Wednesday, July 31, 2013

Saujana Mimpi (Kita)


Saujana Mimpi (Kita)
Minggu pagi, pukul 10.00, aku menantinya di taman kota. Di sudut taman ini terdapat bangku kayu yang hanya cukup diduduki dua orang. Ya, inilah tempat favoritku bersama sahabatku. Sejak kecil, kami selalu berbagi cerita di sini. Entah itu kebahagiaan atau kesedihan. Bisa dikatakan yang paling banyak bercerita adalah dia, sedangkan aku hanya mampu mendengar ceritanya, keluh kesahnya meski terkadang tak kumengerti apa yang dikatakannya.
Tak terasa 15 tahun sudah kami bersahabat. Persahabatan kami terbilang manis. Kami juga tak pernah sekali pun bertengkar. Aku tahu persahabatan yang kami jalin ini tulus bahkan begitu tulus. Dia menerimaku apa adanya sebagai sahabat, begitu pula aku. Meski kami berdua memiliki kekurangan, kami mampu melengkapi kekurangan itu.
 Jujur saja, jika berada di dekatnya aku merasa sangat nyaman. Apalagi melihat senyumnya merekah yang dipermanis dengan lesung pipit di pipi kanannya. Tak hanya itu, aku juga senang melihat bola matanya yang indah, alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik, serta rambut ikalnya yang panjang dan selalu dikuncir ekor kuda. Ingin rasanya, ketika kami bertemu, saat dia bercerita tentang kesehariannya, aku memandang wajahnya yang polos dengan lama. Namun, apa daya aku sama sekali tak bisa. Aku selalu berusaha mengalihkan pandanganku darinya. Bukan tidak peduli, melainkan untuk menyembunyikan betapa bahagianya diriku jika berada di dekatnya.
Sejenak aku melamun sambil memandangi dua orang anak di depanku kira-kira berusia enam tahun sedang berkejaran menendang bola seukuran kelapa. Kebetulan anak perempuan berlari di depan anak laki-laki. Mungkin, karena kurang keseimbangan dia terjatuh kemudian menangis. Sahabatnya pun mendekatinya, membantunya untuk berdiri, lalu mengusap air matanya. Tampak olehku, dari bibir si anak laki-laki berkata, “Jangan menangis lagi, ya,” dan sahabatnya yang terjatuh tadi mengangguk. Aku pun tersenyum melihat mereka. Sejenak teringat masa lalu.
***
Suatu hari aku pulang sekolah bersamanya. Saat di perjalanan, dia berkata kepadaku, “Hari ini aku tidak mau pulang.” Aku pun menghentikan langkahku. Lalu dia berkata lagi, “Aku tahu pasti kamu ingin tanya mengapa aku tidak mau pulang, ya kan?” Aku hanya mengangguk mendengarnya. “Kita duduk di bangku taman itu, yuk!” ajaknya. Kami pun menuju bangku itu kemudian duduk.
“Aku takut sama Ayah,” ungkapnya. “Kamu tahu kan, hampir setiap hari aku cerita tentang Ayah.” Aku hanya bisa berkata dalam hati, ya hari-harimu tak pernah lepas menceritakan ayahmu. Lalu sekarang ada apa lagi sahabatku?
“Nilai ujianku, kamu pasti tahu kan hasilnya?” tanyanya kepadaku. Ya, aku tahu hasilnya. Memang sangat jauh dari nilai baik. Bahkan, terkadang guru pun menyerah akan nilai-nilaimu.
“Kalau Ayah tahu aku dapat nilai ini, pasti dia akan memakiku. Dia pasti akan mengatakan bahwa aku ini anak bodoh. Sangat bodoh,” katanya. Aku hanya bisa mendengarnya saksama, mengandalkan alat bantu dengar yang kupasangkan di telinga kiri. Aku hanya mampu berinteraksi dengannya dari dalam hati. Sebab, jika aku bicara, belum tentu dia akan memahami apa yang kuucapkan.
“Aku tahu, aku berbeda dengan abangku. Dia selalu menjadi juara kelas, prestasinya gemilang sehingga Ayah sangat membanggakannya. Sedangkan aku …” kisahnya sambil terisak.
“Aku selalu dicap sebagai anak bodoh,” imbuhnya. Tidak, kamu tidak bodoh. Aku tahu itu.
Aku hanya bisa memegang tangannya lalu berkata kepadanya meski tidak terlalu jelas, “Jangaang mangis (jangan menangis)”. Mendengar itu, kulihat dia tersenyum seraya berkata, “Terima kasih. Kamu sahabatku yang baik.”
***
Saat melamun, mengingat kisah 13 tahun lalu, aku tidak menyadari bahwa dia sudah di sampingku.
“Hei, kamu melamun, ya?” sapanya membuatku tersentak. Dengan segera aku menggeleng.
“Kamu tahu gak hari ini aku mau cerita tentang apa,” katanya. Namun, karena aku tak memakai alat dengar, aku tidak mendengar secara jelas apa yang dia katakan. Kedua alisku naik. Mungkin, raut wajahku dipahami olehnya. “Kamu gak dengar?” katanya menggunakan bahasa isyarat. Ya, memang dia bisa menggunakan bahasa isyarat karena sesekali aku mengajarkannya. Sebenarnya, dia yang minta diajarkan.
Dia melihat telingaku, lalu menggangguk-anggukkan kepala sambil bibirnya membentuk huruf O. Dia tahu aku tidak menggunakan alat bantu dengar. “Mengapa tidak dipakai?” katanya dengan bahasa isyarat. Aku hanya menggelengkan kepala. Namun, sepertinya dia mengetahui apa yang akan kuungkapkan. “Kamu merasa tidak nyaman, ya?” tanyanya lagi. Aku hanya bisa terdiam. Sejenak keheningan terjadi di antara kami.
Aku mulai membuka pembicaraan. “Ada apa?” tanyaku dengan suara mengambang.
Dia mengambil notes dari ranselnya. Notes berukuran 15x20 cm dengan gambar pohon kelapa yang berada di pinggir notes itu adalah hadiah dariku saat dia berulang tahun yang ke-23. Lalu, dia menulis hal yang akan diceritakannya kepadaku hari ini.
Hari ini aku ingin dercerita mimpi. Ya, mimpi yong sedenarnya ban menurutku banya kamu yong disa kujak derbagi mimpiku. (Hari ini aku ingin bercerita tentang mimpi. Ya, mimpi yang sebenarnya dan menurutku hanya kamu yang bisa kuajak berbagi akan mimpiku).
Aku membacanya kemudian menulis balasan di notes-nya. Mimpi? Memangnya ada berapa mimpi yang kau miliki?
Setelah notes itu diberikan kepadanya, dia menulis lagi. Mimpiku danyak, api hanya tiga mimpi yong ingin aku ceritaken padamu. (Mimpiku banyak, tapi hanya tiga mimpi yang ingin aku ceritakan kepadamu).
Sahabatku yang satu ini memang berbeda. Tanpa bimbingan khusus dari guru di sekolah, apalagi bimbingan ayah dan ibunya untuk mengajarkannya membaca dan menulis, membuatnya lambat dalam memahami huruf, menyusun dan membaca kata. Tak banyak yang tahu bahwa sahabatku ini adalah salah satu penderita disleksia. Hanya dua orang, yakni aku dan abangnya yang mungkin dapat dikatakan memahami apa yang dideritanya. Jika ada waktu, abangnya mengajarkannya membaca. Begitu pula juga aku. Meski sudah belasan tahun berlatih dan belajar, nyatanya dia masih kurang maksimal dalam menulis kata. Aku pun mafhum dengannya sebagaimana dia juga mafhum kepadaku, terutama kondisiku.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, aku bertanya kepadanya, “Apa mimpi itu?”
Beberapa detik dia terdiam, lalu mulai memandangku, kemudian menarik napas dan tersenyum. “Pertama. Mimpiku yang pertama,” katanya sambil mengacungkan telunjuk tangan kanannya di hadapanku. Aku hanya memperhatikan pelafalan setiap kata dari bibirnya. “Aku ingin keliling dunia, Benar-benar keliling dunia.” Aku cukup terperangah mendengarnya. “Hihihi… kamu kaget, ya dengan mimpiku? Mimpiku terlalu muluk, ya?” tanyanya dengan mengekspresikan wajah polos. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Kamu tahu aku akan keliling dunia bersama siapa?” tanyanya lagi. Aku pun hanya menggeleng. “Tentu saja sama sahabatku, yaitu kamu,” katanya malu-malu sambil menunjuk diriku. Sungguh aku tak percaya. Bukan karena mimpi itu tak mungkin terwujud, melainkan kata terakhirnya, “kamu” yang tak lain adalah aku. Mengapa harus bersamaku? Mengapa?
“Itu mimpiku yang pertama. Yang kedua, aku ingin selalu menjalani hari-hariku bersama kamu. Kita melanjutkan sekolah sama-sama, keliling dunia sama-sama,” ungkapnya. Dalam hati aku bertanya, Benarkah yang kau nyatakan itu? Seriuskah?
“Tapi, apa bisa ya?” Aku menepuk pundak kirinya seraya berkata, “Pasti bisa.” Lalu, dia bertanya lagi, “Kamu yakin?” Aku hanya mengangguk.
Kemudian, dia menulis lagi di notes dan memberikannya kepadaku untuk membacanya.
Kamu ban aku derbeba. Nilai IQ saja subah jolas mengamdarkan dahwa kamu sanggat cerdas, 130. Kalau aku, selalu <90. (Kamu dan aku berbeda. Nilai IQ saja sudah jelas menggambarkan bahwa kamu sangat cerdas, 130. Kalau aku, selalu <90).
Setelah membacanya, aku hanya bisa menarik napas. Lalu aku pun menulis beberapa kalimat di notes itu.
Menurutku, aku dan kamu tidak berbeda. Justru kita saling melengkapi, saling memahami. Jika kamu yakin aku sahabat terbaikmu, kamu juga harus yakin bahwa kita bisa memwujudkan mimpi itu. Sekarang coba lihat langit biru di atas sana.
Sesudah menulisnya, aku memberikan notes itu kepadanya. Dia membacanya. Setelah itu, dia memandangku dan mengarahkan telunjuknya ke langit. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Apakah mimpiku terlalu tinggi?” tanyamu.
 Sambil menggeleng dan menggenggam erat tangan kanannya aku berkata, “Mimpimu kan tujud (Mimpimu akan terwujud).” Aku melihat binar matanya yang indah menyiratkan terima kasih serta harapan dan keyakinan terhadap diriku.
“Mimpimu satu laagii aapaa?” tanyaku.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, dia memberitahu mimpinya lagi. “Aku ingin dipeluk Ayah,” kurang lebih itulah yang dia katakan terhadap mimpi terakhirnya. Lalu, masih dengan berbahasa isyarat, dia mengungkapkan, “Aku ingin disayang Ayah.”
Butiran air mata menetes di pipinya. Sungguh, aku tak sanggup jika harus melihat dia menangis. Sahabatku itu akhirnya menundukkan kepala, kedua tangannya menangkupkan wajahnya. Aku hanya bisa mengusap rambutnya. Ingin rasanya kupeluk dia seerat mungkin untuk menenangkan dia dari tangisnya, kesedihannya. Namun, aku begitu lemah untuk melakukan itu. Aku hanya bisa mengusap rambut ikalnya serta mengusap air mata di pipinya.
“Naanti, Ayahh mu paasti memelukmu,” kataku membujuknya. Mendengar itu, dia mengusap air matanya, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih kepadaku.
Seusai menangis, sahabatku menatap langit biru nan indah dan cerah. “Mimpi kita terlukis di sana,” katanya.
“Iya,” balasku.
“Kita pasti bisa ke sana. Ke langit itu, meraih mimpi,” ungkapnya dengan nada sedikit bersemangat.
“Iya,” kataku mengangguk.
“Hei, ada layang-layang. Layang-layang itu lepas. Kita kejar, yuk!” katanya sambil menarik tanganku dan mengejar layang-layang berbentuk bintang itu. Sebenarnya, aku tak ingin mengejar layang-layang tersebut. Namun, tersirat sahabatku ini memintaku untuk menemaninya mengejar layang-layang itu. “Ayo, kita kejar! Jika aku atau kamu berhasil mendapatkannya, mimpiku akan terwujud!” ucapnya sambil berlari dan terus berlari mengejar layang-layang itu tanpa memedulikan ke mana arah jalannya.
Saat mengetahui bahwa layang-layang itu akan terjatuh tak jauh dari tempat kami berhenti sejenak melepas lelah karena berlari, dia masih mengejarnya. Namun, napasku yang masih terengah-engah hanya bisa berlari-lari kecil mengikuti sahabatku itu. Tak berapa lama, dia berteriak kepadaku. “Layangannya, sudah kudapatkan!” katanya saat berada di seberangku. Semringah melihat wajahnya yang begitu senang mendapatkan layangan itu mampu menenteramkan hatiku.
Namun, tetiba seolah tombak menembus jantungku. Karena kesenangannya itu, dia tak menyadari bahwa ada kendaraan beroda empat melintas begitu cepat. Tubuhnya pun seolah seperti kapas, terbang ringan-bebas. Aku yang melihatnya dari seberang, hanya mampu berkata dalam hati, “Jangan pergi, Saujana!”
***
Peristiwa itu kembali menghantuiku. Aku tersentak dan mendapati tubuhku penuh keringat. Napasku terengah-engah. Segera kuambil segelas air putih yang tersedia di meja samping tempat tidurku. Setelah meminum habis air itu, aku menghela napas. Mencoba menenangkan diriku.
Setelah itu, aku mengambil bingkai foto ukuran 3R di meja itu. Aku memandangi foto yang tak lain adalah dirinya. Lima tahun berlalu, namun rasa rinduku kepadanya takkan hilang. Tak akan pernah padam.
Salah satu mimpinya, yakni ingin dipeluk Ayah sudah terwujud. Sekarang aku akan mewujudkan mimpinya yang lain. Aku akan keliling dunia bersama bayangannya di hatiku.
***



No comments:

Post a Comment