Apa mimpi itu?”
Beberapa detik dia terdiam, lalu mulai memandangku, kemudian menarik napas dan tersenyum. “Pertama. Mimpiku yang pertama,” katanya sambil mengacungkan telunjuk tangan kanannya di hadapanku. Aku hanya memperhatikan pelafalan setiap kata dari bibirnya. “Aku ingin keliling dunia, Benar-benar keliling dunia.” Aku cukup terperangah mendengarnya. “Hihihi… kamu kaget, ya dengan mimpiku? Mimpiku terlalu muluk, ya?” tanyanya dengan mengekspresikan wajah polos. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Kamu tahu aku akan keliling dunia bersama siapa?” tanyanya lagi. Aku pun hanya menggeleng. “Tentu saja sama sahabatku, yaitu kamu,” katanya malu-malu sambil menunjuk diriku. Sungguh aku tak percaya. Bukan karena mimpi itu tak mungkin terwujud, melainkan kata terakhirnya, “kamu” yang tak lain adalah aku. Mengapa harus bersamaku? Mengapa?
“Itu mimpiku yang pertama. Yang kedua, aku ingin selalu menjalani hari-hariku bersama kamu. Kita melanjutkan sekolah sama-sama, keliling dunia sama-sama,” ungkapnya. Dalam hati aku bertanya, Benarkah yang kau nyatakan itu? Seriuskah?
“Tapi, apa bisa ya?” Aku menepuk pundak kirinya seraya berkata, “Pasti bisa.” Lalu, dia bertanya lagi, “Kamu yakin?” Aku hanya mengangguk.
Kemudian, dia menulis lagi di notes dan memberikannya kepadaku untuk membacanya.
Kamu ban aku derbeba. Nilai IQ saja subah jolas mengamdarkan dahwa kamu sanggat cerdas, 130. Kalau aku, selalu <90. (Kamu dan aku berbeda. Nilai IQ saja sudah jelas menggambarkan bahwa kamu sangat cerdas, 130. Kalau aku, selalu <90).
Setelah membacanya, aku hanya bisa menarik napas. Lalu aku pun menulis beberapa kalimat di notes itu.
Menurutku, aku dan kamu tidak berbeda. Justru kita saling melengkapi, saling memahami. Jika kamu yakin aku sahabat terbaikmu, kamu juga harus yakin bahwa kita bisa memwujudkan mimpi itu. Sekarang coba lihat langit biru di atas sana.
Sesudah menulisnya, aku memberikan notes itu kepadanya. Dia membacanya. Setelah itu, dia memandangku dan mengarahkan telunjuknya ke langit. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Apakah mimpiku terlalu tinggi?” tanyamu.
 Sambil menggeleng dan menggenggam erat tangan kanannya aku berkata, “Mimpimu kan tujud (Mimpimu akan terwujud).” Aku melihat binar matanya yang indah menyiratkan terima kasih serta harapan dan keyakinan terhadap diriku.
“Mimpimu satu laagii aapaa?” tanyaku.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, dia memberitahu mimpinya lagi. “Aku ingin dipeluk Ayah,” kurang lebih itulah yang dia katakan terhadap mimpi terakhirnya. Lalu, masih dengan berbahasa isyarat, dia mengungkapkan, “Aku ingin disayang Ayah.”
Butiran air mata menetes di pipinya. Sungguh, aku tak sanggup jika harus melihat dia menangis. Sahabatku itu akhirnya menundukkan kepala, kedua tangannya menangkupkan wajahnya. Aku hanya bisa mengusap rambutnya. Ingin rasanya kupeluk dia seerat mungkin untuk menenangkan dia dari tangisnya, kesedihannya. Namun, aku begitu lemah untuk melakukan itu. Aku hanya bisa mengusap rambut ikalnya serta mengusap air mata di pipinya.
“Naanti, Ayahh mu paasti memelukmu,” kataku membujuknya. Mendengar itu, dia mengusap air matanya, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih kepadaku.
Seusai menangis, sahabatku menatap langit biru nan indah dan cerah. “Mimpi kita terlukis di sana,” katanya.
“Iya,” balasku.
“Kita pasti bisa ke sana. Ke langit itu, meraih mimpi,” ungkapnya dengan nada sedikit bersemangat.
“Iya,” kataku mengangguk.
“Hei, ada layang-layang. Layang-layang itu lepas. Kita kejar, yuk!” katanya sambil menarik tanganku dan mengejar layang-layang berbentuk bintang itu. Sebenarnya, aku tak ingin mengejar layang-layang tersebut. Namun, tersirat sahabatku ini memintaku untuk menemaninya mengejar layang-layang itu. “Ayo, kita kejar! Jika aku atau kamu berhasil mendapatkannya, mimpiku akan terwujud!” ucapnya sambil berlari dan terus berlari mengejar layang-layang itu tanpa memedulikan ke mana arah jalannya.
Saat mengetahui bahwa layang-layang itu akan terjatuh tak jauh dari tempat kami berhenti sejenak melepas lelah karena berlari, dia masih mengejarnya. Namun, napasku yang masih terengah-engah hanya bisa berlari-lari kecil mengikuti sahabatku itu. Tak berapa lama, dia berteriak kepadaku. “Layangannya, sudah kudapatkan!” katanya saat berada di seberangku. Semringah melihat wajahnya yang begitu senang mendapatkan layangan itu mampu menenteramkan hatiku.
Namun, tetiba seolah tombak menembus jantungku. Karena kesenangannya itu, dia tak menyadari bahwa ada kendaraan beroda empat melintas begitu cepat. Tubuhnya pun seolah seperti kapas, terbang ringan-bebas. Aku yang melihatnya dari seberang, hanya mampu berkata dalam hati, “Jangan pergi, Saujana!”
***
Peristiwa itu kembali menghantuiku. Aku tersentak dan mendapati tubuhku penuh keringat. Napasku terengah-engah. Segera kuambil segelas air putih yang tersedia di meja samping tempat tidurku. Setelah meminum habis air itu, aku menghela napas. Mencoba menenangkan diriku.
Setelah itu, aku mengambil bingkai foto ukuran 3R di meja itu. Aku memandangi foto yang tak lain adalah dirinya. Lima tahun berlalu, namun rasa rinduku kepadanya takkan hilang. Tak akan pernah padam.
Salah satu mimpinya, yakni ingin dipeluk Ayah sudah terwujud. Sekarang aku akan mewujudkan mimpinya yang lain. Aku akan keliling dunia bersama bayangannya di hatiku.
***



Arti Sebuah Kegagalan

Siapa sih yang belum pernah merasakan kegagalan? Pasti hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakannya. Gak percaya? Coba deh ditanya satu per satu (ups, manusia di Bumi kan banyak banget, bermiliar-miliar).

Seseorang yang pernah mengalami kegagalan pasti sedih. Entah merasakan kesedihan mendalam atau kesedihan sementara saja. Nah, cukup banyak aneka ragam "kegagalan" lho! Ada kegagalan cinta, prestasi, karier, rumah tangga, ambisi, dan juga kompetisi. Ya, namanya juga hidup, banyak hal yang dialami sekaligus mau tak mau, suka tak suka harus dijalani.

Ada pepatah, "Kegagalan adalah kunci sebuah keberhasilan". Jujur, saya percaya makna pepatah tersebut. Saya cukup yakin, awal menuju puncak keberhasilan adalah mengalami beberapa kegagalan. So, bisa jadi "kegagalan" ini merupakan ujian yang harus kita lalui sekaligus membuat kita belajar. Mengapa belajar? Yup, karena dari kegagalan kita dapat belajar memperbaiki suatu hal dan juga diri masing-masing menjadi lebih baik. Dari kegagalan kita juga belajar untuk mengambil hikmahnya. Pun dari kegagalan kita belajar untuk lebih bijak dan bersabar terhadap apa yang telah terjadi, kita alami (ya, meski berat juga sih).

Terkait kegagalan, cukup sering saya alami selama ini. Meski begitu, saya berusaha memegang quote, "Life: Let it Flow". Merasa sedih? Ya, tentu saja. Tidak menerima bahwa saya telah gagal, itu pun pernah saya rasakan. Namun, saya sadar, semuanya memang harus dikembalikan kepada Allah SWT. Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita dan Dia juga yang Mengetahui kapan saat yang tepat untuk memberikan apa yang kita inginkan dan juga dibutuhkan. Ini disebabkan apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan. Nah, di samping itu, saya percaya bahwa "rencana Allah selalu indah". Jika saat ini kita gagal, mungkin Allah menguji kita agar selalu bersabar. Bukankah sudah dipastikan bahwa Allah bersama orang-orang yang bersabar? Pun, jika kita gagal, itu bisa jadi Dia ingin melihat kesungguhan usaha kita dan ingin agar kita berikhtiar, bertawakal, dan selalu ingat kepada-Nya. Bukankah Allah suka kepada orang yang bertawakal kepada-Nya?

Berikut ini merupakan beberapa "kegagalan" yang pernah saya alami (ini sekadar sharing, lho!). Pertama, waktu awal saya masuk SMA. Sebelum resmi menjadi siswa kelas X, saya benar-benar merasa sedih banget! Rasanya seperti mau nangis seharian. Mengapa tidak? Salah satu SMA tujuan saya ternyata menolak saya alias saya tidak diterima di sekolah itu karena nilai tes saya tidak mencukupi. Maka jadilah saya bersekolah di salah satu sekolah swasta Islam. Namun, setelah beberapa lama saya sadari bahwa ini sudah takdir dari Allah. Allah Mengetahui apa yang saya butuhkan.Salah satunya adalah ajaran-ajaran agama yang diterapkan di sekolah saya itu. Alhamdulillah, ternyata para pengajar di sana banyak yang memotivasi para siswanya untuk belajar sungguh-sungguh (meskipun saya tipikal siswa yang santai dalam belajar, heheheh). Mereka pula yang banyak memberikan "wejangan" dan nasihat, seperti "biaya sekolah itu mahal" dan "jangan kecewakan orangtua kalian" serta "Kalian harus punya cita-cita dan jangan lupa berdoa." Lama-kelamaan, berawal dari kekurangnyamanan, tidak sampai satu semester saya menikmati suasana di SMA saya itu. Bahkan, meski ada beberapa teman saya menawari agar saya pindah ke sekolahnya (di tahun ajaran berikutnya), saya putuskan untuk tetap bersekolah di sini.

Alhamdulillah, saya bersyukur sekali karena memang benar adanya bahwa "rencana Allah selalu indah". Meski waktu SMA saya di swasta (karena gagal masuk SMA negeri), saya diterima di salah satu PTN. Inilah skenario sekaligus nikmat Allah yang diberikan kepada saya. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan"

Kedua, sebelum saya bekerja di salah satu media massa harian nasional sebagai seorang editor, saya beberapa kali mengajukan lamaran ke beberapa media massa, seperti Kompas, Tempo, Media Indonesia, bahkan Trans TV dan Trans 7.  Di Kompas saya mendapat panggilan tes, namun saya sudah bekerja di kantor saya sekarang ini sehingga saya tidak mengikuti tes tersebut. Lalu, di Tempo saya gagal di tahap tiga atau empat gitu (maklum, saya lupa soalnya dua tahun lalu, sih), di Media Indonesia saya tidak mendapat panggilan, begitu juga dengan Trans TV dan Trans 7. Awalnya sempat hopeless, pesimistis gitu. Namun, saya sadar, saya harus optimistis. Bukankah rezeki--dalam hal ini pekerjaan--sudah diatur Allah, tinggal bagaimana usaha kita saja. Sampai akhirnya, setelah melewati beberapa tahap, saya diterima di harian nasional ini. Alhamdulillahirabbil alaamiin... :)

Ketiga, sejak awal tahun 2013 sampai Juli ini saya telah mengikuti beberapa perlombaan, kira-kira sekitar tuju perlombaan, seperti lomba menulis esai, cerpen, bahkan novel. Berawal dari iseng, tapi cukup membuat saya penasaran meski sebenarnya hasil karya saya tersebut masih diperlukan banyak perbaikan. Maklum, penulis pemula, masih perlu banyak belajar. Namun, dari semua perlombaan tersebut, tidak ada yang saya menangkan. Sekalipun hanya satu yang masuk 75 besar dan itu adalah lomba esai. Mungkin, memang usaha saya yang belum maksimal, terikat deadline, dan kurang fokus. Ya, dengan ini berarti saya mesti belajar, memperbaiki segalanya. Kecewa dan sedih, tentu saja. Bayangkan, tiga cerpen saya gagal masuk finalis, pun demikian dengan dua novel (mungkin masih banyak, banyak banget kekurangannya) yang saya lombakan. Meski begitu, saya harus "bangkit", tidak lama merasa "terpuruk" akan kegagalan, memang kudu optimistis dan tidak pernah berhenti mencoba (meski terkadang ingin mencoba, godaan kesangsian menyelimuti :) ).

Saya pun teringat akan perkataan ibu saya, "Mungkin belum sekarang, tapi bisa jadi suatu hari nanti akan berhasil." Aamiin, insya Allah semoga saja. Itu adalah doa seorang ibu. Selain itu, ibu saya selalu mengingatkan, "Jangan sedih, jangan patah semangat. Terus berusaha menjadi lebih baik lagi." Ya, semoga saja suatu hari nanti segala bentuk kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami membuahkan hasil terbaik yang tak terkira. Aamiin... Aamiin ya Rabbalalaamiin... ^_^

Tuesday, July 30, 2013

Deskripsi Cinta

Berbicara tentang CINTA? Mmh... pasti tak pernah habisnya. Tema simpel, tapi penafsirannya banyak. Nah, berhubung ada waktu senggang nih, saya ingin mencurahkan, menggambarkar, serta merangkumkan sudut pandang mengenai CINTA itu. Oops... Ini bukan sekadar dari sudut pandang saya lho, tapi juga sudut pandang orang-orang di sekitar saya. Pun, tak menutup kemungkinan ada singgungan sedikit dari novel romantis yang saya baca atau lagu-lagu percintaan yang saya dengar. So, check this out!!

CINTA itu apa sih? Eng-ing-eng jreng-jreng.... Ada yang tahu makna dari cinta? CINTA itu C I N T A (ups seperti lagu ya, "Bertahan satu ciiin....ta, bertahan satu Ce I eN Te A hahahah) Oke, sebelum kita beralih melalui sudut pandang tentang cinta, yuks kita lihat maknanya berdasarkan KBBI (lagi-lagi berpacu pada kamus hihihi...)

Berdasarkan KBBI Edisi Keempat, cinta maknanya cukup banyak lho! Ada empat, yakni 1. suka sekali, sayang benar; 2. kasih sekali, terpikat; 3. ingin sekali, berharap sekali, rindu; 4. susah hati (khawatir), risau. Nah, simpelnya kalau sudah merasakan keempat hal tersebut, sudah pasti seseorang merasakan cinta. Tapi masalahnya, cinta itu seperti apa, ya?

Beberapa bulan lalu ada dua-tiga teman saya (maklum saya lupa) yang menanyakan "apa itu cinta" terhadap saya. Kebetulan pula yang bertanya itu cowok (kalau seandainya cewek pasti jawaban saya melankolis, menyinggung romantis, dan cukup sensitif). Karena itu, saya menjawab melalui sudut pandang saya "seenaknya" saja. Sebab, kalau jawabnya "feminin" banget pasti agak "gimana gitu".

So, saya pun menjawab, "LOVE IS MATHEMATICS". Nah lho, mengapa ini jawabannya? Saya pun menjelaskan kepada teman saya bahwa cinta itu membutuhkan perhitungan (ini tidak terkait dengan materialistis harta). Ya, perhitungan yang dimaksud adalah perhitungan apakah kita sudah siap mengambil risiko dalam cinta meski pada kenyataanya terkadang orang tidak memikirkan risiko ketika merasakan "fall in love". Perlu diingat lho, dalam cinta itu pasti ada perbedaan dan yang menyatukan perbedaan itu adalah dengan cinta.

//Love is mathematics//, simpelnya seperti kita mempelajari sala satu teori matematika, contohnya teori pythagoras (dalam trigonometri) yang mencakup sin, cos, tan. Masih ingat rumus sin, cos, tan? Kalau lupa, rumusnya gampang, lho! Sin: de mi (depan-miring sisi segitiga), cos: sa mi (samping-miring), dan tan (depan-samping). Ups, kok jadi bahas rumus? Tidak apa-apa, ini masih berkaitan kok!

Kalau kita memahami rumus sin, cos, tan itu, cukup besar kemungkinan kita akan memahami "kekuatan cinta". Mengapa? Karena dalam cinta, selain terdapat perbedaan, ada pula ujian yang cukup menggoyahkan, menggoncangkan.Dalam rumus phytagoras, bentuk segitiga yang dibahas adalah segitiga siku-siku dengan tiga sisi, depan, miring, samping. Nah, kalau kita analogikan, ketiga sisi itu merupakan "ujian" yang perlu dihadapi dalam cinta. #tsah

Love is mathematics. Cinta zaman sekarang tidak cukup cuma "makan" cinta, tapi juga menabung. Pun butuh perhitungan pula demi masa depan. Makanya, "menabung" menjadi kata yang tepat. Menabung apa? Uang kartal atau koin? Ups, maksud menabung di sini, tak lain adalah "menabung" kepercayaan, kesetiaan. Ini tuh merupakan tabungan cukup penting dalam memupuk cinta. *duile...

Oya, penjelasan di atas cuma perwakilan aja lho. So, sekarang lanjut ke ke lirik lagu.
Dalam lagu Maliq & D'Essentials ada lagu berjudul "Beri Cinta Waktu" (Lagu ini cukup sedih, pas banget kalau didengarkan oleh orang yang lagi galau cinta, bakal bercucuran deh tuh air mata hehehhe) dan KLa Project dalam album terbarunya ada "Cinta (Bukan) Hanya Kata" (lagu yang menunjukkan kesetiaan, menurut saya).

Jika ditilik, dalam lagu "Beri Cinta Waktu" ada kutipan "Bilakah kau tahu, ketika kau jauuh.... Menangis hatiku.." Namanya juga cinta, kalau jauh itu bikin ngangenin, bahkan bisa bikin nangis, sesak pula. Kalau ada yang merasakan seperti ini, sudah pasti terinveksi "virus" cinta. Tapi, ini universal, lho, tak sebatas hubungan dua insan--laki-laki dan perempuan--saja.

Lain halnya dengan lagu "Cinta (Bukan) Hanya Kata". Berikut kutipannya, "Seandainya dunia berhenti berputar, hati tetap kujaga, tiada pernah kuingkar. Bagiku semula cinta hanya kata, sampai kau datang jua dan memberinya makna." Dan, menurut hemat saya, orang yang memang benar-benar merasakan cinta dari lubuk hati yang terdalam, teramat tulus, dia pasti menyadari bahwa kehadiran orang yang dicintainya itu begitu bermakna, berarti sepanjang hidupnya. Lagi-lagi ini universal. Mengapa? Sebab, kita yang terlahir awalnya sebagai anak memiliki makna yang besar bagi orangtua, pun begitu pun sebaliknya (ini salah satu bentuk cinta dari sekian banyak bentuk cinta di dunia, All The Love in The World dong, #jiah kok jadi lagu The Corrs hahhahha)

Jadi, cukup sekian tentang sudut pandang cinta. Sebenarnya masih mau nulis lagi, sih, tapi mata, tangan, dan otak tak bisa diajak kompromi. Tangan lelah mengetik, mata mengantuk, dan otak berputar-putar dengan pemikiran di lain hal. hehehhe...

Monday, July 29, 2013

Antara Kita dan Cinta

"Kita tidak akan merasakan besarnya energi cinta sebelum kita benar-benar merasakan cinta yang tulus."
Itulah yang pernah kau katakan kepadaku jauh sebelum kau benar-benar menghilang tanpa jejak, tak terekam.

Dan, sampai sekarang pun aku tak terlalu memahami perkataanmu itu meski tak dimungkiri, kata-katamu itu terus terngiang di telingaku. Jujur, ini cukup MENGGANGGUKU.

Adapun energi cinta yang kau anggap sesuatu yang istimewa itu, hingga sekarang aku seperti mati rasa, tak mengetahui seperti apa besarnya energi cinta itu. Apakah aku harus menggunakan rumus energi kinetik agar aku mengetahui setiap perhitungan gerakanmu. Ataukah aku harus menghitung besarnya energi gravitasimu selama berpijak di bumi agar aku tahu seberapa lama kau masih berdiri tegak di hadapanku?

Awalnya, kupikir energi cinta yang kau maksud itu bak partikel-partikel atau bisa jadi atom-atom yang terkumpul menjadi satu sehingga membentuk sebuah senyawa yang sulit teruraikan. Tapi, apa mungkin?
Aah, gara-gara menafsirkan energi yang kau maksud itu cukup membuatku pening tak tertahankan. Sungguh, semakin lama kutafsirkan, semakin besar pula kebingunganku. Hingga akhirnya, kau katakan kepadaku, "Kau harus memahami benar-benar, secara utuh apa itu cinta."

Aih, nyatanya kau membuat pikiranku semakin mumet, semrawut. Sudahlah cukup, tak usah lagi bicara soal cinta. Itu rumit, sungguh sulit. Terkadang logika pun seakan tak bernalar. Bahkan, terakhir kalinya, sebelum kau jauh, kau berkata kepadaku, "Energi cinta itu jauh lebih hebat dari segala bentuk aksioma para pemikir tentang dunia ini, pun mampu mengalahkan logika yang bisa saja di luar kesadaran seorang insan."